View Full Version
Selasa, 22 Dec 2015

Inilah Mengapa Hari Ibu 'Harus' Dirayakan

Hari ini, tanggal 22 Desember semua media sosial seolah berlomba posting meme ataupun ucapan dan artikel tentang hari Ibu. Ada yang pro dan kontra, selalu begitu. Di negeri yang suka sekali membebek terhadap apa-apa yang berasal dari barat ini, apa sih yang tidak diperingati dan dirayakan? Ada hari Ibu, ada hari Ayah (yang ini kayaknya sedang tahap proses untuk dirayakan), ada hari kasih sayang, ada hari ini dan hari itu.

Terlepas dari cikal bakal perayaan hari Ibu sehingga jatuh di tanggal 22 Desember ataupun asal mula darimana perayaan ini berasal, ada satu kalimat dari salah satu artikel itu yang cukup membuat saya berhenti sejenak dan berpikir. Kalimat tersebut kurang lebih seperti ini:

“Peringatan/perayaan seperti ini adalah satu kebiasaan masyarakat yang tidak mampu memenuhi hak sesuatu yang diperingati tersebut. Maka untuk memberikan kepedulian dan perhatian, maka diadakanlah hari tersebut.” (Ustadz Budi Ashari, Lc)

Ya...betapa di kondisi masyarakat seperti sekarang ini, hari Ibu menjadi begitu penting untuk dirayakan. Lihatlah posisi para Ibu saat ini. Ketika anak-anaknya masih kecil, dia rawat dengan penuh kasih sayang. Agak besar sedikit sudah mulai berani membangkang. Contoh sederhana ketika Ibu kehabisan garam untuk memasak. Anak yang disuruh beli garam ke warung, tak segera beranjak karena asyik main video game atau internet di Hpnya. Tak jarang, ibu sendiri yang akhirnya harus berangkat ke warung karena si anak tetap tak beranjak dari asyiknya permainan.

Besar sedikit, bermain dengan teman sebaya melenakan si anak. Mereka lebih memilih ‘hang out’ bersama teman daripada menghabiskan waktu untuk berbincang dan curhat dengan sang Ibu. Dalam benak si anak, ‘Gak asik ah ngobrol dengan Ibu, gak nyambung. Ibu tahunya seputar rumah doang, gak gaul’.

Beranjak dewasa, kuliah di luar kota. Interaksi dengan ibu semakin berkurang. Paling juga sekadar telpon, itu pun kalau ingat karena rasanya menelpon teman atau bahkan gebetan jauh lebih asyik daripada mendengarkan suara dan petuah ibu di seberang. Belum lagi tugas kuliah dan organisasi yang padat, itu semua menjadi alasan untuk tidak sering-sering menengok ibu.

...Untuk menebus rasa bersalah, momen hari Ibu adalah saat dimana anak-anaknya merayakan jasa ibu yang tiada tara. Hadiah, bunga, kecupan sayang, dan percakapan hangat ada di hari ini. Setahun sekali. Setelah hari ini berlalu, semua sibuk sendiri-sendiri. Si ibu kembali kesepian...

Lulus kuliah, kerja. Karier sangat penting dong karena berefek pada penghasilan dan prestis atau gengsi. Ibu pasti ngerti karena buat apa anak-anaknya disekolahkan tinggi kalau bukan untuk membawa nama baik keluarga dengan prestasi duniawi sang anak. Satu asalan lagi ada untuk sekadar menyempatkan waktu menengok ibu yang sudah semakin tua.

Tahap selanjutnya adalah menikah. Si anak makin sibuk dengan keluarga baru. Si ibu semakin tak tersentuh. Apalagi bila qadarullah si anak laki-laki memunyai istri yang dominan dan tak suka kehadiran mertua. Terlena dengan pengaruh istri, setahun sekali pas lebaran saja menengok ibu. Belum lagi ketika si anak adalah perempuan dan berdalih atas dasar agama untuk tak berkunjung dan sungkem pada ibu.

Anak yang lain sebaliknya. Karena sibuk mengejar karier, anak-anaknya yang merupakan cucu sang ibu dititipkan pada nenek. Toh nenek hanya tinggal dan duduk manis di rumah. Sayang kalau harus menyewa baby sitter. Mahal! Lebih baik neneknya saja yang mengasuh. Gratis! Ortu si cucu sibuk mengejar karier karena itulah gunanya disekolahkan tinggi, bukan?

Saat si ibu sudah benar-benar sangat tua, lemah dan tak berdaya, cucu pun semakin dewasa. Mengikut jejak orang tua, dia pun mengejar karier dan cita-cita. Si nenek dan ibu dari orang tuanya ini semakin tua dan sakit-sakitan. Apa daya, anak dan cucunya tak ada di sampingnya. Dengan uang, disewalah orang lain untuk merawat ibu yang sebetulnya jauh di dasar hatinya, lebih menginginkan darah dagingnya sendiri yang ada di sampingnya.

Untuk menebus rasa bersalah, momen hari Ibu adalah saat dimana anak-anaknya merayakan jasa ibu yang tiada tara. Hadiah, bunga, kecupan sayang, dan percakapan hangat ada di hari ini. Setahun sekali. Setelah hari ini berlalu, semua sibuk sendiri-sendiri. Si ibu kembali kesepian. Garam dapur habis, ah...si ibu harus berangkat sendiri ke warung. Ingin nasi pecel buatan sendiri, si ibu harus ‘mengulek’ kacang sendiri.

Ketika badannya terasa ngilu semua karena usia, dia pun harus memijitnya sendiri. Ketika dia merasa kesepian dan ingin ada teman berbagi, dia pun harus menelannya sendiri. Dia harus menunggu satu tahun lagi, ketika anak-anaknya berkumpul untuk merayakan hari Ibu bersamanya. Ya...karena itulah hari Ibu begitu sangat penting untuk dirayakan.

Hari Ibu adalah saat ia bisa merasakan kehadiran dan kasih sayang anaknya. Saat mereka meluangkan waktu dan memberi hadiah padanya. Itulah mengapa peringatan hari Ibu sangat berarti baginya. Sementara di 364 hari lainnya, ia harus menghibur dirinya sendiri untuk bersabar dan bertahan hingga peringatan hari Ibu di tahun berikutnya.

Oh...Ibu, lihatlah! Kami sudah sangat mengistimewakanmu dengan adanya peringatan hari Ibu ini, bukan? Karena itu, berbahagialah kalian wahai para Ibu! (riafariana/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version