View Full Version
Sabtu, 26 Aug 2017

Saat Diminta Menjadi yang Kedua, Langkah Ini yang Harus Dilakukan Muslimah

Seorang teman perempuan mencurahkan isi hatinya pada saya saat itu, jauh sebelum isu dan istilah pelakor muncul. Intinya ia sedang dekat dengan seorang laki-laki beristri. Ia merasa nyaman dengannya dan bersedia menjadi istri kedua. Begitu pun si bapak yang menurut teman saya adalah sosok yang paham agama dan bercirikan seorang ‘ustadz’. Ia berniat serius dengan teman saya menuju jenjang pernikahan.

Si teman saya ini butuh second opinion atau pendapat lain untuk permasalahannya. Dia merasa saya adalah orang yang tepat untuk dimintai pendapat. Awalnya saya biarkan dia curhat panjang kali lebar dengan segala alasan yang dia kemukakan. Setelah puas, saya tidak perlu berpanjang lebar lagi karena menasehati orang jatuh cinta itu katanya seperti berbicara pada tembok. Saya hanya berharap teman saya ini masih memunyai segi rasionalitas untuk menuntunnya mengambil keputusan dengan bijak.

“Dari seluruh ceritamu, sebelum melangkah ke arah yang lebih serius tolong minta satu hal sama laki-laki tersebut. Mengenalkan kamu kepada istrinya sebagai calon istrinya juga.”

Tahapan ini penting dilakukan. Karena apabila dia memang laki-laki yang baik, maka posisi teman saya haruslah sejajar dengan istri pertamanya. Teman saya dinikah tidak untuk dijadikan istri simpanan yang untuk bertemu saja harus sembunyi-sembunyi. Sebagai teman dan sebagai perempuan, tentu saya tak rela ia diperlakukan demikian.

Sungguh saya berharap, laki-laki tersebut adalah laki-laki sejati. Sosoknya yang katanya paham agama diikuti dengan kemampuan memahamkan dan mendidik istri. Sayangnya beberapa waktu kemudian, teman saya kembali dengan tak percaya diri.

...Poligami itu adalah berbagi kebahagiaan, bukan saling menyakiti. Apabila ada yang tersakiti, maka pastikan bukan kamu penyebabnya. Tak akan barakah pernikahan yang dibangun di atas puing-puing rumah tangga lainnya.”..

“Ia diam saja saat kuminta seperti saranmu. Kamu betul, dia tidak memunyai niat baik karena dia tidak mau dan tidak berani mengenalkan aku pada istrinya,” katanya sendu.

“Jangan sedih, insya Allah akan ada laki-laki yang baik yang lebih pantas untukmu. Kamu berhak bahagia, dan perempuan istri laki-laki  itu juga berhak bahagia. Poligami itu adalah berbagi kebahagiaan, bukan saling menyakiti. Apabila ada yang tersakiti, maka pastikan bukan kamu penyebabnya. Tak akan barakah pernikahan yang dibangun di atas puing-puing rumah tangga lainnya.”

Syukurlah, teman saya itu tidak menuruti kata hatinya yang sepertinya sudah setengah jatuh cinta terhadap laki-laki itu. Pelan-pelan, ia menolak untuk diajak ketemuan oleh laki-laki tersebut. Jujur, saya pribadi tidak nyaman dengan sosok laki-laki yang katanya paham agama tapi bersikap seolah begitu jahil. Bila ia memang paham agama, mengapa mengajak bertemu teman saya berduaan saja? Dalih di tempat umum semisal restoran sebagai tempat pertemuan tetap tak bisa dibenarkan.

Teman saya ini adalah perempuan yang baru saja hijrah. Ia masih belajar berhijab. Pantas bila ia merindukan sosok suami yang bisa membimbingnya untuk lebih istiqomah dalam berislam. Dan pantas juga bila ia mudah terkecoh dengan tampilan laki-laki yang ‘ngustadz’. Tapi kebaikan berislam seseorang bukan dilihat dari seberapa fasih dia berdalil, melainkan dari sikap yang tercermin pada perbuatan. Dan sejauh yang diceritakan pada saya, dia bukan sosok qawwam yang pantas untuk teman saya ini.

Sampai saat ini, teman saya ini belum menikah tapi Alhamdulilah tetap happy. Dia saat ini lebih memilih menyibukkan diri dengan pekerjaannya sebagai seorang marketing handal dari satu produk sofware original komputer dan cukup sering dikirim ke luar negeri. Harapku, semoga Allah segera mempertemukan jodohnya. Wallahu alam. (riafariana/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version