Sahabat Muslimah VOA-Islam...
Alhamdulillah, kita bersyukur kepada Allah SWT karena telah diberikan kesempatan dan kekuatan untuk menyelesaikan puasa Ramadhan. Kita berharap, puasa yang kita kerjakan diterima oleh Allah SWT sebagai amal sholeh dan diganjar dengan pahala berlipat-lipat. Kita berharap, puasa yang kita kerjakan dapat menggugurkan dosa-dosa kita yang telah lalu sebagaimana diberitakan Rasulullah SAW. Kita pun berharap, berpuasa sebulan penuh dapat mengantarkan kita menjadi kaum yang bertaqwa sebagimana firman Allah SWT (Q.S Al-baqarah : 183)
Umar bin Abdul Aziz rahimahullah, sebagaimana dikutip imam as-Suyuthi dalam Ad-Durr al-Mantsur, berkata : “Takwa kepada Allah itu bukanlah berpuasa pada siang , shalat pada malam hari dan memandukan keduanya.namun,taqwa kepada Allah itu adalah meninggalkan apa saja yang telah Allah haramkan dan menunaikan apa saja yang telah Allah wjibkan.’’
Ibnu al-Qayyim al-jauziyyah rahimahullah dalam kitabnya, Zad al-muhajir ila rabihi, juga berkata, ‘’hakikat taqwa adalah mengerjakan ketaatan kepada Allah atas dasar iman dan dan mengharapkan ridha-Nya, baik atas perkara yang Allah perintahkan maupun yang Allah larang; lalu melakukan apa saja yang Allah SWT perintahkan karena mengimani larangan-Nya dan takut terhadap ancaman-Nya.’’
Itulah taqwa. Itulah yang diharapkan terwujud setelah menjalankan ibadah puasa ramadhan, yakni kelahiran orang orang yang bertaqwa kepada Allah SWT dengan ketaqwaan yang sebenar-benarnya. Merekalah adalah orang-orang yang menaati syariah Nya secara kaffah atas dasar keimanan dan tetap istiqamah dalam ketaatan kepada Allah SWT, saat Ramadhan ataupun di luar Ramadhan.
Masalahnya, bersikap istiqamah tidaklah mudah. Selain karena tarikan hawa nafsu yang selalu mengajak pada keburukan, godaan setan juga tak pernah absen menghantam setiap orang.
Seorang Sahabat pernah bertanya kepada Rasulullah saw., “Wahai Rasulullah, ajarilah aku dari Islam ini suatu ucapan yang mana aku tidak perlu lagi bertanya tentang hal itu kepada orang lain setelah engkau.”
Beliau menjawab, “Katakanlah, ‘Aku beriman kepada Allah,’ kemudian beristiqamahlah!” (HR Ahmad).
Ibnu Rajab mengatakan, “Wasiat Nabi saw. ini sudah mencakup wasiat dalam agama ini seluruhnya.” (Ibn Rajab al-Hanbali, Jâmi’ al-‘Ulûm wa al-Hikam, hlm. 246).
Istiqamah adalah menempuh jalan (agama) yang lurus (benar) tanpa berpaling ke kiri maupun ke kanan. Istiqamah mencakup pelaksanaan semua bentuk ketaatan kepada Allah SWT, lahir dan batin; meninggalkan semua bentuk larangan-Nya. Inilah pengertian istiqamah yang disebutkan oleh Ibnu Rajab al-Hanbali.
Imam an-Nawawi dalam Bahjah an-Nâzhirîn, Syarh Riyâdh ash-Shâlihîn juga berkata, “Para ulama menafsirkan istiqâmah dengan luzûm thâ’atilLâh, artinya tetap konsisten dalam ketaatan kepada Allah SWT.”
Lalu bagaimana agar kita bisa tetap istiqamah dalam ketaatan kepada Allah SWT?
Beberapa hal mesti dilakukan.
Pertama: Beriman secara benar dan lurus; menyatu antara keyakinan, ucapan dan tindakan (Lihat: QS Ibrahim [14]: 27).
Kedua: Mengkaji, menghayati dan mengamalkan seluruh isi al-Quran (Lihat: QS an-Nahl [16]: 102; QS al-Furqan [25]: 32).
Ketiga: Menjalankan segala amal dengan ikhlas dan selalu berusaha terikat dengan syariah (QS al-Bayyinah [89]: 5).
Keempat: Banyak menjalankan amal-amal yang sunnah—seperti shalat malam, shaum sunnah, dll—selain tentu konsisten dalam menjalankan berbagai kewajiban.
