Sahabat VOA-Islam...
Sejak Perancis melakukan serangan ke Suriah pada pertengahan bulan November yang lalu, muncul banyak foto-foto korban pengeboman di media sosial, khususnya anak-anak. Bukan kali pertama bagi saya melihat foto anak-anak di Suriah dan daerah konflik lainnya.
Tapi sekarang, setelah berubah status menjadi ibu, ada yang berbeda. Ketika melihat foto anak-anak Suriah bersimbah darah, menangis, kelaparan, hati saya seperti diiris-iris, saya sedih, sangat sedih, juga marah. Saya membayangkan bagaimana jika saya, anak saya yang ada di posisi mereka. Atas nama “menegakkan keadilan” dunia memperbolehkan adanya serangan jet-jet tempur, peluncuran puluhan bom ke suatu wlayah yang di sana terdapat anak-anak dan warga sipil yang tinggal. Belum lagi kondisi Palestina yang sudah bertahun-tahun konflik dengan Israel. Sudah ratusan bahkan mungkin ribuan anak yang menjadi korban.
Sungguh, ibu mana yang tega melihat anak-anak menangis karena kelaparan, kedinginan, atau karena kehilangan orang tuanya. Semuanya pasti memikirkan bagaimana cara menolong mereka, karena air mata kita yang jatuh tidak cukup untuk menolong mereka. Sebagian mengirimkan bahan makanan dan pakaian, sebagian mengirimkan obat-obatan, atau uang, dan tentu do’a yang kita panjatkan. Tapi, akankah penderitaan mereka selesai karena bantuan-bantuan itu? Bantuan-bantuan yang dikirimkan akan sangat berarti bagi mereka, tapi penderitaan mereka tidak akan selesai karena itu.
Israel harus berhenti mengganggu Palestina. Perancis harus berhenti menyerang Suriah. AS dan Inggris harus menghentikan invasinya ke Irak dan Afganistan. Sayangnya mereka tidak mau berhenti untuk saat ini. Kecaman dari dunia pun tidak mereka gubris, seakan-akan mereka menyenangi peperangan dan pertikaian. Mereka tidak akan berhenti sampai keinginan mereka terpenuhi.
Peperangan merupakan hal yang wajar. Ya, wajar. Karena dunia terdiri dari berbagai macam pemikiran, ideologi ataupun kepentingan. Saat satu negara ingin mendapatkan kepentingannya, ada perlawanan dari pihak lain yang memiliki kepentingan. Dalam Islam, jihad pun itu dibahas. Tapi, ada aturan main dalam peperangan, atau jihad. Jihad merupakan kewajiban yang Allah bebankan pada negara (daulah) sebagai rangkaian aktvitas pelaksanaan politik luar negeri.
Dalam Islam, jihad dilakukan sebagai pilihan terakhir, jika dakwah kepada Islam dan ajakan untuk membayar jizyah ditolak. Ketika berjihad, tidak diperbolehkan untuk menyakiti pepohonan dan binatang, merusak tempat ibadah. Tidak diperbolehkan juga menyakiti rahib-rahib, orangtua, perempuan dan anak-anak yang tidak ikut berperang. Tawanan perang pun diperlakukan dengan baik. Penggunaan senjata pemusnah massal seperti senjata nuklir dan senjata kimia hanya digunakan jika musuh menggunakan senjata yang serupa. Sebab, dalam Islam musuh harus diperlakukan setimpal (an Nahl: 126).
Tercatat dalam sejarah, yang juga ditulis oleh Karen Amstrong, penulis dari Inggris, dalam buku Jerusalem, One City Three Faith, penaklukan yang dilakukan khalifah Umar atas Jerusalem terhitung yang paling damai, minim pertumpahan darah. Tidak ada pembunuhan, tidak ada penjarahan, tidak ada perusakan property, tidak ada pengusiran atau perampasan harta, tida ada pembakaran symbol-simbol agama lawan, dan taka da pemaksaan atas penduduk Jerusalem untuk memeluk Islam. Seluruh rumah ibadah Yahudi dan Nasrani pun aman.
Inilah potret penerapan Islam dalam peperangan, hal ini hanya akan terjadi jika Islam diterapkan sebagai sistem kehidupan sehingga ia akan berpengaruh bagi kehidupan manusia. Jika memang kita betul-betul peduli dengan nasib anak-anak, perempuan, dan semua manusia yang menjadi korban peperangan, maka sudah seharusnya kita meminta agar Islamlah yang dijadikan rujukan untuk semuanya. Meminta Islam untuk dijadikan sistem kehidupan. Sehingga tercipta keamanan bagi para ibu, anak, dan semua manusia yang juga dinaungi oleh ridho Allah swt. Wallahu’alam bish shawab. [syahid/voa-islam.com]
Penulis: Fatimah Azzahra (Ibu Rumah Tangga Bandung)