Saat masih kuliah, komputer satu-satunya rusak padahal tugas sedang banyak-banyaknya. Sedih? Lebih tepatnya deg-degan. Beberapa data masih di dalam dan entah bisa diselamatkan atau tidak. Hanya ada 2 kemungkinan agar aktivitas tidak terganggu: memanggil jasa servis atau beli baru. Keduanya sama-sama membutuhkan dana. Budget untuk alokasi ini sama sekali tidak terpikir. Ada sih uang, tapi itu untuk membayar SPP semesteran. Duh!
Di tengah kalut memikirkan nasib komputer, tugas-tugas yang terbengkalai, dan berusaha mencari solusi di tengah terbatasnya dana, HP berbunyi. Seorang teman yang tinggal di kota lain dan juga sama-sama kuliah sedang ingin ‘say hi’. Setelah saling bertanya kabar, masing-masing pun bercerita apa yang ingin diceritakan. Meluncurlah cerita tentang nasib komputer yang tiba-tiba mati tanpa ucapan selamat tinggal itu.
Alih-alih berempati, si teman ini malah bercerita sebaliknya. Dengan nada bangga dan riang gembira, dia bercerita bahwa baru saja ia mendapat hadiah dari ayahnya berupa laptop terbaru yang paling canggih. Jadi saat itu dia punya komputer bagus yang masih sangat bisa dipakai dan laptop baru meskipun tanpa diminta. Entah mengapa, sempat terbersit rasa iri ‘mengapa bukan aku yang mendapat hadiah laptop itu di saat kondisi benar-benar sangat membutuhkan ini?’
Setelahnya langsung istighfar. Ahh...’dunia’ tak perlu diiri. Insya Allah akan ada jalan keluar bagi nasib komputer saya. Poin tulisan ini bukanlah tentang nasib komputer ataupun solusi bagi penyelamatan data penting dalam komputer rusak tersebut. Inti tulisan ini adalah miskinnya empati pada diri saat ada teman atau saudara kita sedang kesusahan.
...Bisa jadi, di saat yang berbeda...kita menjadi sosok yang miskin empati sebagaimana kisah seorang teman di atas. Bisa jadi saat ada teman sedang sedih, alih-alih berempati, kita malah pamer sesuatu dengan berbangga diri...
Bisa jadi, di saat yang berbeda...kita menjadi sosok yang miskin empati sebagaimana kisah seorang teman di atas. Bisa jadi saat ada teman sedang sedih, alih-alih berempati, kita malah pamer sesuatu dengan berbangga diri. Naudzubillah.
Ketika itu, muncul rasa ‘menyesal’ sudah bercerita tentang kondisi komputer pada si teman. Tidak berharap dikasihani, tapi paling tidak bisa menahan diri sebentar untuk tidak bercerita yang seolah bahagia di atas penderitaan teman adalah satu langkah bijak.
Hal ini mengingatkan diri akan kisah yang beredar luas di medsos. Alkisah ada seorang pedagang muslim yang tokonya selamat di saat toko lainnya habis dilahap api. Dia sempat berujar dalam hati ‘Alhamdulillah’ sebagai ekspresi lega karena hartanya selamat. Tapi di saat yang sama, dia langsung sadar dan istighfar. Itu artinya dia merasa bahagia di atas kesedihan saudara-saudaranya yang tokonya ludes terbakar.
Dia menyesal dan sebagai gantinya, seluruh tokonya langsung dia sedekahkan. Seumur hidupnya setelah itu, dia merasa bersalah dan berdosa karena sempat memiliki perasaan lega tersebut. Dia pun terus memohon ampunan pada Allah akan sikapnya hingga akhir hayatnya.
Valid tidaknya kisah tersebut, wallahu alam. Hanya saja ada hikmah yang bisa kita ambil di dalamnya. Betapa kualitas diri sangat jauh dari sosok dalam kisah tersebut. Tapi paling tidak, kita tahu bahwa merasa senang dengan kesedihan yang menimpa saudara sesama muslim sungguh sangat tidak etis. Apalagi bila di dalam hati terbersit rasa sombong dan bangga karena seolah diri paling benar sendiri karena hidupnya seolah baik-baik saja, maka sudah sewajarnya introspeksi. Semoga saja kita bukan menjadi pihak yang merasa senang dan asik saja bercerita dengan riang di saat teman membutuhkan sedikit saja rasa empati kita. Wallahu alam. (riafariana/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google