Keselamatan terancam. Bukan tak mungkin nyawa taruhannya. Itulah resiko keimanan. Kita yang tinggal di Indonesia mungkin tak terkena imbas dari serangan Paris beberapa hari lalu. Tapi saudara-saudara kita seakidah yang tinggal di Eropa dan Amerika, beda cerita. Terutama muslimahnya yang karena hijabnya, jadi sangat mudah diidentifikasi sebagai seorang Muslim.
Salah satu muslimah di Inggris mengalami diskriminasi. Ia dilempari dengan botol oleh orang-orang tak bertanggung jawab ketika sedang berada di jalan. Banyak muslimah yang sedang mempertimbangkan untuk melepas hijabnya. Beberapa di antara mereka ada yang akan menggantinya dengan turban yaitu semacam penutup kepala saja seperti kalau mau mandi.
Di antara suara-suara ketakutan para muslimah dan keinginan untuk ‘menyembunyikan’ keislamannya dengan cara melepas hijab, ada beberapa yang tetap istiqomah. Sebut saja namanya Khadijah yang masuk Islam sekitar 1 tahun lalu. Ia dan putrinya yang berusia 14 tahun dan sama-sama mualafnya, memutuskan untuk bertahan dengan hijabnya.
Ia lebih memilih untuk taat dan tunduk terhadap perintah Allah daripada mengikuti apa maunya manusia. Bila misalnya terjadi sesuatu atas dirinya, ia yakin itu semua sudah menjadi qodho yang telah ditetapkan. Tapi ia ingin, apapun kondisi yang akan menimpanya, ia tercatat sebagai hamba yang sedang taat melaksanan perintahNya.
...Bila misalnya terjadi sesuatu atas dirinya, ia yakin itu semua sudah menjadi qodho yang telah ditetapkan. Tapi ia ingin, apapun kondisi yang akan menimpanya, ia tercatat sebagai hamba yang sedang taat melaksanan perintahNya...
Masya Allah. Bahkan kita pun yang muslim sedari lahir belum tentu memunyai keimanan setangguh itu. Ada kalanya, berteman dengan para mualaf membuat kita jadi malu hati dan bercermin. Bukan itu saja. Khadijah pun selalu menyemangati para muslimah lainnya terutama yang sama-sama mualaf untuk yakin pada janji Allah. Ia selalu mengingatkan mereka juga putri remajanya untuk selalu bertakwa pada Allah dalam kondisi apapun. Hingga satu hari ketika ia mengantar putrinya ke sekolah, ada beberapa teman sekolah yang menyebut putrinya dengan ‘teroris’. Dengan tegas ia turun dari mobilnya dan menghadap kepala sekolah untuk melaporkan hal tersebut.
Putrinya itu adalah remaja yang sangat lembut hatinya. Dia satu-satunya murid di sekolah tersebut yang suka menyapa tukang bersih-bersih dan mengucapkan terima kasih padanya. Mbak resepsionis di sekolah tersebut juga mengenal sang putri dengan baik karena keramahannya. Semua orang menyukainya karena tutur katanya sopan dan lembut. Jelas sekali sebagai seorang ibu, Khadijah merasa sedih putrinya diteriaki dengan sebutan teroris.
Bisa jadi banyak Khadijah-Khadijah lain di luar sana yang tinggal di Amerika, Australia, dan salah satu negara di Eropa atau bahkan di Asia yang Muslim minoritas. Mereka adalah saudara kita, bagian dari tubuh umat ini. Sakit mereka adalah sakit kita. Kesedihan mereka adalah kesedihan kita juga. Bila pun saat ini kita tak mengenal mereka, tak mendengar suara mereka, bukan berarti mereka tak ada.
Di saat mereka saling menguatkan satu sama lain karena memang mengalami hal yang sama, tak ada salahnya kita panjatkan doa agar mereka selalu mendapat perlindungan Allah. Dalam doa setelah salat, dalam tahajud dan sujud kita, sertakan mereka dalam deretan pinta kita. Karena sungguh, kita tak tahu dari mana doa tulus itu akan diijabah olehNya. Wallahu alam. (riafariana/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google