Oleh: Badrul Tamam
Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam atas Rasulillah –Shallallahu 'Alaihi Wasallam-, keluarga dan para sahabatnya.
Kecintaan kepada harta bagian fitrah yang ada dalam diri manusia. Apalagi harta itu hasil kerja keras bertahun-tahun. Ditambah ada keinginan atau angan-angan memiliki sesuatu yang dibutuhkan dan dibanggakan, maka kecintaan kepada harta tersebut semakin kuat. Akhirnya, menjangkitlah rasa bakhil atau pelit mengeluarkannya untuk membantu orang lain dan mensedahkan sebagiannya.
Diriwayatkan Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu 'Anhu, ia berkata, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,
أَيُّكُمْ مَالُ وَارِثِهِ أَحَبُّ إِلَيْهِ مِنْ مَالِهِ؟ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا مِنَّا أَحَدٌ إِلَّا مَالُهُ أَحَبُّ إِلَيْهِ, قَالَ: فَإِنَّ مَالَهُ مَا قَدَّمَ وَمَالَ وَارِثِهِ مَا أَخَّرَ
“Siapakah diantara kalian yang harta ahli warisnya lebih ia cintai daripada hartanya sendiri? Mereka (para shahabat) menjawab: Tidak ada diantara kami kecuali hartanya lebih ia cintai. Beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda: Sungguh hartanya adalah apa yang telah ia infakkan dan harta ahli warisnya adalah yang ia tinggallakan (tidak diinfakkan).” (HR. Bukhari)
Hadits ini menjelaskan, harta milik seseorang yang sesungguhnya adalah harta yang disiapkannya untuk kehidupan sesudah kematiannya. Harta tersebut benar-benar akan membawa manfaat baginya. Bukan harta yang dia kumpulkan lalu dibagi-bagikan kepada ahli warisnya. Harta yang ditinggalkan seseorang, walau diatas namakan kepada dirinya, ia akan berpindah kepada ahli warisnya lalu diatas namakan kepada mereka.
Pertayanyaan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam kepada para sahabatnya ini berlaku bagi kita juga. Yang jawabannya juga sama, setiap kita pasti lebih suka dengan harta kita sendiri. Namun tidak setiap kita tahu hakikat harta miliknya. Harta kita yang sebenarnya adalah yang kita simpan untuk akhirat, sehingga kelak manfaatnya kembali kepada kita.
Maksud harta yang akan menjadi milik kita adalah harta yang kita gunakan untuk kebaikan, mendekatkan diri kepada Allah, membantu orang susah, mengobatkan orang misin yang sakit, bersedekah, infak, dan semisalnya.
Berikut ini ada kisah istimewa sepasang suami istri yang Allah muliakan dengan sifat rahmat (kasih sayang) dan kepedulian kepada orang lain karena Allah Subhanahu wa Ta'ala.
***********
Sebelum pulang kantor, sang suami telpon istrinya, "Sayang, Alhamdulillah, bonus akhir tahun dari perusahaan sudah turun, Rp. 150 juta." Dibalik telpon, sang istri tentu saja mengungkapkan rasa syukurnya, "Alhamdulillah, semoga barokah ya Mas". Sejak beberapa bulan yang lalu mereka sudah merencanakan beli mobil sederhana untuk keluarga kecilnya. Dan uang yang turun mereka rasa cukup pas sesuai budget.
Namun dalam perjalanan pulang, dia ditelpon oleh ibunya di kampung, "Nak, kamu ada tabungan? Tadi ada orang datang ke rumah. Ternyata almarhum ayahmu punya hutang ke dia cukup besar, Rp. 50 juta." Tanpa pikir panjang, ia pun bilang ke ibunya, "Iya, Bu, insya Allah ada." Dalam perjalanan pulang ia pun sambil berpikir, "Nggak apa-apa lah, masih cukup untuk beli mobil yang 100 jutaan. Mungkin ini lebih baik."
Ia pun melanjutkan perjalanan. Belum tiba di rumah, HP-nya kembali berdering. Seorang sahabat karibnya semasa SMA tiba-tiba menghubunginya sambil menangis. Sahabatnya itu sambil terbata mengabarkan bahwa anaknya harus segera operasi minggu ini. Banyak biaya yang tidak bisa dicover oleh asuransi kesehatan dari pemerintah. Tagihan dari rumah sakit Rp. 80 juta.
Ia pun berpikir sejenak. Uang bonusnya tinggal 100 juta. Jika ini diberikan kepada sahabatnya, maka tahun ini ia gagal membeli mobil impiannya. Tapi nuraninya mengetuk, "Berikan padanya. Mungkin kamu memang jalan Allah untuk menolong sahabatmu itu. Mungkin ini memang rezekinya yang datang melalui perantara dirimu." Ia pun menuruti panggilan nuraninya.
Setibanya di rumah, ia menemui istrinya denga wajah yang lesu. Sang istri bertanya, "Kenapa, mas? Ada masalah? Nggak seperti biasanya pulang kantor murung gini?" Sang suami mengambil napas panjang, "Tadi ibu di kampung telp, butuh 50 juta untuk bayar utang almarhum bapak. Nggak lama, sahabat abang juga telp, butuh 80 juta untuk operasi anaknya. Uang kita tinggal 20 juta. Maaf ya, tahun ini kita nggak jadi beli mobil dulu.”.
Sang istri pun tersenyum, "Aduh, Mas, kirain ada masalah apaan. Mas, uang kita yang sebenarnya bukan yg 20 juta itu, tapi yg 130 juta. Uang yang kita infakkan kepada orang tua kita, kepada sahabat kita, itulah harta kita yang sesungguhnya. Yang akan kita bawa menghadap Allah, yang tidak mungkin bisa hilang jika kita ikhlas. Sedangkan yang 20 juta di rekening itu, masih belum jelas, benaran harta kita atau akan menjadi milik orang lain.".
Sang istri pun memegang tangan suaminya, "Mas, insyaAllah ini yang terbaik. Bisa jadi jika kita beli mobil saat ini, justru menjadi keburukan bagi kita. Bisa jadi musibah besar justru datang ketika mobil itu hadir saat ini. Maka mari baik sangka kepada Allah, karena kita hanya tahu yang kita inginkan, sementara Allah-lah yg lebih tahu apa yang kita butuhkan." [PurWD/voa-islam.com]