Oleh: Siti Rahmah
Perkembangan fashion senantiasa mengalami peningkatan dari masa ke masa. Hal ini memberikan angin segar untuk pecinta dunia fashion. Tidak ketinggalan fashion pakaian muslimah pun peminatnya semakin meningkat, seiring munculnya kesadaran tentang kewajiban mengenakan hijab.
Indonesia sebagai negeri mayoritas muslim terbesar di dunia menjadi surga para designer untuk mengembangkan karya. Gebrakan kaum hawa yang berbondong-bondong menjalankan kewajiban agamanya, menginspirasi tumbuh suburnya industri busana muslimah.
Sayangnya, kesadaran ini rancu dengan trend fashion dan jeratan menggiurkan dunia politik praktis. Tahun 2018 merebak fashion yang diramaikan oleh para politisi perempuan yang menggunakan hijab. Sebut saja Andi Rachmatika Dewi yang akrab dengan panggilan CICU maju di pemilihan kota Makassar. Ada juga Ingrid Kansil yang maju di Pilkada Kabupaten Bogor. Atau Nanda Gudban yang maju dalam Pilkada kota Malang (Liputan 6.com).
Fenomena ini, tidaklah mengherankan. Pasalnya mayoritas penduduk Indonesia muslim. Hal ini erat kaitannya dengan literatur prilaku pemilih. Aspek agama masih menjadi pengamatan penting bagi pemilih untuk memilih calon dari agama tertentu.
Pengamatan tentang kecenderungan pemilih ini, dijadikan sebagai peluang oleh partai politik untuk menarik simpati demi mendapatkan suara terbanyak. Salah satu caranya adalah dengan mengusung calon-calon pilkada dari agama mayoritas. Diajukannya calon perempuan muslimah berhijab dan fashionable dijadikan sebagai icon pemimpin perempuan yang cerdas, cantik, trendy dan taat. Tujuannya apalagi bila bukan untuk memikat.
Hijab, Wujud Ketaatan
Sejatinya mengenakan hijab adalah bentuk ketaatan dan ketundukan pada Rabb semesta alam. Bagi seorang muslimah mengenakan hijab bukanlah pilihan tapi kewajiban. Ketika mengenakannya, muslimah bukan sekadar menutupkan tapi harus sesuai aturan syara. Tentu saja ini semua dilakukan harus dengan penuh kesadaran dan keikhlasan.
Memakai hijab di Indonesia saat ini sudah mengalami dinamisasi, bahkan sudah menjadi budaya. Tetap tak bisa dipungkiri masih ditemui perbedaan motif dalam mengenakan hijab ini.
Gempita perubahan fashion muslimah ini memang perlu diapresiasi. Hanya saja hendaknya dorongan untuk mengenakan hijab ini bukan sebatas bermotif mengejar fashion atau kepentingan politik saja. Berhijab harus benar-benar atas dasar kesadaran yang lahir dari pengetahuan atas bimbingan ilmu dan pengetahuan agama.
Hijab dan Motif Politik
Tahun 2018 digadang-gadang sebagai tahun yang panas karena pentas pertunjukan perpolitikan. Saat ini pun, di awal memasuki tahun baru sudah mulai bisa dirasakan nuansa kehangatannya.
Pertengahan Januari ini, mulai terasa aroma religi. Bukan karena mendekati Idul Fitri atau bulan haji, tapi untuk memikat hati penduduk negeri yang mayoritas beragama Islam. Upaya penggalangan simpati yang dilakukan oleh (Bakal Calon (BaLon) ini pun mulai masif. Mereka mendatangi masjid dan rajin hadir ke pengajian. Balon perempuan yang maju banyak yang mengenakan hijab atau mendadak berhijab.
Semoga bermunculannya perempuan berhijab di pentas pilkada ini bukan bagian dari polesan dan pancingan untuk mendulang kemenangan. Kecantikan para perempuan berhijab ini semoga tidak melulu tunduk oleh syahwat kekuasaan. Ya...semoga. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google