Istilah wali pajangan ini ada di buku Muslimah Sukses Tanpa Stres karya Dr. Erma Pawitasari. Sejatinya wali itu adalah seseorang yang memiliki kewajiban untuk mendidik, mengajar, menjaga kesehatan, mengawasi perkembangan fisik, menyekolahkan serta menikahkan anak-anak dalam tanggungannya. Karena sesungguhnya, tugas perwalian ini bukan perkara sepele. Pertanggungjawabannya benar-benar dibawa hingga ke akhirat kelak.
Namun ada kalanya dalam hidup seseorang, ayah meninggal saat ia belum baligh. Seharusnya, ia ada dalam tanggungan dan perwalian pengganti sang ayah kandung. Wali ini bisa saja kakek, kakak yang sudah dewasa, paman dari pihak ayah dan seterusnya sesuai dengan urut waris. Faktanya, kehidupan anak yatim tidak selalu ditangani dengan baik oleh wali pengganti sepeninggal ayah.
Betapa banyak anak yatim yang ‘terlantar’ hanya karena wali pengganti sibuk dengan keluarganya sendiri yaitu anak dan istrinya. Tidak hanya dari segi finansial anak yatim terabaikan, tapi juga dalam hal pendidikan terutama agamanya. Si anak yatim harus berjuang sendiri. Ia berusaha mencari penghasilan sendiri dan ilmu keislaman dengan caranya sendiri. Bahkan dalam hal jodoh pun, ia juga mencari dan mendapatkan sendiri. Bisa dari teman atau dikenalkan oleh sang guru ngaji.
Tak heran, bila si yatim ini tumbuh tegar dan tegas karena sudah terbiasa menyelesaikan setiap masalah hidupnya sendiri. Meskipun begitu, ketika ia menikah tetap saja si yatim butuh wali. Hadirlah si kakak laki-laki atau siapa saja sebagai wali pengganti yang bisa menjadikan pernikahan si anak yatim sah, pada hari bersejarah tersebut.
...Keberadaan wali tersebut tak pernah dirasakan oleh si yatim. Ada dan tiadanya tak membawa manfaat apa pun dalam kehidupan si anak yatim selain sebagai ‘pajangan’ di pesta walimah nikahnya...
Ya...si wali datang hanya untuk pajangan, sekadar simbolis agar pernikahan si yatim sah dan terlaksana dengan baik. Mulai akad nikah yang menjadikannya sah sebagai istri seorang laki-laki yang akan menjadi wali barunya, hingga berdiri di pelaminan sebagai pajangan. Padahal sesungguhnya pada acara ijab kabul terdapat proses penyerahan perwalian dari ayah/wali pengganti ke suami pengantin perempuan. Tetapi ketika fungsi perwalian tidak dijalankan dengan baik, lalu bagaimana proses penyerahan ini bisa dilaksanakan dengan baik pula? Karena sejatinya, fungsinya sebagai wali tidak pernah dijalankan secara semestinya.
Keberadaan wali tersebut tak pernah dirasakan oleh si yatim. Ada dan tiadanya tak membawa manfaat apa pun dalam kehidupan si anak yatim selain sebagai ‘pajangan’ di pesta walimah nikahnya. Si wali pun ikut berdiri dan menyalami para tamu undangan seolah ia berperan dalam kehidupan si yatim.
Tentu saja yang ada adalah penyerahan secara simbolik atau bisa dibilang ‘pura-pura’ agar terasa syahdu dan sakral. Hal ini banyak terjadi pada masyarakat kita. Ketika pernikahan si yatim nantinya bermasalah misalnya, maka wali ‘pajangan’ ini pun tak berfungsi sebagaima mestinya. Si yatim harus menyelesaikan masalahnya sendiri. Pun bila terjadi perceraian, ia pun tidak bisa pulang ke rumah wali ‘pajangan’ tadi karena ia bukanlah termasuk keluarganya (definisi sempit dari anak dan istri seorang laki-laki).
Duh, sedihnya. Semoga saja tulisan ini menjadi pengingat bagi kaum laki-laki agar tidak terjadi fenomena wali ‘pajangan’ bila satu saat nanti dirinya diamanahi tanggung jawab anak yatim. Karena sungguh, ia akan ditanya nanti di akhirat akan apa yang menjadi kewajibannya termasuk menjadi sebenar-benar wali bagi anak yatim di bawah tanggungannya. Wallahu alam. (riafariana/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google