Oleh: Puspita Ningtiyas
(Mahasiswi Sekolah Tinggi Ilmi Syariah - Sentra Bisnis Islam Surabaya)
Sesuatu yang sangat mengerikan tapi terus berulang. Seabrek persoalan negeri ini tidak menggeser sedikitpun, kisah perempuan sebagai korban kekerasan seksual di headline media-media masa. Tiap bulan, tiap pekan bahkan tiap hari media senantiasa menyajikan berita serupa yang tidak jauh- jauh dari persoalan tersebut.
Lazimnya, sebuah persoalan di tengah masyarakat tidak dibiarkan terus berulang, apalagi telah ada regulasi yang terus di buat oleh pemerintah sebagai solusi atas persoalan yang bermunculan, tapi apa yang terjadi ? persoalan ini tak kunjung selesai bak gunung es yang tampak besar tapi tak sebesar yang di bawah permukaan .
Bukan hanya pemerintah dalam negeri, tawaran solusi juga muncul dari Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS) Jakarta, mengajak mahasiswa untuk peduli terhadap kasus kekerasan yang kerap menjadikan kaum perempuan sebagai korban. Ajakan itu terangkum dalam acara nonton bareng film dokumenter “Brave Miss Word” dan diskusi yang berlangsung di Amerika corner Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo, Semarang, Selasa 21 Maret kemarin.
Film dokumenter yang diproduseri Cecilia Peck itu menceritakan tentang perjuangan penyintas kekerasan seksual, Linor Abargil asal Israel yang pernah memenangi ajang miss Word 1998. Hanya tujuh minggu sebelum dikirim untuk kompetensi pada ajang Miss Word 1998 dan akhirnya dimenanginya, Linor yang mewakili Israil di culik, di tusuk dan di perkosa. Setelah dinobatkan sebagai Miss Word, Linor memutuskan membuka suara tentang kekerasan seksual yang dialaminya dan memberi bantuan, serta dukungan kepada orang-orang yang mengalami nasib serupa. Antaranews.com
Mahasiswa dengan segala potensi yang dimiliki memang layak menjadi pusat perhatian, perubahan bergantung kemana arah pergerakan mahasiswa. Karenanya sangat disayangkan jika aktivitas mahasiswa di cukupkan pada hal pragmatis, tinggal-lah kekerasan seksual sebagai masalah yang tak terselesaikan, karena upaya yang dilakukan tak sama sekali menyentuh akar persoalan.
Sebuah persoalan yang sistemik tidak bisa diselesaikan dengan menggunakan sample sebagai miniatur yang akan mewakili seluruh populasi, sebagaimana penelitian dalam dunia akademis. Entitas masyarakat harus di pandang sebagai sebuah institusi yang syarat dengan pemikiran, perasaan tertentu yang tersinergikan aturan yang sama. Sehingga perubahan di tengah masyarakat tentu harus dengan perombakan pola pikir masyarakat dan paradigma regulasi yang ada.
Islam menyentuh akar persoalan kekerasan seksual: mewajibkan penjagaan terhadap kehormatan perempuan sekaligus dengan upaya preventifnya berupa penjagaan ketaqwaan individu, masyarakat yang islam serta regulasi pemerintah yang mendaulat kepada Al-quran dan sunnah. Wallahu ‘alam. [syahid/voa-islam.com]