Oleh: Eka Kirti Anindita
(Aktivis MHTI Jember dan guru SMK Inklusi Jember)
Sahabat VOA-Islam...
Perempuan memiliki peran penting nan strategis dalam mencetak generasi penentu masa depan bangsa. Perlindungan dan jaminan terhadap perempuan menjadi hal yang harus diwujudkan. Lalu, bagaimana kabar perempuan hari ini?
Realitas menunjukkan bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan dan KDRT kian meningkat dari masa ke masa. Maraknya kasus kekerasan terhadap perempuan, baik di ranah domestik maupun publik, menjadi isu kemanusiaan yang sangat memprihatinkan. Komisi Nasional Perempuan melansir fakta bahwa jumlah kekerasan yang dialami oleh perempuan di Indonesia mencapai angka 293.220 kasus pada tahun 2014.
Sebanyak 68 persen atau 8.626 dari kasus tersebut adalah kekerasan domestik dan rumah tangga (KDRT) dengan mayoritas korban ibu rumah tangga dan pelajar. Perempuan sebagai pilar penentu masa depan bangsa dan ibu sebagai pihak pencetak generasi penerus bangsa tengah mengalami problematika yang menyayat rasa. Tentulah kasus ini tak boleh kita biarkan berlarut-larut.
Penyebab KDRT
Pada dasarnya setiap isteri mendambakan perlindungan serta kasih sayang dari suaminya, dan bukan kekerasan fisik, psikologis, seksual dan ekonomi yang diperolehnya. Apalagi perkawinan itu sendiri bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang bahagia (keluarga sakinah) dengan perekat berupa cinta, mawaddah, rahmah, dan amanah Allah, sehingga bila cinta pupus dan mawaddah putus, masih ada rahmah, dan kalau pun ini tidak tersisa juga, masih ada amanah, dan selama pasangan suami isteri itu beragama, amanahnya akan terpelihara.
...relasi suami dan isteri adalah relasi dua hati dan dua jiwa untuk mewujudkan kebahagiaan rumah tangga. Di samping itu Islam datang mengemban misi utama untuk pembebasan, termasuk pembebasan dari kekerasan, menuju peradaban yang egalitarian
Karena Allah memerintahkan suami agar bergaul dengan isteri secara ma’ruf serta bersabar terhadap tindakan-tindakan istri yang tidak disukainya. Dalam konteks ini relasi suami dan isteri adalah relasi dua hati dan dua jiwa untuk mewujudkan kebahagiaan rumah tangga. Di samping itu Islam datang mengemban misi utama untuk pembebasan, termasuk pembebasan dari kekerasan, menuju peradaban yang egalitarian.
Namun realitas sebagaimana yang dipaparkan di atas, menunjukkan bahwa banyak isteri yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan suaminya sendiri. Kekerasan yang dilakukan suami kepada isteri beragam bentuk, baik kekerasan fisik (berupa tamparan dengan tangan kosong, ditinju, ditendang bahkan ada yang disiram dengan air keras), kekerasan psikis (dicaci maki, diintimidasi, dibentak), kekerasan seksual (dipaksa menjadi pelacur) dan kekerasan ekonomi (tidak diberi nafkah, diberi nafkah tetapi tidak cukup, atau tidak diberi kepercayaan mengelola uang belanja).
Himpitan ekonomi bisa menjadi pendorong bagi suami bertindak sewenang-wenang terhadap anggota keluarganya, terutama isteri. Tak bisa dipungkiri bahwa kesulitan ekonomi kini sangat menjerat, terutama bagi sekitar 28,59 juta warga Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan. Harga BBM, elpiji, dan berbagai barang kebutuhan pokok kian melangit tak terjangkau. Sementara gaji yang diterima tak sebanding dengan besarnya biaya hidup yang harus dikeluarkan.
Apalagi saat ini sedang berlangsung ‘musim’ PHK massal secara besar-besaran. Lapangan kerja terbuka lebar bagi perempuan tapi sempit untuk laki-laki. Himpitan ekonomi inilah yang menjadi salah satu pemicu orang berbuat nekat melakukan kejahatan, termasuk munculnya KDRT. Banyak kasus KDRT menimpa keluarga miskin, dipicu ketidakpuasan dalam hal ekonomi.
Dari sisi pendidikan, menggejalanya kebodohan telah memicu ketidak-pahaman sebagian masyarakat mengenai dampak-dampak kekerasan dan bagaimana seharusnya mereka berperilaku santun. Ini akibat rendahnya kesadaran pemerintah dalam penanganan pendidikan, sehingga kapitalisasi pendidikan hanya berpihak pada orang-orang berduit saja. Lahirlah kebodohan secara sistematis pada masyarakat. dan kemerosotan pemikiran masyarakat, sehingga perilakupun berada pada derajat sangat rendah.
