Oleh: Fani Ratu Rahmani (Mahasiswi, Ko.BMI Community Balikpapan)
"Kasih Ibu kepada beta, tak terhingga sepanjang Masa...." itu potongan lirik lagu sederhana yang sering kita dengar sejak usia dini. Lagu tersebut menggambarkan betapa mulianya kasih sayang ibu terhadap anaknya. Ibu diibaratkan seperti malaikat tak bersayap yang menjadi cinta pertama anak-anaknya. Rumah bagaikan surga ketika ibu setia menjadi muara kasih dan sayang bagi buah hatinya.
Namun, pepatah dan kata manis itu tak selalu sesuai dengan kenyataan. Apalagi, di zaman sekarang yang semakin rusak dan merusak. Kondisi yang diselimuti kegelapan ini juga menjadikan ibu sebagai korban. Tak sedikit peran mulia ibu tergadai bahkan ternodai akibat kondisi yang jauh dari hakikat kebenaran.
Sekulerisme atau sebuah ide yang memisahkan antara agama dengan kehidupan telah menyuburkan perilaku maksiat. Didasari dengan dalih kebebasan, kini fenomena seks bebas bukan hal tabu lagi. Adanya seks bebas antara muda-mudi ini meniscayakan meningkatnya angka anak yang lahir dari hubungan zina. Kemudian berujung pada aborsi atau para ibu muda tega membuang bayinya secara percuma. Seperti kasus pembuangan bayi belakangan ini tepatnya di Malang.
Sekulerisme juga menjadikan manusia tidak mampu menyelesaikan masalah pribadinya. Mudah tersulut emosi sehingga bertindak di luar kendali. Seperti halnya kasus-kasus penganiayaan yang dilakukan ibu terhadap anaknya. Berujung pada hilangnya nyawa buah hati sebagai tumbal dari sistem saat ini.
Setiap asap pasti ada api. Sikap ibu yang demikian tentu juga ada sebabnya. Himpitan ekonomi menjadi salah satu faktornya. Beban ekonomi kapitalis sekarang tidak hanya membuat rakyat semakin miskin harta tetapi juga miskin nurani. Ibu juga harus rela membanting tulang untuk mempertahankan hidup keluarga dengan mencari nafkah. Bahkan, ada yang hingga mengejar pundi di luar negeri menjadi TKW (Tenaga Kerja Wanita).
Walhasil, peran ibu sebagai pendidik, muara kasih dan pelindung buah hati tergadai karena memainkan peran ganda sebagai tulang punggung pula. Hanya rasa lelah yang dibawa ke rumah dan sederet masalah dari luar, termasuk masalah pekerjaan. Membesarkan anak tak lagi prioritas yang diutamakan hanya orientasi materi saja.
Sistem sekuler ini juga sukses mencabut tanggung jawab kepala keluarga. Tak sedikit juga para suami yang enggan untuk menafkahi keluarga hingga meninggalkan istri dan anaknya. Hal ini menambah tekanan ibu di zaman sekarang.
Fakta-fakta di atas sungguh ironis jika dibandingkan dengan bagaimana sebuah Negara jika dilandasi dengan islam, bukan sekulerisme. Negara akan menjalankan fungsinya melindungi ibu dan anak. Sebab, fungsi Negara dalam islam ri’âyah (pengurus). Negara mengurus urusan umat baik dalam maupun luar negeri.
Dan seorang pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban dengan apa ia memimpin dan mengatur rakyatnya, sebagaimana disabdakan yang mulia Rasulullah “Ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas pihak yang dipimpinnya” (HR. Muslim)
Selain itu, Negara dalam islam berfungsi sebagai junnah (perisai). Dari Abu Hurairah, Nabi Muhammad SAW bersabda “Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu perisai, dimana (orang-orang) akan berperang dan menduungnya dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya.” (HR. Muttafaqun ‘alayh)
Setiap yang mengaku dirinya muslim seharusnya memiliki keyakinan bahwa hanya sistem Islamlah satu-satunya sistem yang bisa menyelesaikan permasalahan manusia. Islam mampu menyelesaikan berbagai persoalan tanpa menimbulkan kerugian atau permasalahan baru bagi siapapun. Dengan sistem islam pula peran ibu sebagai pengurus rumah tangga, pendidik generasi bisa direalisasikan secara utuh berlandaskan aqidah islam. [syahid/voa-islam.com]