View Full Version
Ahad, 07 Feb 2016

Sosok Ibu Dimasa Kini; Oh Ibu...

Oleh: Siti Mutmainah (Guru Ngaji, Tinggal di Banyumas)

Sahabat VOA-Islam yang Shalih dan Shalihah...

Beberapa hari lagi tanggal 22 Desember, hari yang diperingati sebagai Hari Ibu. Sebuah hari yang mengistimewakan kaum ibu melebihi para bapak, karena tidak ada peringatan Hari Bapak. Memang, ibu adalah sosok mulia hingga disebutkan bahwa surga ada di bawah telapak kakinya. Gambaran kemuliaan sosok ibu ini memang tak terelakkan.

Hal ini tampak dari beban tanggung jawab yang sangat besar yang telah dikaruniakan Sang Pencipta di atas pundak sesosok ibu. Berawal dari fitrahnya seorang ibu yang harus mengandung anaknya selama 9 bulan 10 hari dengan kondisi yang makin berat dari bulan ke bulan. Kemudian ia harus berjuang menahan kesakitan, bertaruh antara hidup dan mati ketika mengalami proses kelahiran. Setelah itu, ia harus merawat dan menyusuinya siang dan malam tanpa kenal waktu dan bersusah payah membimbingnya hingga besar.

Selain itu, ibu adalah tempat belajar pertama bagi buah hatinya. Ketika seorang anak dilahirkan, ia akan belajar dari ibu ketika dalam buaian ibunya, belajar berbagai sikap dan ucapan yang ia dengar dan contohkan dari ibu sebagai sosok yang terdekat dengan anak, baru kemudian ia akan belajar dari keluarga dan lingkungan sekitar. Karena itulah sosok ibu diistilahkan sebagai madrosatul ula atau sekolah pertama bagi seorang anak.

Namun, saat ini ketika kehidupan semakin modern justru peran mulia seorang ibu semakin jauh dari tugas dan fungsi ideal sosok ibu. Kehidupan serba kapitalistik yang menuntut untuk terpenuhinya kebutuhan hidup karena mahalnya berbagai kebutuhan, telah mendorong dan memaksa para kaum ibu untuk turut serta mencari nafkah ke luar rumah. Mengabdikan diri sebagai wanita karir ataupun bekerja apa saja demi mendapat sesuap nasi.

Sebagaimana para pekerja pria, ibu sebagai wanita karir ataupun pekerja lainnya harus berangkat pagi hingga siang ataupun sore, bahkan hingga malam hari. Sementara itu, anak-anak akan berada dalam asuhan asisten rumah tangga, kerabat, tempat penitipan anak, atau bahkan dipaksa untuk mengurus diri mereka sendiri ketika tidak mampu untuk menanggung biaya untuk penitipan atau menggaji asisten rumah tangga.

Ketika ibu bekerja, ayah mencari nafkah, anak tumbuh dan terdidik dengan perhatian dengan kasih sayang yang minim dari orang tua. Padahal ia tak dapat tergantikan oleh apapun dan siapapun, meskipun berlimpah materi mencukupi kebutuhannya. Minimnya bimbingan dan pengawasan keluarga, sangat memungkinkan bagi anak untuk banyak belajar dan terdidik oleh lingkungan termasuk media-media yang diaksesnya. Dan yang lebih parah adalah banyaknya korban pelecehan terhadap anak-anak yang muncul dengan pelaku dari orang-orang di sekitar korban. Bila bimbingan, pengawasan dan perhatian dari orang tua diberikan dengan sempurna, tentu akan dapat mencegah hal-hal buruk yang dapat terjadi pada anak.

Namun demikian, mengembalikan fungsi ibu sebagaimana mestinya, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Agar ibu tidak terpaksa bekerja di luar rumah, harus tercukupi semua kebutuhan hidup. Kebutuhan hidup akan terpenuhi jika harganya terjangkau, dan penghasilan sang ayah mencukupi untuk membelinya. Artinya ini adalah hal yang besar, terkait dengan mekanisme harga (sistem ekonomi), kebijakan negara terkait pemberian gaji yang layak bagi warga negara, serta dibukanya lapangan pekerjaan selebar-lebarnya bagi laki-laki sehingga tidak ada kepala rumah tangga yang menjadi pengangguran.

Karena itu, untuk mengembalikan sosok ibu pada tugas dan fingsi idealnya, memerlukan pembenahan dan perubahan sistem. Karena sistem ekonomi yang digunakan saat ini, yaitu sistem ekonomi kapitalis, telah menjadikan hidup semakin sulit dengan biaya hidup yang makin melonjak naik. Lapangan pekerjaan yang sempit bagi laki-laki telah menjadikan banyaknya pengangguran, sehingga banyak kepala rumah tangga yang tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Di sisi lain, justru banyak dibuka lapangan pekerjaan untuk kaum perempuan.

Melakukan perubahan pada sistem ekonomi kapitalis yang saat ini digunakan, tentu bukan hal yang mustahil. Nabi Muhammad saw ketika hijrah ke Madinah dengan menerapkan Islam secara sempurna, berusaha untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup warga masyarakatnya. Dengan perekonomian Islam yang beliau jalankan, menjadikan masyarakat tidak kesulitan memenuhi kebutuhan hidupnya.

Lapangan kerja yang luas bagi laki-laki akan dibuka selebar-lebarnya ketika konsep kewajiban suami dan isteri dipahami betul oleh negara, sehingga kebijakan lapangan kerja yang ada mengacu pada hal tersebut. Dalam sistem kapitalis seperti saat ini, yang diukur semata-mata untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya.

Ketika pekerja wanita dianggap dapat memberikan hasil kerja yang lebih teliti dan lebih baik, maka yang akan dibuka adalah lapangan kerja bagi wanita karena lebih menguntungkan para pemilik kapital. Dan inilah fakta yang ada di lapangan. Sehingga untuk membuka lapangan kerja yang luas bagi laki-laki, tentu tidak bisa dengan sistem kapitalis yang tidak menjadikan kewajiban dan tugas suami istri sebagai salah satu standar dalam menentukan kebijakannya.

Oleh karena itu, ketika kita menghendaki perempuan dan kaum ibu berposisi yang sesuai dengan fitrahnya, yaitu sebagai pengasuh dan pendidik utama bagi anak-anaknya, dan laki-laki sebagai kepala rumah tangga yang memenuhi segala kebutuhan keluarganya, maka dikembalikan lagi kepada Pencipta laki-laki dan perempuan yaitu Allah swt.

Artinya semua akan berjalan sesuai dengan fitrah kemanusiaannya sebagai laki-laki dan perempuan, hingga dalam hal penentuan kebijakan-kebijakan negara yang ada,  hanya akan terwujud dengan sistem ilahiah yang mengacu kepada ketentuan Allah swt, yang hal itu telah dicontohkan semasa Rasul di Madinah dan dilanjutkan oleh para Khulafaur Rasyidin setelahnya. Wallahu a’lam. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version