Oleh: Nailil Inayah, M.Pd (Pengamat Pendidikan)
Di bulan Juli di mana saat siswa baru mulai mendaftar ulang sekolah, di kota Yogyakarta khususnya jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) beberapa sekolah memberikan surat pengumuman himbauan seragam sekolah panjang untuk muslimah dan berkerudung.
Hal tersebut mengundang protes dan sikap kontroversial dari ketua DPR Kota Yogyakarta, Sujanarko, yang menyebut bahwa himbauan sejumlah sekolah menengah pertama negeri agar siswa yang beragama Islam mengenakan seragam panjang dan berkerudung menurutnya tidaklah tepat. Lebih lanjut, menurutnya, himbauan ini tidak sesuai dengan semangat kebhinekaan dan keragaman, serta menyalahi toleransi dan nasionalisme (Tempo.co/18/7/2017).
Dalam hal ini, ia menuding pihak Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta lengah dan meminta Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X untuk segera menyikapinya.
Sementara itu, pihak Kepala Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta Edy Heri Suasana menyatakan bahwa dalam pedoman pakaian sekolah dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan ihwal aturan seragam sekolah dalam Permendikbud Nomor 45 tahun 2014 tidak adea penjelasan sisiwi di sekolah negeri wajib mengenakan jilbab ataupun sebaliknya (dilarang mengenakan jilbab).
Sehingga, tidak mengapa memberikan himbauan berbusana muslimah atau berjilbab bagi siswi muslimah karena itu merupakan kewajiban di dalam agama Islam dan tidak ada kaitannya dengan intoleransi. Sebagaimana jika seorang muslim atau muslimah diwajibkan sholat apakah termasuk intoleransi, tentu saja tidak kan.
Demikian juga dipaparkan oleh Sukirno, Kepala Sekolah SMPN 11, bahwa surat pengumuman seragam sekolah yang dikeluarkan tersebut merupakan himbauan semata bukan mewajibkan, karena dengan pertimbangan penumbuhan karakter sesuai dengan visi dan misi sekolah yakni meningkatkan keimanan dan ketaqwaan. Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh Sugiharjo, Kepala SMPN 7 Yogyakarta. Ia menyatakan bahwa edaran yang dikeluarkannya merupakan himbauan kepada siswi-siswi muslimah karena ia mengharapkan orang beragama haruslah sesuai dengan tuntunan agamanya. Oleh karena itu ia menghiumbau kepada siswi-siswinya bukan memaksakan.
Upaya membenturkan syariah khususnya jilbab atau pakaian muslimah dan kerudung dengan kebhinekaan dan toleransi bukanlah hal yang sepatutnya dilakukan. Berbusana muslimah/ berjilbab merupakan tuntunan agama dan konsekuensi orang beragama adalah menjalankan aturan agamanya. Sebelumnya, kasus-kasus pelarangan siswi berkerudung sudah lebih awal dan sering terjadi sejak masa orde baru hingga reformasi, bahkan di dalam negeri maupun di luar negeri.
Inikah toleransi, ketika itu siswi-siswi muslim hendak menunaikan ajaran agamanya dan menunjukkan identitas keislaman dirinya dengan hijab justru mendapat pertentangan yang keras dari sekolah-sekolah negeri bahkan pada tahun 1991-an begitu sulitnya di era tersebut mencari sekolah yang membolehkan siswinya berkerudung saat sekolah. Kasus pelarangan jilbab tersebut kian santer hingga sampai ke kursi pengadilan karena siswi-siswi yang ingin memperjuangkan keyakinannya untuk bisa menutup auratnya ketika sekolah. Sekali lagi, inikah toleransi?!
Kini, ketika di satu sisi ada regulasi sekolah yang memberikan sedikit ‘ruang’ bagi siswi-siswi untuk berhijab bahkan mensuasanakan keimanan dan ketaqwaan dalam rangka pencapaian visi dan misis sekolah atau kurikulum nasional tentang karakter justru dianggap intoleran dan anti kebhinekaan atau mengancam nasionalisme. Sangat miris. Sebab, di sisi lain ketika melihat tontonan remaja saat ini yang mengumbar aurat seperti tayangan-tayangan sinetron anak sekolah yang mengenakan seragam sekolah yang ketat dan tinggi di atas lutut sehingga merangsng syahwat lawan jenisnya.
Tidak dapat dipungkiri hal ini menjadi prototipe bagi siswi-siswi dalam berseragam di sekolah dan pada akhirnya mengantarkan pada maraknya kasus perkosaan dan kehamilan di luar nikah bagi para remaja saat ini. Lantas di manakah kesalahan sekolah yang menetapkan kebijakan menghimbau siswi-siswinya menutup aurat mereka, menetapkan seragam yang sesuai dengan tuntunan agama mereka sekaligus menerapkan nilai-nilai etika kesopanan dan budaya berpakaian ketimuran? Sungguh ironi sekali, jika siswi-siswi yang berpakaian ketat dan sekolah-sekolah yang mengijinkannya tidak menjadi sorotan para pejabat negeri tapi justru segala yang berbau syariah Islam harus dituding anti kebhinekaan dan keragaman.
Demikianlah Islamphobia yang digulirkan saat ini justru menjadikan umat Islam yang berada di negeri yang mayoritas penduduknya muslim harus dituding dengan berbagai tuduhan bahkan regulasi pemerintahan tidak memberikan ‘ruang’ dengan porsi yang sebanding.
Jika yang dipermasalahkan adalah status kenegerian sekolah, maka betapa sempitnya blok mental yang ditanamkan sistem negara ini sehingga harus mengkotak-kotakkan muatan agama yang diberikan berdasarkan status kenegerian sekolah. Selama ini doktrin sistem sekuler adalah sekolah swata lah yang wajar lebih kental muatan agama Islamnya dibandingkan sekolah negeri. Sedangkan sekolah negeri harus lebih moderat, toleran dan nasional.Kita sadari atau tidak, Inilah diskriminasi yang sesungguhnya. Adakah aturan agama Islam membeda-bedakan demikian?tentu saja tidak.
Seharusnya sekolah negerilah sebagai acuan, panutan dan teladan bagi sekolah-sekolah swasta dari semua aspek bukan hanya kualitas akademik namun juga dari sisi ketaatan agama, akhlakul karimah, kesopanan dalam berseragam dan sebagainya.
Oleh karena itu, mari kita wujudkan regulasi pendidikan yang sesuai dengan cita-cita pendidikan bangsa tanpa mendiskreditkan aturan agama. Sejatinya keduanya saling bersesuaian bukan bertentangan maka tidak perlu dipertentangkan.
Generasi penerus bangsa yang baik adalah generasi yang dilahirkan dari regulasi pendidikan yang baik dari sistem pemerintahan yang baik pula, yakni sistem regulasi dari Sang Pencipta alam semesta, Allah SWT. Wallahu a’lam bis shawab. [syahid/voa-islam.com]