Letsy Detmar adalah anak kepala sekolah, tempat Kartini muda menuntut ilmu. Dikutip dari buku Kartini, Sebuah Biografi karya Sitisoemandari Soeroto, di bawah ini sekilas ilustrasi momen penting itu.
Waktu itu usai pelajaran. Anak-anak perempuan, besar kecil duduk berkelompok-kelompok di bawah pohon-pohon waru di atas rumput. Hari panas sekali, tak ada yang ingin bermain-main. Letsy, gadis keturunan Belanda sedang membaca buku. Kartini, satu-satunya perempuan pribumi di sekolah tersebut menyapanya.
“Letsy, ayolah ceritakan padaku apa isi buku yang sedang kamu baca!”
“Ah, tidak. Saya harus menghapalkan bahasa Perancisku.”
“Itu kan bisa kamu lakukan nanti di rumah. Toh, itu bukan tugas sekolah.”
“Iya, tapi kalau saya tidak belajar bahasa Perancis dengan baik, maka saya tidak bisa melanjutkan sekolah ke negeri Belanda. Saya ingin sekali masuk Sekolah Guru. Kalau sudah menjadi guru, saya bisa ditempatkan di negeri ini lagi. Itu cita-citaku. Sekarang Ni, katakan apa cita-citamu jika besar nanti?”
“Tidak tahu,” Kartini muda menggeleng.
...Cita-cita Kartini untuk perempuan Indonesia adalah kesempatan mendapat pendidikan selayaknya laki-laki. Untuk apa?...
Dari percakapan sederhana itulah, benak Kartini tak henti bertanya. Ingin jadi apa ketika ia besar nanti? Pertanyaan dari percakapan sederhana siang itu menjadi cikal-bakal langkah Kartini ke depan. Ia ingin kaumnya memunyai cita-cita selayaknya perempuan barat yang menjadi teman sekolahnya itu. Perjuangan atas nama emansipasi perempuan yang terasa hingga kini. Hari lahir Kartini tiap 21 April pun dijadikan hari besar nasional.
Lihatlah, perjuangan Kartini membuahkan hasil. Perempuan memunyai kesempatan bersekolah setinggi-tingginya. Perempuan berhasil memunyai cita-cita tinggi melampaui ‘hanya’ sebatas jadi guru sebagaimana cita-cita Letsy Detmar. Tingginya cita-cita ini melupakan hakikat awal Kartini yang menginginkan pendidikan perempuan bukan untuk bersaing dengan laki-laki.
Perempuan saat ini telah melampaui cita-cita Kartini. Mereka telah meraih segala kesempatan yang ada di ruang publik. Tak jarang, tugas utama di ruang privat (rumah) menjadi nomor sekian. Betapa banyak para perempuan memilih single demi mengejar karier. Para istri yang juga sebagai ibu dari putra-putrinya, memilih sibuk rapat dan menghabiskan waktu di kantor daripada menghabiskan waktu dengan keluarga di rumah.
Kita tidak sedang membicarakan tentang perempuan tanpa suami yang menjadi tulang punggung keluarga. Tapi kita sedang membincang perempuan yang bekerja atas nama karier dan apa yang biasa disebut sebagai kesetaraan.
Cita-cita Kartini untuk perempuan Indonesia adalah kesempatan mendapat pendidikan selayaknya laki-laki. Untuk apa? Bukan untuk bersaing dengan laki-laki apalagi sebatas gengsi. Itu semua dilakukan Kartini demi mempersiapkan calon pendidik utama generasi. Tapi bila kemudian para ibu lebih sibuk dengan pekerjaan kantor daripada mendampingi anak-anak tumbuh dan berkembang, sudah saatnya introspeksi dilakukan. Inikah memang yang dikehendaki Kartini saat ia ditanya tentang cita-cita oleh Letsy? (riafariana/voa-islam.com)
*Bersambung
Ilustrasi: Google