Oleh: Musdalifah Nur, A.Md, Farm
Indonesia diramaikan kembali dengan kasus perkosaan dan pembunuhan anak perempuan (berinisial KM) berusia 4 tahun di Sorong, Papua Barat yang dilakukan oleh 3 orang pria. Mayat KM ditemukan di dalam lumpur setelah pencarian dilakukan selama 3 jam oleh warga dan beberapa anggota Babinsa Koramil Sorong Timur.
Tersangka pelaku yang telah ditangkap oleh Aparat Keamanan ternyata adalah tetangga korban. Dalam interogasi pelaku beralasan sedang mabuk minuman keras ketika memperkosa korban beramai-ramai. Anita Rahayu, sebagai Aktivis Perempuan di Sorong menuntut agar pemerintah segera melakukan hukuman kebiri.
Hukum pengebirian sendiri sebenarnya sudah terdengar semenjak tahun 2014 karena semakin maraknya kasus kejahatan seksual yang dialami oleh perempuan. Menurut Komisi Nasional Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) rata-rata 35 perempuan menjadi korban kekerasan seksual di Indonesia setiap harinya. Meningkatnya tingkat kekerasan seksual bersamaan dengan peningkatan kekerasan terhadap perempuan secara umum, menjadi 321.752 kasus yang tercatat Tahun 2015, naik dari 293.220 Tahun 2014. (VOA, 7/12/2016)
Kebiri (al ikhsha’, castration) artinya adalah pemotongan dua buah dzakar (al khushyatain, testis), yang dapat dibarengi dengan pemotongan penis (dzakar). Jadi kebiri dapat berupa pemotongan testis saja, dan inilah pengertian dasar dari kebiri. Namun adakalanya kebiri berupa pemotongan testis dan penis sekaligus. Kebiri bertujuan menghilangkan syahwat dan sekaligus menjadikan mandul. (Hizbut Tahrir Indonesia, 26/10/2015)
...Ini adalah bentuk nyata kegagalan negara-negara demokratis untuk melindungi wanita dari kejahatan seksual. Nilai-nilai liberal yang diagung-agungkan penganutnya justru menjadi sumber malapetaka. Karena itu penting kita renungi...
Semakin maraknya kasus kekerasan seksual di Indonesia tidak terlepas dari penerapan sistem yang diterapkan oleh pemerintah saat ini, yaitu sistem Sekuler-Liberalis. Penerapan aturan-aturan kehidupan yang diterapkan saat ini sangat jauh dari aturan agama dan menjunjung tinggi kebebasan termasuk kebebasan bertingkah laku. Perempuan-perempuan baligh dibiarkan keluar rumah dengan mengumbar aurat, masyarakat yang disuguhkan tontonan pornografi dan pornoaksi, ditambah lagi dengan kebijakan pemerintah yang membebaskan produksi, distribusi dan konsumsi miras yang merupakan sumber kerusakan.
Ini adalah bentuk nyata kegagalan negara-negara demokratis untuk melindungi wanita dari kejahatan seksual. Nilai-nilai liberal yang diagung-agungkan penganutnya justru menjadi sumber malapetaka. Karena itu penting kita renungi. Kejahatan seksual dengan tingkat yang mengerikandi berbagainegara demokratis, sikap longgar pihak pemerintah dalam menjaga martabat perempuan, dan sikap apatis pemerintah dalam menjamin keamanan mereka adalah hasil dari kultur liberal yang secara rutin dan sistematis merendahkan nilai kaum perempuan.
Inilah salah satu bukti ketika aturan agama dijauhkan dari kehidupan manusia umumnya dan bernegara khususnya. Manusia bebas menerapkan aturan sekehendaknya tanpa melihat lagi kerusakan yang dihasilkan. Maka solusi yang diberikan tidak bisa dengan pengebirian saja, apalagi telah kita ketahui bahwa hukum pengebirian sendiri tidak sesuai dengan syariat Islam.
Islam memiliki solusi yang paripurna sehingga dapat menyelesaikan seluruh permasalahan kehidupan termasuk permasalahan kekerasan seksual. Ketika Islam diterapkan dalam bernegara, didukung dengan masyarakat yg melakukan amar ma’ruf nahi mungkar dan individu yang bertakwa, maka Islam Rahmatan Lil’alamin akan menjadi nyata dan dirasakan oleh seluruh umat manusia khususnya perempuan muslim dan non-muslim. Bila sudah begini, masihkah kita enggan untuk mengambil Islam saja sebagai solusi? Wallahu alam. (riafariana/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google