Oleh: Dwi Ira
Seorang perempuan merasa hidupnya tidak menarik dan membosankan, karena hanya berkutat dengan anak-anak dan tinggal di rumah saja. Masak lagi, beberes lagi, ke pasar, ke mall, berangkat kajian, kemudian dirinya merasa menjadi sosok yang disebut-sebut sebagai 'subjek yg kurang piknik'.
Merasa begitu?
Kalo iya, mungkin yang pertama harus kita lihat bukanlah orang lain. Tapi diri kita. Memahami makna 'PIKNIK' yang seolah-olah harus keluar jauh dari rumah, memenuhi koleksi stempel imigrasi dalam lembaran paspor, naik balon udara, atau tidur dalam tenda di puncak gunung. Mungkin, sejatinya bukan badan kita yang kurang piknik, tetapi HATI kita.
Berapa banyak manusia dengan tumpukan uang dan bolak-balik 'piknik' tapi tetap merasa kosong. Uang, harta, popularitas, jabatan, nyatanya setelah dimanfaatkan semaksimal mungkin pun tetap menyisakan kekosongan dalam diri, depresi dan akhirnya memilih bunuh diri, di atas daftar harta dan popularitas yang sudah diraih.
Hati kita kurang piknik karena kita merasa lelah bersyukur. Hal remeh-temeh nampak sangat tak berharga, padahal hal 'remeh temeh' itu adalah kebahagiaan tak terkira bagi orang lain...
Anak yang sehat, keluarga yang selalu mensupport, suami yang baik, semuanya seolah tak pantas disyukuri, karena yang terpatri dalam otak dan hati kita adalah bahagia dengan cara yg kebanyakan manusia lakukan. Meskipun pada teorinya hampir semua hafal, BERSYUKUR adalah piknik paling melegakan, tapi benar-benar mempraktekkan adalah PR besar bagi pemuja hawa nafsu.
Berjalan di taman kota, menikmati sinar hangat matahari, makan singkong goreng saat hujan turun dan secangkir teh hangat, menghirup aroma asem keringat anak-anak yang berlarian dengan tawa lepas, bahkan memandang warna dedaunan yang berderet di jalanan kota bisa menyenangkan, dan begitu banyak hal yang indah dan membahagiakan.
Sering-seringlah menjalin hubungan dengan orang-orang yang mungkin 'kurang' dari kita. Mendengar kisah dan perjuangan mereka sangat ampuh untuk melembutkan hati, mengasah jiwa sosial, dan menumbuhkan rasa syukur yang tak terkira.
Banyak-banyak melihat ke dalam, bukan ke luar, menikmati setiap momen yang ada, menghargai setiap makanan yang terhidang.
Lalu apakah piknik a.k.a traveling, wisata kuliner, jelajah hotel dan semua perniknya itu terlarang? Tidak juga, selama tidak kita jadikan sebuah ambisi bahwa dengan cara seperti itulah baru kita merasa bahagia, apalagi sampai melabeli orang lain kurang/tidak bahagia/beruntung karena jarang/tidak melakukan semua hal itu.
Dan sungguh, sebaik-baik piknik pengobat hati adalah Al Quran dan Sujud. Wallahu alam. (riafariana/voa-islam.com)