Oleh: Firdaus Ahmadi (Redpel Jurnal STT dan STKIP Banten)
Pendidikan sebagai usaha untuk menangkal pelecehan seksual diantara anak
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Pasal 1, “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”.
“Terdapat tiga jenis kasus yang sampai saat ini tingkatnya terus meningkat, yaitu kasus perebutan anak, anak bermasalah dengan hukum dan pelecehan seksual terhadap anak,” jelas Maria Ulfah Anshor, Komisioner KPAI Bidang Sosial dan Bencana, Anak-anak yang dimaksudkan oleh KPAI adalah anak-anak yang berusia 0-18 tahun. (http://www.kpai.go.id/berita/kpai-925-kasus-pelecehan-seksual-anak-terjadi-di-2013)
Pelecehan seksual bukan saja terjadi pada anak kecil / usia dini (PAUD/TK/SD) saja tapi juga pada “anak yang terbilang sudah dewasa” (SMP-SMA), bahkan yang paling parah bukan saja mereka sebagai korban namun sudah termasuk sebagai pelaku pelecehan seksual. Kasus yang terbaru adalah kasus Loly Candy berlatar belakang pelecehan seks melalui media online menggunakan facebook, walau pelakunya sudah ditangkap namun yang membuat kita miris adalah ada dua orang pelaku yang masih dibawah umur (17 tahun). Tulisan ini hanya melihat masalah pelecehan seksual yang dilakukan anak terhadap anak.
Deretan kasus pelanggaran terhadap anak terus terjadi dengan berbagai pola dan bentuknya sepanjang 2016. PresidenJoko Widodo sudah menjadikan kejahatan seksual terhadap anak sebagai kejahatan luar biasa, diikuti penerbitan Perppu Nomor 1 Tahun 2016 yang kemudian disahkan DPR menjadi undang-undang.Perppu telah menjawab kebutuhan faktual untuk pemberatan hukuman bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak sebagai tindakan yang tak bisa ditoleransi.
Tahun 2016, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima 3.581 kasus pengaduan masyarakat terkait pelanggaran hak anak. Kasus tertinggi anak berhadapan dengan hukum (ABH) mencapai 1.002 kasus, disusul kasus terkait keluarga dan pengasuhan alternatif 702 kasus, kejahatan anak berbasis siber (cyber crime) 414 kasus, selanjutnya kasus pelanggaran anak dalam pendidikan 328 kasus. (http://www.kpai.go.id/utama/wajah-perlindungan-anak-2016-2/)
Sekarang untuk mengatahui definisi pendidikan dalam perspektif pencegahan, UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, menjelaskan:
“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara”.
Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,
“Kewajiban bapak dan ibu mendidik anak-anak mereka serta mengajari mereka tatacara bersuci dan shalat." (Al-Majmu’ Syarh Muhadzdzab, Pustaka Azzam, (III/12))
Dari masukan – masukan di atas, jelaslah bahwa pentingnya pendidikan bagi anak adalah agar anak dapat mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya melalui berbagai rangsangan dan masukan – masukan dari orang dewasa dan lingkungan sekitar.Pendidikan terbaik adalah melalui semua panca indra dan melalui pengalamannya dengan potensi untuk dikembangkan,hal itu berarti pendidikan bagi anak terutama usia dini mutlak diberikan agar mereka dapat mencapai taraf kemanusiaannya.
Pendidikan Seksual Pada Anak
Menurut Sarlito dalam bukunya Psikologi Remaja (1994), secara umum pendidikan seksual adalah suatu informasi mengenai persoalan seksualitas manusia yang jelas dan benar, yang meliputi proses terjadinya pembuahan, kehamilan sampai kelahiran, tingkah laku seksual, hubungan seksual, dan aspek-aspek kesehatan, kejiwaan dan kemasyarakatan. Masalah pendidikan seksual yang diberikan sepatutnya berkaitan dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat, apa yang dilarang, apa yang dilazimkan dan bagaimana melakukannya tanpa melanggar aturan-aturan yang berlaku di masyarakat.
