Oleh: Asti Marlanti
Bagi seorang wanita, tidak ada peran yang lebih mengagumkan bahkan mengesankan selain peran seorang ibu. Peran menjadi seorang ibu menciptakan kehidupan yang baru sejak pertama kali wanita mengandung dan melahirkan bayinya kemudian merawat anak-anaknya. Tugas utama seorang wanita adalah sebagai ibu pengatur rumah (Ummu warabbatul bait) dan pendidik pertama bagi anak-anaknya.
Seorang ibu yang menjalankan tugas pokok dan fungsinya seutuhnya, maka akan melahirkan generasi yang unggul yang dapat menentukan kualitas masyarakat dan negaranya sehingga seorang ibu (perempuan) diibaratkan dengan tiang negara yang mampu mencerahkan peradaban.
Sepanjang sejarah peradaban manusia, peran seorang ibu sangat besar dalam mewarnai dan membentuk dinamika zaman. Peran ibu sebagai pencerah peradaban, “pusat” pembentukan makna kehidupan. Namun peran ini akan mengalami tantangan yang semakin berat ditengah dinamika peradaban global saat ini.
Seorang ibu harus tetap menjadi sosok feminim yang lembut, penuh perhatian dan kasih sayang, serta sarat sentuhan cinta yang tulus kepada suami dan anak-anak di tengah-tengah sentuhan zaman yang semakin terbuka terhadap masuknya nilai-nilai global yang semakin komplek, rumit dan carut marut.
Seorang ibu bagaikan dahan pijakan bagi anak untuk meraih pucuk kehidupannya. Bila dahan itu lemah atau patah maka anak akan sulit bahkan bisa jatuh bersamanya dan tidak sampailah dia ke puncak, sangat sulit baginya untuk meraihnya. Dengan perumpamaan ini, maka ibu sebagai pijakan pertama dan utama bagi anak-naknya (terutama anak usia dini) akan senantiasa mengharuskan dirinya menjadi ibu yang handal.
Optimal dalam membangun dirinya, optimal mengasah kecerdasan akalnya. Dan hal ini tidak dapat diraihnya tanpa menggali potensinya, tanpa pembinaan dan bimbingan yang menyeluruh dalam sendi-sendi kehidupannya. Salah satu contohnya adalah Ibunya Imam Syafi'i. Beliau membesarkan Imam Syafi'i tanpa suami dengan hidup yang serba kekurangan.
Beliau berjuang dan berusaha agar Syafi'i kecil mendapatkan pendidikan yang terbaik, sampai akhirnya menjadi Imam Besar hinga kini. Sama halnya dengan ibunya Imam Bukhari. Saat berusia 16 tahun, ibunya mengajak Imam al-Bukhari bersafar ke Mekah. Kemudian meninggalkan putranya di negeri Haram tersebut. Tujuannya agar sang anak dapat menimba ilmu dari para ualma Mekah. Dari hasil bimbingan dan perhatian ibunya, jadilah Imam al-Bukhari seperti yang kita kenal saat ini.Seorang ulama yang gurunya pernah mengatakan, “Tidak ada orang yang lebih hebat darinya (dalam ilmu hadits)”.
Selain itu, ibunya Imam Ibnu Taimiyah yang terkenal dengan suratnya: “Demi Allah, seperti inilah caraku mendidikmu. Aku nadzarkan dirimu untuk berkhidmat kepada Islam dan kaum muslimin.Aku didik engkau di atas syariat agama.Wahai anakku, jangan kau sangka, engkau berada di sisiku itu lebih aku cintai dibanding kedekatanmu pada agama, berkhidmat untuk Islam dan kaum muslimin walaupun kau berada di penjuru negeri. Anakku, ridhaku kepadamu berbanding lurus dengan apa yang kau persembahkan untuk agamamu dan kaum muslimin.
Sungguh –wahai ananda-, di hadapan Allah kelak aku tidak akan menanyakan keadaanmu, karena aku tahu dimana dirimu dan dalam keadaan seperti apa engkau. Yang akan kutanyakan dihadapan Allah kelak tentangmu –wahai Ahmad- sejauh mana khidmatmu kepada agama Allah dan saudara-saudaramu kaum muslimin”. Inilah surat yang ditulis ibu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah kepada dirinya, setelah beliau memohon izin kepada sang ibu untuk tetap tinggal di Mesir. Surat ini memberikan kesan yang cukup mendalam kepada kita tentang bagaimana sosok ibunda Ibnu Taimiyah.
Wanita shalihah yang berorientasi akhirat.Wanita kuat yang lebih senang anaknya bermanfaat bagi orang banyak ketimbang untuk dirinya sendiri.Wanita cerdas yang menjadikan anaknya investasi untuk kehidupan setelah kematian berorientasi akhirat.Wanita kuat yang lebih senang anaknya bermanfaat bagi orang banyak ketimbang untuk dirinya sendiri.
Sebetulnya, masih banyak lagi kisah-kisah perjuangan ibu yang menjadikan anak-anaknya generasi unggul pencerah peradaban dan kesemuaannya itu tentunya terjadi di dalam peradaban yang gemilang, yaitu peradaban Khilafah Islam.
Di mana seorang ibu sudah terbina dan terdidik dengan Islam, kuat dalam perjuangan dan berbagai cobaan kehidupan. Semoga saja peradaban gemilang era kekhilafahan itu segera datang, sehingga generasi pencerah peradaban itu pun bergelimang kembali. Wallaahu a'lam bishshawab.[syahid/voa-islam.com]