View Full Version
Selasa, 20 Feb 2018

Ibu Tega Membunuh Anak Sendiri, Apa yang Salah?

Oleh: Rochma Ambarwati. A.Md

Di jaman yang semakin edan ini, ada banyak berita atau informasi yang sampai ke telinga kita. Sebagian berita tersebut terjadi seakan merupakan hal diluar kebiasaan masyarakat atau pun di luar akal sehat kita sebagai manusia.

Salah satu bagian yang tak pelak turut menjadi headline berita tersebut adalah sosok ibu. Dulu ibu diharapkan sebagai sosok yang sempurna. Masakannya menjadi masakan paling lezat dan dirindukan, keberadaannya menjadi sosok yang paling dinantikan, kelembutan sikap dan perangainya seakan menjadi hawa sejuk di tengah terik matahari yang menyengat. Saat ini, gambaran itu seakan hanya berada di dunia dongeng alias tak ada di kehidupan nyata. 

Banyak berita miris tentang ibu berubah menjadi sosok yang rela bahkan dengan sadar diri membuang bayi yang baru ia lahirkan ke sungai. Si bayi, ada yang terselamatkan, namun ada juga yang ditemukan sebagai mayat. Tak sedikit yang menghujat. Bagaimana mungkin ada ibu menjadi begitu kejam? Hewan saja tak akan berbuat demikian.  

Isi berita lainnya pun tak kalah miris. Kita disuguhi berita seorang ibu yang memberi racun kepada ketiga anaknya. Dia pun turut menenggak minuman pemutus kehidupan itu. Sayangnya, ketiga anak meregang nyawa namun si ibu tidak.

Jika mati dianggap sebagai akhir dari masalah, maka masalah baru pun sejatinya makin bermunculan. Si ibu tersebut dianggap sebagai pembunuh anak-anaknya sendiri justru di saat ia sendiri sudah tak kuat menahan beban beratnya dunia. Kini beban berat itu semakin bertambah, lebih-lebih, ia kini sendirian. Tak ada lagi anak-anak yang menghiburnya atau bergelayut di pundaknya.

Ya… ternyata ibu mampu menunjukkan sisi lainnya, selain dari sisi kelembutan dan kelemahan. Ternyata ibu dapat menjadi sosok yang lebih kejam dari hewan. Ibu mampu melakukan hal di luar akal sehat manusia.

Membuang bayi sendiri di sungai, memberikan minuman berisi racun kepada anak-anak tentu bukanlah pilihan mudah untuk akhirnya dijadikan sebagai jalan keluar permasalahan. Ibu tentu harus beradu argument dengan sisi baik yang ada di dalam dirinya. Sisi baik ibu tentu tak akan tinggal diam membiarkan ia melakukan hal tak manusiawi itu.

...Sosok ibu yang seharusnya lembut menjadi sosok yang kasar, bahkan kejam. Karena ia tak memiliki ilmu bagaimana menjadi seorang ibu. Ia menjadi wanita yang bodoh, tak tahu harus melakukan apa. Ia pun membuat pilihan yang keliru...

Sayangnya, sisi buruk itulah yang menang. Saat rasa malu menutupi mata hati, saat itulah nurani pun mati. Melahirkan bayi tanpa ayah, rasa malu inilah yang ia rasakan. Malu ketika harus menghadapi cercaan dunia dan orang-orang yang nyinyir akan keberadaan dirinya yang hamil tanpa suami. Lalu, bagaimana nasib dirinya dan anaknya kelak, jika si lekaki biadab itu tak mau bertanggung jawab. Akhirnya jalan pintas pun diambil, dibuangnya bayi merah yang tak berdosa itu.

Atau, ketika ibu juga dihadapkan pada perihnya tatapan tajam dan ejekan orang sekitar yang merendahkan akan kedudukan sebagai istri kedua. Diperparah kondisi yang baru melahirkan anak ketiga namun si suami tak kunjung datang untuk melihat kondisi ibu dan anak-anak. Dunia dianggapnya begitu kejam kepada dirinya dan anak-anaknya. Maka, kematian dipilih sebagai solusi.

Ya, inilah dua contoh potret ibu yang memang sudah kehilangan cara berpikir dengan benar. Kurang iman memegang peranan penting juga dalam hal ini. Terlebih pemahaman mengenai dunia dan kematian tentu tak menyeluruh. Bahwa dunia ini adalah sumber permasalahan yang memang harus dihadapi dengan kekuatan, dada yang membusung dan mengatakan kepada semua masalah, bahwa dirinya mampu untuk melewatinya.

Belum lagi masyarakat yang tak memberikan dukungan moril yang dibutuhkan. Orang sekitar malah hanya menambah garam di atas luka. Mereka hanya bisa menghakimi tanpa tahu kebenaran yang nyata. Mereka hanya bisa mengejek dan menyalahkan bahwa si wanita atau si ibulah yang menjadi kunci utama kesalahan.

Tumpuan terakhir yaitu negara malah sama sekali tak dapat dirasakan pembelaan pada rakyatnya, satu per satu. Negara terlena dengan perebutan kekuasaan serta pencarian dunia dan tahta serta bagaimana cara untuk mempertahankannya.

Akhirnya, dengan tidak adanya dukungan dari ketiga hal ini, ibu pun tumbuh menjadi menjadi sosok yang begitu lemah. Kencangnya cobaan hidup begitu mudah menghempaskan dirinya ke terbing yang begitu curam, membuatnya memilih satu pilihan yang salah, sebagai bentuk refleksi ketidakberdayaan diri.  

Kenapa sosok ibu saat ini seperti ini? Sedangkan pada zaman terdahulu, kita menemukan adanya Asma binti Abu Bakar yang masih kuat mendaki gunung untuk memberikan makan kepada ayahnya dan Rasul di saat dirinya berbadan dua. Atau ada juga sosok Ummu Khansa yang tak berlinang air mata ketika empat anak laki-laki syahid dalam perang, justru yang nampak di raut wajahnya adalah kebahagiaan dan rasa bangga karena bisa menghantarkan anaknya menjadi syuhada.

Ya, ibu zaman now sungguh jauh dari dekapan Islam. Al quran tak menghiasi dirinya, refleksi pancaran karakteristik jiwa seorang muslimah tangguh tak dapat dilihat sama sekali. Sosok ibu yang seharusnya lembut menjadi sosok yang kasar, bahkan kejam. Karena ia tak memiliki ilmu bagaimana menjadi seorang ibu. Ia menjadi wanita yang bodoh, tak tahu harus melakukan apa. Ia pun membuat pilihan yang keliru. 

Sungguh, tanpa bekal ilmu dan keimanan yang kuat kepada Tuhan Pencipta Manusia dan Alam Semesta, sosok ibu hanya menjadi wanita biasa tanpa kualitas mumpuni dalam menjalankan perannya. Sosok ibu seperti itu lupa bahwa kita hidup ini memang untuk mendapat ujian oleh Allah. Semua ujian inilah yang akan menentukan derajat kehidupan kita kelak di akhirat jika kita mampu menghadapinya. Wallahu alam. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version