Oleh: Novi Frastika
Akhir-akhir ini kitasering sekali mendengar berita kekerasan dalam rumah tangga, baik tindak penganiayaan bahkan sampai tindak pembunuhan. Di Jakarta Barat, misalnya, seorang Ibu tega menganiaya anak kandungnya sendiri hingga tewas hanya karena sang anak sering mengompol.
Novi Wanti (30) resmi menjadi tersangka atas pembunuhan anaknya, GW (5) karena mengikat kaki dan tangan korban, lalu menyemprotnya dengan obat nyamuk,kemudian menutupnya menggunakan kresek. Peristiwa tersebut terjadi pada Sabtu(11/11/2017) pada pukul 17.30 WIB, dirumah kos Novi di jalan Asem Raya, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Usai melakukan tindakan itu si anak pun lemas, Novi merasa panik. Dia lalu memesan ojeg online dan membawa anaknya ke RS graha Kedoya.
"Keterangan dokter, sampai di RS sudah meninggal," tutur Kombes Roycke. Sebagai barang bukti polisi mengamankan beberapa barang seperti sapu lidi, tali nilon, kaleng susu beruang, dan uang yang merupakan sisa dari yang di pakai pelaku untuk memberikan pertolongan pertama ketika anak tersebut mengalami kritis. Atas perbuatannya,Novi dijerat pasal 80 ayat 3 dan pasal 76c undang-undang nomor 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak.
Tindak penganiayaan di atas hanyalah salah satu dari sekian banyak tindak kekerasan di dalam rumah tangga. Ada berbagai hal yang melatarbelakangi seseorang melakukan tindak penganiayaan. Pertama, faktor ekonomi. Seperti dalam kasus Novi di atas misalnya, yang terungkap hanyalah kekesalan sang Ibu karena anakya yang sering ngompol. Kalau ditilik lebih lanjut, bisa jadi ada masalah yang lebih besar dalam kehidupan Novi yang menjadi beban.
Kehidupan Novi yang membesarkan anaknya seorang diri karena ditinggal suami, tidak bisa dianggap sebagai masalah yang sepele. Beban kehidupan yang berat di tengah sulitnya harga kebutuhan yang semakin melambung, bisa menjadi tekanan hidup yang luar biasa sehingga menimbulkan perasaan kalut dan emosi. Dalam keadaan seperti ini, tingkah anak yang sebenarnya sepele bisa menjadi masalah serius dan memicu seseorang menjadi marah besar dan bertindak di luar kontrol hingga melakukan hal-hal fatal kepada anak.
Faktor kedua yang memicu tindak kekerasan dalam rumah tangga adalah masyarakat yang individualis. Model masyarakat seperti ini membuat seseorang merasa hanya seorang diri tanpa ada orang yang bisa diajak berbagi tentang permasalahan yang dirasakannya. Padahal selain keluarga terdekat,rasa peduli dari pihak luar seperti tetangga juga dibutuhkan dalam bermasyarakat.
Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendirian tanpa ada interaksi dengan manusia lainnya. Maka, kehadiran tetangga yang peduli kepada sesamanya, dalam kehidupan sehari-hari sangat di butuhkan. Seorang muslim yang baik tidak bisa tidak peduli bahkan acuh tak acuh dengan tetangganya. Dalam Islam ada banyak ayat dan hadits yang memerintahkan kita memuliakan tetangga, bersikap baik, dan saling tolong menolong. Salah satunya ada di Q.S an Nisa:3.
Faktor ketiga yang mendukung tindak kekerasan di tengah masyarakat adalah sistem ekonomi sekuler saat ini, yang membuat masyarakat hanya bertumpu di atas kakinya sendiri, tanpa mendapatkan ri’ayah/pengurusan dari negara. Buktinya, berbagai subsidi yang dulu masih bisa dinikmati masyarakat, kini semakin banyak yang dicabut. Akibatnya, lapangan kerja semakin sempit, harga-harga kebutuhan semakin mahal, dan kehidupan rakyat semakin sulit. Inilah sistem kehidupan kapitalis sekuler yang rusak. Sistem ini mendorong masyarakat kian bejat, dan jauh dari predikat taqwa.
Hal ini berbanding terbalik dengan sistem kehidupan Islam. Seorang perempuan yang ditinggalkan oleh suaminya, tidak dibiarkan menderita dan berusaha menghidupi dirinya sendiri. Dalam Islam, Wali nya lah yang wajib menghidupinya. Jika pun walinya tidak ada, kewajiban ini akan beralih kepada kerabatnya. Dan jika pun tidak ada kerabat yang mampu menghidupinya, negara harus bertanggung jawab atasnya, dengan memberikan nafkah dari baitul maal.
Maka banyaknya tindak penganiayaan dan kekerasan dalam rumahtangga saat ini adalah buah dari sistem kehidupan sekuler yang rusak. Hanya dengan sistem kehidupan yang bersandar dari Islam sajalah kebutuhan masyarakat akan terpenuhi kebutuhan dan ketentraman hidupnya, keimanan masyarakat kepada Allah akan semakin meningkat, kesabaran menghadapi ujian agar tawakal juga semakin menguat, dan kepedulian terhadap sesama anggota masyarakat yang hidup dalam keterbatasan pun akan semakin meningkat.
Selain itu, pelaku kejahatan akan mendapatkan sanksi sepadan, yang akan membuat orang lain enggan melakukan hal yang sama karena tegasnya sanksi yang diberlakukan, yang berasal dari aturan Allah dan RasulNya. [syahid/voa-islam.com]