Oleh : Rahma Zahira
Satu hal yang menarik saat gunjang-ganjing persoalan negeri ini yaitu munculnya sebarisan emak-emak yang mulai kritis terhadap kebijakan penguasa. Emak-emak ini tentunya bukan emak-emak biasa, yang hari-harinya cuma ngurusi panci dan perkakas dapur lainnya. Mereka adalah barisan emak-emak yang berpikir kritis dan politis. Tentunya kritis terhadap kebijakan maupun persoalan bangsa.
Tentu menjadi pertanyaan besar bagi kita, apa kontribusi barisan emak-emak ini terhadap bangsa dimana permasalahannya begitu komplek? Mungkin jawabannya bisa beragam, tergantung dari sudut pandang publik menilai kemampuan si emak-emak ini. Namun sebagai masyarakat yang sangat jenuh dengan kompleksitas masalah tadi, tentunya kita menginginkan kualitas emak-emak yang super dan tajam analisisnya. Tak lupa kemampuan memberikan solusi yang tepat untuk menyelesaikan problematika umat dan juga bangsa tentunya.
Maka untuk menghasilkan kualitas emak-emak yang super tadi kita perlu membekali mereka dengan Tsaqafah (wawasan) Islam yang kuat. Sebab Tsaqafah inilah yang nantinya akan membentuk mereka menjadi emak-emak yang kritis dan berpikir politis. Emak-emak yang kritis ini biasanya tidak akan diam saat kebijakan tidak memihak kepada kaum emak-emak. Apalagi jika kebijakan itu merongrong peran emak-emak dalam keluarganya semisal Gender dan lainnya.
Islam membutuhkan peran emak-emak dalam menangkal pemahaman asing yang mencoba masuk dalam ranah keluarga. Jika emak-emak lengah maka pemahaman asing ini sangat mudah menyelinap disetiap sendi aturan keluarga. Misalnya, dalam Islam telah diatur bahwa kewajiban mencari nafkah dibebankan kepada suami.
...Islam membutuhkan peran emak-emak dalam menangkal pemahaman asing yang mencoba masuk dalam ranah keluarga. Jika emak-emak lengah maka pemahaman asing ini sangat mudah menyelinap disetiap sendi aturan keluarga...
Suami lah yang bertanggung jawab dalam hal memenuhi kebutuhan sandang, papan dan pangan keluarga. Jika semua kewajiban itu dibebankan kepada istri (emak-emak) maka pasti mengalami kekacauan. Sebab akan berlaku prinsip prioritas dimana emak-emak harus memilih diantara beban yang harus ditanggungnya.
Jika seperti ini, maka dapat dipastikan tugas pokok dan fungsi emak-emak di keluarga akan terabaikan. Maka kita perlu menyadari bahwa emak-emak harus menjadi tameng yang kuat minimal bagi keluarganya dari paham-paham asing.
Sebenarnya Islam memiliki banyak panutan yang layak diteladani bagi emak-emak kita. Salah satunya Sayyidah Khadijah, istri dan kekasih Nabi yang paling beliau cintai. Di saat seluruh penduduk Mekkah tidak meyakini kenabian Muhammad, dengan keimanannya Khadijah percaya bahwa Nabi Muhammad adalah Rasul yang diutus untuk umatnya. Pengorbanannya pun sungguh luar biasa. Seluruh kekayaannya diinfakkan untuk kepentingan dakwah Rasulullah bahkan akhir hayatnya Khadijah pernah ingin mewariskan tulangnya, sekira tulang tersebut diperlukan untuk kepentingan dakwah.
Begitulah Khadijah dan keyakinannya. Apa yang diyakini Khadijah seharusnya menjadi satu keyakinan juga bagi emak-emak kita. Sebab, di saat jutaan emak-emak lain mengingkari Bisyarah Rasulullah dan janji Allah akan kebangkitan Islam selanjutnya, emak-emak ini dengan Haqqul Yakin mengimani apa yang telah disabdakan Rasul tercinta.
Emak-emak seperti inilah yang kita rindukan sepanjang abad. Mereka hadir memikul persoalan umat serta ikut menanamkan Tsaqafah Islam di tengah-tengah masyarakat. Maka pantaslah bagi mereka digelari BERLIAN di dalam lumpur yang memberi harapan di saat noda-noda kebatilan merajalela di atas bumi Sang Pencipta. Emak-emak perkasa yang bidadari surga pun iri kepada mereka. Wallahu 'alam. (riafariana/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google