Kehidupan pernikahan kurang terasa indah bila tak ada bumbu bernama cemburu. Ibarat makanan, garam sebagai penyedap tentu harus ada agar rasa lebih nikmat. Dan yang namanya cemburu, sangat khas perempuan dengan segala intriknya sehingga sering membuat suami kelimpungan. Tapi sebatas apa sih cemburu harus ada agar sesuai takaran dan tidak kebablasan?
Sebut saja namanya Fulanah. Dia ini sangat pencemburu sampai-sampai suaminya tak boleh ikut grup medsos yang di situ ada perempuannya. Kalau sampai dia tahu suami ikut grup meskipun itu dalam rangka profesi, maka siap-siap saja suami mendapat murkanya. Maka demi keamanan bersama, suami pun memutuskan untuk menolak setiap diajak gabung ke grup di medsos. Bila dia dimasukkan tanpa izin, maka si suami ini akan segera keluar sebelum ketahuan istrinya.
Sekilas, si Fulanah bisa merasa bahagia karena suami menuruti kemauannya yang cemburu buta. Dia merasa tenang karena di HP suaminya tak lagi ada grup-grup yang di situ ada perempuan lain bisa berkomunikasi dengan suaminya. Pokoknya, suami adalah miliknya seorang.
Tapi tahukah Fulanah bahwa sikapnya yang sangat pencemburu itu membuat suaminya tidak merasa nyaman? Suami menurut bukan berarti setuju dengan cemburu buta si istri. Hanya saja sifat laki-laki itu memang cenderung menghindari konfrontasi dengan perempuan apalagi istri.
...namanya cemburu, sangat khas perempuan dengan segala intriknya sehingga sering membuat suami kelimpungan. Tapi sebatas apa sih cemburu harus ada agar sesuai takaran dan tidak kebablasan?..
Di belakang Fulanah, si suami memilih curhat dengan teman seprofesi tentang sikap istrinya ini. Tentu saja yang dicurhati adalah perempuan. Mereka malah keluar makan berdua tanpa sepengetahuan Fulanah. Tak boleh ada di grup medsos yang ada perempuannya, tapi si suami malah keluar berduaan dengan perempuan yang tak halal baginya. Semua itu dilakukan oleh si suami asal tidak ketahuan oleh Fulanah sebagai istri.
Tentu ilustrasi di atas tidak kita inginkan dalam pernikahan, bukan? Cemburu bukan rasa yang dibiarkan ada dengan membabi-buta. Cemburu itu harus ada sesuai takaran semestinya. Apakah takaran semestinya itu? Apalagi bila bukan rambu syariat Allah yang indah.
Cemburu yang cenderung buta membuat suami tak berdaya dalam makna negatif. Demi menghindari pertengkaran, ia akan melakukan sesuatu yang malah cenderung dibenci istri. Tentu hal ini akan berbeda bila saja keduanya mau duduk dan berkomunikasi bersama. Masing-masing bisa mengungkapkan apa saja yang bisa memancing hadirnya api cemburu. Tentu saja, ada batasan syariat sebagai standarnya.
Seandainya saja si istri mau menjelaskan bahwa cemburunya pada suami itu karena khawatir adanya interaksi berlebihan, misalnya. Lalu si suami pun menjelaskan bahwa ia akan selalu terbuka terhadap istri termasuk bisa melihatnya berinteraksi baik di dunia maya maupun nyata, tentu ia tak perlu curhat pada perempuan lain meskipun rekan seprofesi. Rasa saling percaya seperti ini harus ada untuk mengimbangi rasa cemburu agar ia tak melulu buta.
Untuk para istri, ingatlah bahwa suami itu bukan milik kita. Tak mungkin 24 jam waktunya bisa kita pantau bila tak ada percaya akan kualitas dirinya. Bukankah dulu kita juga yang dengan sadar memilihnya menjadi imam di dalam keluarga kecil ini?
Bila ada rasa was-was terhadap perilaku suami di luar yang tak kita ketahui, serahkan saja pada Sang Pemilik Jiwa. Berdoa padaNya agar suami selalu dijaga dimana pun ia berada. Berdoa juga bagi diri sendiri agar cemburu ini tetap berada dalam koridor aturanNya. Kalau bukan kita sebagai istri yang percaya pada suami, lalu siapa lagi? Wallahu alam. (riafariana/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google