Ibu, wanita berhati lembut yang ikhlas mengandung, melahirkan dan mendidik anaknya tanpa kenal lelah. Jasanya tak mampu terbalas meski bertahun-tahun sang anak merawat dan menggendong ibunya tatkala beliau renta. Zaman now, ibu tak hanya dituntut menjadi pengatur rumah tangga. Namun sistem menuntutnya untuk turut andil menyokong perekonomian keluarga. Tak ada dosa seorang ibu bekerja. Namun keberadaannya menjadi pengatur urusan rumah tangganya tak hilang meski berstatus wanita karier.
Mahalnya biaya pendidikan, kesehatan dan biaya hidup tidak dibarengi dengan gaji seorang suami menjadikan seorang ibu banting stir. Namun sayangnya dunia kerja dalam sistem kapitalisme tidak bisa dikompromikan. Bila tidak mampu memanage dengan baik, salah satunya bisa tumbang.
Setiap sudut tempat, ruang dan waktu menjadikan para ibu khawatir. Beraneka kemaksiatan di depan mata. Benteng kokoh iman anak dan keluarga harus benar-benar dijaga. Sekali lengah, akan berdampak fatal.
Menjamurnya sekolah Islam ternyata belum mampu menghilangkan kegalauan seorang ibu. Memang, di sekolah dan di rumah mereka terdidik dengan karakter dan akhlak Islam. Namun mau tidak mau, sadar maupun tidak lingkungan juga akan mempengaruhi sang buah hati. Apalagi pasca diketoknya perppu no 2 tahun 2017 tentang ormas menjadi UU no 2 tahun 2017.
Ulama atau aktivis Islam yang dalam gerakan dakwahnya meski benar dalam kacamata Islam namun dianggap melenceng oleh pemerintah maka taruhannya penjara. Artinya gerak para penyeru kebaikan sangat dibatasi. Hasilnya masyarakat condong ke arah egois. Tidak peduli dengan orang lain.
Di sisi lain, kemaksiatan justru mendapat angin segar. Buktinya Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji materi pasal 284, pasal 285 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Permohonan yang diajukan oleh Guru Besar Institut Pertanian Bogor Euis Sunarti, ditolak lantaran pasal-pasal yang dimohonkan pengujiannya tidak bertentangan dengan UUD 1945, sehingga permohonan para pemohon dinilai tidak beralasan menurut hukum.
Ditolaknya judicial review tersebut, artinya tindakan LGBT (Lesbi, Gay, Biseks, Transgender) tidak dapat dikategorikan tindakan kriminal. Proyek yang didanai AS melalui program “Being LGBT in Asia” diluncurkan oleh UNDP menghabiskan US$ 8 juta dari USAID dan dimulai Desember 2014 hingga September 2017. Program ini fokus untuk Asia Timur dan Asia Tenggara khususnya di Cina, Indonesia, Filipina dan Thailand. Kampanye ini massif, sistemik dan struktural.
Tidak salah jika rakyat dan netizen menilai para pemimpin negeri condong ke arus liberal. Ulama dikriminalisasi sementara tindak asusila (LGBT) dipelihara. Yang menjadi pertanyaan “Bagaimana dengan jargon pak presiden terkait revolusi mental? Bagaimana pula dengan tuntutan pemerintah agar guru menanamkan mental berkarakter sementara mereka sendiri merusak tatanan yang dibangun oleh para guru. LGBT jelas menyimpang mengapa dipelihara?”
Sebagai seorang ibu, harus mampu memantau anaknya sedemikian rupa sehingga kelak mampu menjadi penerus bangsa yang berkepribadian Islam. Selain itu ibu memiliki peran yang besar untuk turut andil dalam memikirkan problematika umat. Tak hanya ngopeni dirinya, keluarga namun juga masyarakat dan negeri.
Banyak PR yang harus dilakukan ibu. Ia harus mampu mengupdate berita terkini. Jangan sampai anaknya terjerembab dalam kubangan maksiat sementara ia tidak menyadarinya. Mengecek bacaan anak, memantau dan mengarahkan anak agar waspada akan adanya kemaksiatan di depan mereka.
Ibu zaman now hidup dimana kemaksiatan mendapat payung hukum, kebaikan makin dikerdilkan. Kuatkan kaki dan akalmu, Ibu. Anakmu butuh ketangguhan dan didikanmu. Di kala sistem kapitalisme tak mampu mengatasi persoalan negeri, semoga engkau mampu bertahan dengan idealisme Islam untuk mewujudkan generasi yang berkepribadian dan pemimpin peradaban. Insya Allah. (rf/voa-islam.com)
Penulis: Liya (Penulis buku Untuk Indonesia)
Ilustrasi: Google