Singgih, D. Gunarsa juga penyampaian materi pendidikan seksual ini seharusnya diberikan sejak dini ketika anak sudah mulai bertanya tentang perbedaan kelamin antara dirinya dan orang lain, berkesinambungan dan bertahap, disesuaikan dengan kebutuhan dan umur anak serta daya tangkap anak (Psikologi praktis, anak, remaja dan keluarga, 1991).
Juga dikatakan bahwa tujuan dari pendidikan seksual adalah bukan untuk menimbulkan rasa ingin tahu dan ingin mencoba hubungan seksual antara remaja, tetapi ingin menyiapkan agar remaja tahu tentang seksualitas dan akibat-akibatnya bila dilakukan tanpa mematuhi aturan hukum, agama dan adat istiadat serta kesiapan mental dan material seseorang. Selain itu pendidikan seksual juga bertujuan untuk memberikan pengetahuan dan mendidik anak agar berperilaku yang baik dalam hal seksual, sesuai dengan norma agama, sosial dan kesusilaan (Tirto Husodo, Seksualitet dalam mengenal dunia remaja, 1987).
Imam An-Nawawi rahimahullah menambahkan, “Orang tua juga wajib mendidik anak mereka hadir shalat secara berjama’ah dan menjelaskan kepada mereka tentang haramnya zina, homoseks, minum khamr, berdusta, bergunjing, dan semisalnya. (Dan ini diberikan) kepada anak laki-laki maupun perempuan.” (Bekal Menanti Si Buah Hati, 2008)
Pandangan pro-kontra pendidikan seks ini tergantung pada bagaimana kita mendefinisikan pendidikan seks itu sendiri. Jika pendidikan seks diartikan sebagai pemberian informasi mengenai seluk beluk anatomi dan proses faal reproduksi manusia dan tehnik-tehnik pencegahannya (alat kontrasepsi) maka timbul kecemasan. Tapi bila, pendidikan seks di pandang seperti pendidikan lain pada umumnya yang mengandung pengalihan nilai-nilai dari pendidik ke subjek didik maka, informasi tentang seks diberikan secara kontekstual yaitu dalam kaitannya dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat serta berbagai hubungan pergaulan dan peran. (Kohler, Psikologi Anak, 2008).
Kehidupan manusia baik sebagai pribadi menyangkut berbagai aspek, antara lain aspek emosional, sosial psikologis dan sosial budaya, dan kemampuan intelektual yang terpadu secara terintegrasi dengan faktor lingkungan kehidupan. Kehidupan pendidikan merupakan pengalaman proses belajar yang dihayati sepanjang hidup, baik di dalam jalur pendidikan sekolah maupun luar sekolah
Namun yang paling penting adalah tindakan real dilapangan. Harus ada keberanian pihak – pihak lain yang harus membantu masalah ini seperti Kepolisian dan Depkominfo (Departeman Komunikasi dan Informasi) Walaupun ada stigma, “satu website berkonten pornografi di tutup besok ada seribu website berkonten pornografi yang muncul”. Harus dibalas, “satu website berkonten pornografi tidak ditutup besok ada sejuta pelecehan yang akan terjadi”.
Kepolisian harus bisa menutup pabrik / toko cd (compact disk) bajakan yang berkonten pornografi. Dan yang lebih jauh lagi polisi bersama dengan Babinsa (Bintara Pembina Desa) harus mengawasi warnet – warnet (warung internet) terutama yang buka sampai dua puluh empat jam karena dikhawatirkan ada usaha pembukaan situs website berkonten pornografi karena mungkin sudah tidak ada yang bisa mengawasinnya.
"Tujuan utama pendidikan bukanlah pengetahuan, tetapi tindakan”. Herbert Spencer (1820–1903), filsuf sosial Inggris". [syahid/voa-islam.com]