Sebelum memulai artikel ini, marilah kita bercermin dari Kisah Cinta Asma binti Abu Bakar dengan Zubair bin Awwam.
Asma binti Abu Bakar, siapa yang tak mengenal perempuan tangguh ini? Perempuan yang diberi gelar oleh Rasulullah sebagai Dzatun Nithaaqain (perempuan pemilik dua selendang). Itu karena jasanya yang tak kenal takut menjadi pengantar makanan bagi kaum muslimin periode awal meskipun resikonya nyawa. Kelak, perempuan tangguh ini menikah dengan Zubair bin Awwam yang di masa tuanya, ia juga diceraikan oleh laki-laki surga ini.
Laki-laki surga adalah laki-laki yang mendapat jaminan masuk surga dari kekasih Allah, Muhammad SAW. Laki-laki surga saja mampu menceraikan perempuan tangguh nan beriman seperti Asma binti Abu Bakar, apalagi laki-laki biasa yang hidup di zaman fitnah seperti sekarang ini. Tak hendak berprasangka terhadap sosok mulia selevel Asma binti Abu Bakar dan Zubair bin Awwam, namun ada hikmah yang pasti ada untuk diambil pelajaran.
Ukhti salihah yang dirahmati Allah. Sebagus apapun iman seseorang, dia hanyalah manusia biasa. Dia bukan malaikat yang tak bisa melakukan salah apalagi dosa. Apalagi suami kita, laki-laki yang dinikahi karena kesalihannya adalah juga manusia biasa yang bisa saja terperosok salah. Perceraian bukanlah kemaksiatan, ia hanyalah pintu terakhir ketika biduk rumah tangga tak lagi bisa diharapkan keharmonisannya.
...Sebagus apapun iman seseorang, dia hanyalah manusia biasa. Dia bukan malaikat yang tak bisa melakukan salah apalagi dosa...
Maka benarlah ketika Islam memberikan pelevelan cinta itu sesuai tempatnya. Pertama dan utama adalah untuk Allah baru kemudian untuk RasulNya dan setelah itu baru manusia yang bisa saja orang tua, suami/istri dan anak-anak. Urutan ini ada untuk kebaikan manusia sendiri. Ketika seseorang mencintai Allah dan RasulNya melebih segalanya, maka pahitnya hidup yang membuatnya kecewa dan terluka tak akan pernah membuat manusia lari dariNya. Sebaliknya, contohlah Asma binti Abu Bakar yang tengah terluka dicerai suami yang sangat dicintainya, ia memilih menyibukkan diri mempersiapkan putra-putranya menjadi mujahid unggul.
Biarlah urusan laki-laki atau suami dengan Allah apabila ada ketidakmarufan yang dilakukannya hingga taraf menceraikan istri yang salihah. Tugas kita sebagai muslimah hanya berusaha memahami takdirNya dan tak hendak menyesali yang telah terjadi. Kisah perjalanan hidup bunda Asma binti Abu Bakar di atas bisa menjadi teladan. Betapa seorang muslimah tidak akan jatuh hanya karena perceraian. Seorang muslimah tetap bisa beramal dengan mempersiapkan anak-anaknya agar menjadi mujahid di jalan Allah.
Bagaimana bila tidak ada anak sebagai pelipur lara selepas perceraian yang menyakitkan? Kembali lagi kepada resep ampuh yang ditinggalkan Rasulullah tercinta. Sabar dan syukur adalah dua kondisi mutlak yang harus ada dalam kondisi apapun dan bagaimana pun. Tak peduli seberapa sakit perceraian yang terjadi, sabar adalah sebaik-baiknya sikap yang harus ditempuh. Tambahkan rasa syukur dalam jiwa maka Allah akan mengganti dengan seseorang yang jauh lebih baik, insya Allah.
Seorang mukmin tak perlu ada rasa takut kehilangan apapun, termasuk kehilangan suami sekalipun. Bila pasangan hidup tak mampu membuat kita makin taat padaNya, untuk apa biduk rusak dipertahankan? Begitu pula bila tanpa angin tanpa ada isyarat apa-apa tiba-tiba suami menceraikan kita, yakinlah Allah sedang membuang ‘hal’ buruk dari hidup kita. Terus berprasangka baiklah pada Allah karena sungguh Allah sesuai persangkaan hambaNya. Wallahu alam. (riafariana/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google