Dari sisi hukum, ketiadaan sanksi yang tegas dan membuat jera pelaku telah melanggengkan kekerasan atau kejahatan di masyarakat. Berdasarkan Pasal 44 ayat [1] UU KDRT, pelaku KDRT diancam pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp 15 juta. Khusus bagi KDRT yang dilakukan oleh suami terhadap istri yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, ancaman pidananya adalah pidana penjara paling lama 4 bulan atau denda paling banyak Rp 5 juta.
Kekerasan psikis atau tidak, mendapat ancaman pidana penjara paling lama 3 tahun atau denda paling banyak Rp 9 juta dan jika perbuatan tersebut tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 bulan atau denda paling banyak Rp 3 juta. Lama kurungan dan jumlah denda pada realitasnya masih bisa berkurang dengan adanya lobby dan banding.
Paham kebebasan yang bablas tak mengindahkan tata pergaulan sesuai syariat, memungkinkan suami isteri tidak tulus menjadi sahabat. Sang istri sering menuntut suami, suami yang tak tahan dengan tuntutan istri tak jarang akan meluapkan emosinya atau mencari kesenangan dengan berselingkuh
Kehidupan liberal pun menjadi faktor pemicu KDRT. Paham kebebasan yang bablas tak mengindahkan tata pergaulan sesuai syariat, memungkinkan suami isteri tidak tulus menjadi sahabat. Sang istri sering menuntut suami, suami yang tak tahan dengan tuntutan istri tak jarang akan meluapkan emosinya atau mencari kesenangan dengan berselingkuh, yang dari perselingkuhan ini akan menimbulkan pertengkaran dan kekerasan.Walhasil, keengganan saling bergaul menurut syariat atau terjadinya perselingkuhan bisa berbuntut tindak KDRT.
Sementara itu, dari sisi sosial-budaya, gaya hidup hedonistik yang melahirkan perilaku permisif, kebebasan berperilaku dan seks bebas, telah menumbuh-suburkan perilaku penyimpangan seksual seperti homoseksual, lesbianisme dan hubungan seks disertai kekerasan. Hal ini memberikan peluang bagi suami/istri mencari kesenangan bukan pada pasangannya dan juga berujung pada pertengkaran dan kekerasan.
Jika disimpulkan, KDRT disebabkan oleh dua hal pertama, faktor individu yakni tidak adanya ketakwaan pada individu, lemahnya pemahaman terhadap relasi suami isteri dalam rumah tangga, dan karakteristik individu yang temperamental adalah pemicu bagi seseorang untuk melanggar hukum syara’ termasuk melakukan tindakan KDRT.
Kedua, faktor sistemik yaitu kekerasan yang terjadi saat ini sudah menggejala menjadi penyakit sosial di masyarakat, baik di lingkungan domestik maupun publik. Kekerasan yang terjadi bersifat struktural yang disebabkan oleh berlakunya sistem yang tidak menjamin kesejahteraan masyarakat, mengabaikan nilai-nilai ruhiyah dan menafikan perlindungan atas eksistensi manusia. Tak lain dan tak bukan ialah sistem kapitalisme-sekuler yang memisahkan agama dan kehidupan. Penerapan sistem itu telah meluluh-lantakkan sendi-sendi kehidupan asasi manusia.
Menyolusi KDRT
Menilik beberapa faktor pemicu KDRT sebagaimana yang dipaparkan di atas, ternyata penyebab KDRT bukan hanya kesalahan individu semata tapi juga sistemik, maka solusi untuk KDRT pun haruslah menyeluruh menyentuh ranah sistemik.
Secara individu, suami dan isteri harus meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta pemahaman yang benar terkait kehidupan rumah tangga. Imtaq merupakan pondasi terwujudnya sikap dan hubungan baik antara suami dan isteri. Dengan imtaq, suami dan isteri akan memahami hak dan kewajibannya, jika ada yang lalai maka akan memberi nasihat secara ma’ruf. Imtaq pulalah yang akan membuat individu bisa mengendalikan emosinya.
Dibutuhkan pula perubahan sistemik terhadap tatanan kehidupan dan peraturan yang diterapkan saat ini. Sistem kapitalisme-sekuler sebagai sumber penyebab KDRT tidak bisa terus dipertahankan. Dibutuhkan sistem aturan yang menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok masyarakat, terciptanya kehidupan sosial yang memanusiakan manusia, penjagaan terhadap berbagai tontonan di media, dan pendidikan yang mencetak manusia berbudi luhur. Sistem seperti ini tidak lahir dari manusia melainkan dari sang Khalik yang Maha Mengetahui apa yang terbaik untuk manusia.
Sekali lagi, KDRT muncul karena masalah sistemik akibat sistem kapitalisme-sekuler yang diterapkan di negeri ini. Maka solusi untuk KDRT tidak bisa dengan upaya yang hanya skala individu maupun keluarga, tapi harus sistemik pula. Butuh sinergi semua elemen masyarakat untuk segera memperbaiki tatanan kehidupan dengan mewujudkan sistem aturan yang berasal dari sang Khalik. Apakah itu? Yakni Islam dalam naungan khilafah. [syahid/voa-islam.com]