Kelima: Membaca kisah-kisah orang shalih terdahulu sehingga bisa dijadikan teladan dalam beristiqamah. Dalam al-Quran banyak diceritakan kisah-kisah para nabi, rasul dan orang-orang yang beriman yang terdahulu. Kisah-kisah ini Allah jadikan untuk meneguhkan hati Rasulullah saw. dan tentu orang-orang Mukmin (Lihat: QS Hud [11]: 11). Contohnya kita bisa mengambil kisah tentang sikap istiqamah Nabi Ibrahim as. saat dibakar oleh para penentangnya (QS al-Anbiya’ [21]: 68-70). Ibnu ‘Abbas ra. berkata, “Akhir perkataan Ibrahim as. ketika dilemparkan ke dalam kobaran api adalah, ‘HasbiyalLâhu wa ni’ma al-Wakîl (Cukuplah Allah sebagai Penolong dan sebaik-baik Tempat bersandar).’” (HR al-Bukhari).
Akhirnya, Ibrahim as. pun selamat.
Oleh karena itu, para salafush-shalih sangat senang sekali mempelajari kisah-kisah orang shalih terdahulu untuk diambil sebagai teladan. Basyr bin al-Harits al-Hafi mengatakan, “Betapa banyak orang-orang shalih yang telah wafat membuat hati menjadi hidup saat mengingat mereka.” (Ibn al-Jauzi, Shifat ash-Shafwah, II /333).
Imam Abu Hanifah juga amat senang mempelajari kisah-kisah para ulama. Ia berkata, “Kisah-kisah para ulama dan duduk bersama mereka lebih aku sukai daripada menguasai beberapa bab fikih. Itu karena dalam kisah mereka diajarkan berbagai adab dan akhlak luhur mereka.” (Al-Madkhal, I/164).
Nu’aim bin Hammad mengatakan, “Ibnu al-Mubarak biasa duduk-duduk sendirian di rumahnya. Kemudian ada yang bertanya kepada beliau, “Apakah engkau tidak kesepian?” Ibnu al-Mubarak menjawab, “Bagaimana mungkin aku kesepian, sedangkan aku selalu bersama Nabi saw.?” (Ibn al-Jauzi, Shifat ash-Shafwah, I/438).
Maksudnya, Ibnu al-Mubarak tidak pernah merasa kesepian karena biasa sibuk mempelajari jalan hidup Nabi saw.
Keenam: Bergaul dengan orang-orang shalih. Allah SWT menyatakan dalam al-Quran bahwa salah satu sebab utama yang menguatkan para Sahabat adalah keberadaan Rasulullah saw. di tengah-tengah mereka. Allah SWT juga memerintahkan agar kita selalu bersama dengan orang-orang yang baik (Lihat: QS at-Taubah [9]: 119).
Para ulama pun memiliki nasihat agar kita selalu dekat dengan orang shalih. Fudhail bin ‘Iyadh berkata, “Pandangan seorang Mukmin kepada Mukmin yang lain akan mengkilapkan hati.” (Siyar A’lam an-Nubala’, 8/435).
Maksudnya, hanya dengan memandang orang shalih saja, hati seseorang bisa kembali tegar.
Ketujuh: Memperbanyak doa kepada Allah SWT agar diberi keistiqamahan. Allah SWT memuji orang-orang yang beriman yang selalu berdoa kepada-Nya untuk meminta keteguhan iman ketika menghadapi ujian (Lihat: QS Ali ‘Imran [3]: 146-148; QS al-Baqarah [2]: 250; QS Ali Imran [3]: 8).
Doa yang paling sering Nabi saw. panjatkan adalah:
يا مقلب القلوب، ثبت قلبي على دينك.
(Duhai Zat Yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu).” (HR at-Tirmidzi).
Imam Hasan al-Bashri juga mengajari kita untuk banyak memohon keistiqamahan kepada Allah SWT dengan doa:
اللهم أنت ربنا، فارزقنا الإستقامة
“AlLâhumma Anta Rabbunâ, farzuqnâ al-istiqâmah (Ya Allah, Engkau adalah Tuhan kami, berilah kami keistiqamahan).” (Ibn Rajab al-Hanbali, Jâmi’ al-‘Ulûm wa al-Hikam, hlm. 245).
*****
Alhasil, Ramadhan boleh saja tinggal kenangan. Namun, selayaknya kita tetap menjadi orang-orang yang istiqamah dalam ketaatan kepada Allah SWT, termasuk dalam berdakwah demi memperjuangkan tegaknya syariah secara kaffah. [syahid/voa-islam.com]
Kiriman Qonita, Ibu Rumah Tangga Tanjungsari-Sumedang Jawa Barat