View Full Version
Ahad, 07 Jan 2018

Kembalikan Surga di Telapak Kaki Ibu

Oleh: Halida Nurdiana, S.Pd. 

"Keluarga seperti apa yang diharapkan teman-teman LGBT?" tanya host debat tentang pro kontra LGBT di sebuah tivi swasta. Jeremi Teti pun menjawabnya dengan kemayu dan enteng.

"Keluarga papa papi kali ya." Studio pun bergemuruh oleh tawa audiens karena kelucuan (baca: kekonyolan) pernyataan JeTi di forum tersebut.

Itulah manusia. Secara kodrati ia diciptakan Tuhannya untuk berkeluarga dan mencintai keluarga. Sang Khalik telah menyertakan fitrah melestarikan jenis pada makhluk yang bernama manusia. Di sepanjang masa dia selalu ingin berkeluarga. Tak terkecuali, orang-orang  LGBTer yang mengklaim dirinya memiliki perilaku yang berbeda dari sononya. Suara mereka semakin hari semakin lantang (baca:lancang) menuntut pengakuan  HAM atas perilaku "miring" tersebut. Meski begitu, kaum LGBT pun tak hilang harap untuk memiliki keluarga dan keturunan.

Keluarga Fantasi atau Ilusi?

Bagaimana realitas bentuk keluarga LGBT? Kita bisa googling di internet. Di sana akan banyak kita temukan keluarga LGBT. Kebanyakan dari kalangan selebritis atau orang-orang berkecimpung di dunia keartisan.

Salah satunya keluarga Solena Chaniago. Wanita transgender ini telah membangun keluarga barunya di AS pada bulan Juli 2017 lalu. Dengan bangga ia menyampaikan bahwa anak semata wayangnya (dari pernikahannya terdahulu) telah menceritakan kepada teman-temannya bahwa ibunya adalah wanita transgender dan mereka adalah keluarga LGBT. Mereka mengklaim mereka adalah keluarga LGBT yang bahagia.

Juga cerita-cerita tentang pelaku gay yang kemudian diterima dengan penuh ikhlas oleh orang tuanya, cukup  banyak  bersliweran di dumay. Penerimaan keluarga tak hanya dari sisi kecenderungan seksnya yang berbeda tetapi juga penerimaan keluarga terhadap pasangann sejenisnya. Itulah dukungan keluarga seolah semua baik-baik saja. Jika keluarga sudah menerima masalah selesei? Tentu saja tidak!

Setelah penerimaan itu, keluarga jadi abai terhadap efek mengerikan yang ditimbulkan oleh LGBTer ini. Mereka lupa, perilaku keji  ini menular kepada lingkungannya. Tidak sedikit cerita anak baik-baik yang dididik agama sejak kecil ternyata tak berdaya menghadapi perilaku para LGBTer meskipun berawal dari intimidasi hingga akhirnya menjadi pelaku asli bukan imitasi.

Memang benar, mayoritas  LGBTer ini adalah orang-orang cuek terhadap agamanya. Apapun background mereka dulu, ketika menjadi  LGBTer, agama tak lagi penting untuk saat ini. Karena jelas sekali, Islam telah menunjukkan keberadaan kaum Nabi Luth yang diazab hingga binasa untuk diambil hikmahnya. Ketika hikmah tak kunjung dipetik, mati-matianlah mereka memperjuangkan hak-hak yang dimarjinalisasi bahkan dikebiri. Padahal, menurut mereka, kondisi mereka yang beda bukanlah kehendak pribadi. Namun, kuasa Illahi.

...Manakala posisi seorang ibu digeser oleh laki-laki transgender, mungkinkah ada surga di telapak kakinya? Manakala posisi seorang ibu digeser oleh wanita pezina atau wanita lesbi, mungkinkah ada surga di telapak kakinya?...

 

Rintihan mereka kian menghiba.  Apa salah jika kami ingin hidup bahagia, membangun keluarga seperti yang lainnya?  Keluarga yang dibentuk dengan cara kami, bukan dengan cara Tuhan. Karena Tuhan terlalu istimewa untuk sekadar mengatur urusan ranjang. Untaian kalimat senada dilantunkan di banyak kesempatan dan perdebatan. 

Para pejuang, pendukung dan pelaku LGBT mungkin lupa bahwa keluarga bukan sekedar institusi dua insan yang saling berkomitmen. Keluarga juga bukanlah tempat transit untuk melepas lelah, menumpahkan syahwat dan bersantai-santai sejenak dari tekanan pekerjaan yang sangat menyita.

Keluarga juga bukan sekedar berisi senyum dan canda tawa dari  dua orang yang disebut papa mama serta dua anak kecil yang disebut putra kesayangan pewaris harta kekayaan.  Jika hanya itu makna keluarga, inilah keluarga fatamorgana. Keluarga fantasi yang anaknya bisa diambil dari rahim siapa saja dan distempel sebagai keturunan/anak pengadopsi atau si penyewa rahim. Sungguh picik pandangan keluarga bagi LGBTer dan pendukungnya.

Kembalikan Surga Ibu

Islam sebagai agama satu-satunya yang diridhai Allah memandang keluarga dengan pandangan yang sangat mulia. Keluarga adalah institusi terkecil pencetak generasi peradaban di masa datang. Tentu saja, keluarga harus mampu memberikan pengaruh yang sangat baik bagi anggotanya. Terutama anak, generasi masa depan.  Maka, pembagian tugas yang jelas telah ditetapkan olehNya.

Ayah berperan sebagai "qowwam" yang menafkahi dan mengambil keputusan serta memimpin keluarga menuju ketaatan kepadaNya. Sementara di rumah, ada seorang ratu yang di telapak kakinya terdapat surga bagi.anak-anaknya. Ya... Ratu itu adalah ibu. Ibu  memiliki pengaruh luar biasa bagi anak-anaknya. Ibu adalah "madrosatul ula" atau sekolah pertama dan utama bagi setiap anak yang lahir dari rahimnya.

Tentu saja, peran dan tugas ayah ibu dalam keluarga tak mampu digantikan. Apalagi ibu, posisinya jelas tak tergantikan. Kemuliaan seorang ibu dikarenakan pengorbanannya yang begitu besar demi kemunculan generasi baru, pasti tak bisa diambil alih oleh siapa pun. Kemuliaan seorang ibu pun dihargai mahal dalam Islam. Allah menyematkan surga anak-anaknya di telapak kakinya. Tentu, ibu shalihah yang berhak mendapatkannya.

Manakala posisi seorang ibu digeser oleh laki-laki transgender, mungkinkah ada surga di telapak kakinya? Manakala posisi seorang ibu digeser oleh wanita pezina atau wanita lesbi, mungkinkah ada surga di telapak kakinya? Ketika LGBT dibiarkan, didukung dan disahkan, bukankah generasi mendatang terancam tak kan beroleh surga dari telapak kaki sang ibu. Karena itu, kembalikan surga di telapak kaki ibu. Jangan biarkan LGBT merajalela. Say no to LGBT! (rf/voa-islam.com)

 

*Penulis adalah Alumni IKIP Surabaya / UNESA, praktisi pendidikan, anggota Revowriter, anggota Akademi Menulis Kreatif
 
Ilustrasi: Google
 

latestnews

View Full Version