Di satu acara cuci gudang penerbit, buku dijual dengan harga sangat murah. Bahkan satu kali pengisian pulsa dengan nominal terendah pun, masih murah harga buku-buku tersebut. Tapi bukan hal ini yang ingin saya bahas kali ini. Percakapan antara seorang anak laki-laki dengan ayahnya yang tanpa sengaja terdengar, membuat saya ingin menuliskannya.
“Ayah, aku mau buku ini,” si anak antusias membuka-buka buku berisi gambar hewan-hewan.
“Alah...itu kan gambar Dinosaurus. Banyaklah di internet. Mending lihat di internet saja. Ayo pulang,” ajak si ayah.
Saya tak mengikuti adegan selanjutnya, apakah mereka jadi pulang ataukah masih memberik anak waktu untuk menikmati membuka halaman demi halaman buku yang menarik hatinya. Hanya yang saya sesalkan adalah nada ‘meremehkan’ buku hanya karena itu semua bisa didapat dengan mudah di internet.
Okelah bila harga buku memang mahal, maka si ayah punya alasan untuk berkata demikian. Tapi ini harga buku setara atau bahkan lebih murah dari harga secangkir kopi dan gorengan di warung langganan ayah. Bahkan, segelas teh yang dibeli di kedai kecil supermarket tersebut setara atau bahkan lebih mahal dari harga si buku. Apa susahnya menuruti keinginan anak apalagi dalam hal positif yaitu membaca buku, bukan gadget.
Di era ketika hampir semua anak gandrung pada smart phone, ada beberapa gelintir anak yang berbinar saat memegang buku itu merupakan sebuah anugrah yang indah. Membaca buku yang berupa lembaran kertas dengan membaca gadget dengan lembaran maya di wattpad itu pun tak sama. Selain alasan radiasi pendar cahaya layar HP, konsentrasi untuk sungguh-sungguh membaca masih harus dipertanyakan.
...Jangan matikan gairah anak pada buku dengan alasan di internet semua itu tersedia. Bila sebagai orang tua kita tidak suka membaca, jangan ajak anak untuk menjadi jiplakan diri kita yang payah...
Berapa persen pembaca buku e-book tidak tergoda untuk mengecek akun media sosialnya? Berapa banyak anak yang belajar via gambar di internet tidak tergoda untuk bermain game online? Dan berapa banyak manusia yang menggunakan internet untuk mencari ilmu dan bukan sekadar tempat eksis dan chat sana-sini? *saya kena toyor juga nih kayaknya.
Secanggih apapun teknologi internet menyediakan jasa informasi pada kita, kebutuhan akan buku secara tradisional tetaplah ada. Buku jenis ini tidak perlu ribet bawa charger saat diajak bepergian. Bisa dijadikan kipas saat tubuh kegerahan. Bisa ditutupkan ke muka saat mata mulai ngantuk tapi tak ingin terlihat oleh orang lain betapa mulut bisa ngowoh (melongo ketika tidur-red). Di akhir kemanfaatan si buku ini adalah lembarannya bisa digunakan untuk membungkus lombok saat kita belanja ke tukang sayur.
Bayangkan bila itu semua ditiadakan dan semua dikonversi ke gadget. Ah...terlalu jauh meskipun itu adalah gambaran utuh betapa buku masih sangat relevan dan dibutuhkan.
Jangan matikan gairah anak pada buku dengan alasan di internet semua itu tersedia. Bila sebagai orang tua kita tidak suka membaca, jangan ajak anak untuk menjadi jiplakan diri kita yang payah. Gadget tak akan bisa menggantikan kegembiraan si anak saat ia membalik halaman demi halaman dengan rasa suka-cita. Di titik ini, sebagai ayah berkorbanlah sedikit dengan mendengarkan ia berceloteh. Lebih jauh sedikit jangan pelit untuk mengeluarkan anggaran yang besarnya tak lebih dari segelas teh poci. Wallahu alam. (riafariana/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google