View Full Version
Jum'at, 02 Mar 2018

Perempuan, Sinetron, dan Peradaban

Oleh: Hana Annisa Afriliani,S.S (Penulis dan Pemerhati Generasi)

Sebuah survei yang dilakukan oleh Nielsen, diketahui bahwa perempuan merupakan pengonsumsi televisi terbanyak dibandingkan dengan kaum laki-laki.  Sementara dari sisi konten dalam menonton televisi, kebanyakan perempuan masih memilih serial drama (sinetron).

Dalam survei yang sama juga diketahui bahwa perempuan menonton televisi rata-rata 3 jam per hari. Sementara setengah dari populasi perempuan menghabiskan waktu untuk menonton televisi rata-rata 3-6 jam per hari pada hari kerja, dan hampir 30 persennya menonton televisi lebih dari 6 jam per hari pada hari minggu. (sumber: Nielsen newsletter edisi 15/15-01-2011)

Dari survei tersebut tergambar bahwa hampir sebagian besar perempuan di Indonesia akrab dengan tayangan televisi, terutama sinetron. Tak heran jika tayangan sinetron terus tumbuh subur di jagad pertelevisian. Hal tersebut sejalan dengan prinsip ala kapitalisme: dimana ada peminat, disitulah ada komoditas bisnis. Dan hal itu pulalah yang berlalu sekarang ini.

Para pengusaha dunia pertelevisian tentu tidak mau melewatkan kesempatan emas mengejar  keuntungan besar dengan berusaha memanfaatkan selera pasar. Mereka menjadikan perempuan sebagai bidikan utamanya, khususnya sebagai pasar mayoritas bagi tayangan sinetron. Terbukti, sinetron kini seolah mampu menjadi magnet bagi kaum perempuan, mulai dari anak-anak, remaja, hingga ibu-ibu rumah tangga.

Namun sayang, tontonan yang seharusnya menjadi tuntunan kenyataannya seringkali diabaikan oleh para pembuatnya. Kebanyakan sinetron Indonesia mengabaikan nilai-nilai edukatif, khususnya bagi kaum perempuan sebagai penikmat mayoritas. Sebaliknya justru sinetron-sinetron yang ada pada saat ini lebih banyak digunakan sebagai alat untuk mengkampanyekan nilai-nilai liberal nan hedonis.

Sebagaimana tersaji dalam sinetron saat ini, yakni adanya gambaran kehidupan modern yang lekat dengan gaya hidup hedonis dan permisif. Dalam sinetron, ukuran kaya diidentikkan dengan banyaknya harta dan tingginya kedudukan. Dan hal tersebut disampaikan secara massif tanpa kita sadari melalui tayangan sinetron. Tak heran jika kemudian banyak perempuan dalam dunia nyata yang larut dalam aktivitas mengejar kekayaan materi dan mengabaikan kekayaan hati. Banyak perempuan yang berlomba-lomba mengejar karier di luar rumah, hingga tak jarang yang mengabaikan tugas utamanya sebagai istri dan pengatur rumah tangga.

Tak sedikit juga kita temui dalam sinetron, adanya tokoh perempuan yang terlibat cinta membabi buta kepada seorang laki-laki, hingga seolah-olah hidup hanyalah tentang mengejar cinta lawan jenis. Wajar pula ketika akhirnya gambaran tersebut muncul sebagai sebuah realitas kehidupan. Para perempuan banyak dibuai oleh angan-angan tentang cinta meski harus mengorbankan harta, waktu, pikiran, hingga kehormatan. Bahkan mirisnya, banyak kasus bunuh diri terjadi akibat putus cinta. Sungguh ironis, betapa dangkalnya hidup jika hanya dimaknai sebagai upaya mengejar cinta, terlebih cinta pada manusia.

Bagaimana dengan sinteron religi? Nyatanya sama saja, sinetron religipun tak murni mencerminkan ajaran Islam yang sebenarnya.  Miris ketika ukuran sebuah tayangan adalah religi atau tidak hanya dari penggunaan hijab dan peci para pemerannya, sementara dari aspek konten sangat jauh dari ajaran Islam.

Misalnya, masih ada adegan seorang perempuan berhijab  yang berdua-duaan dengan lawan jenis, berpegangan tangan, berkata kasar, bersikap licik, dan lain sebagainya. Seolah-oleh Islam pun melegalkan yang demikian, padahal hakikatnya Islam melarangnya. Wajar jika para perempuan berhijab saat ini pun akrab dengan aktivitas pacaran, dengan dalih ‘pacaran Islami’, termasuk aktivitas-aktivitas lainnya yang jauh dari Islam.

Oleh karena itu, tayangan-tayangan tersebut jelas-jelas mampu menciptakan sebuah paradigma di dalam benak kaum perempuan, yakni tentang gaya hidup hedonis, pergaulan liberal, dan pemikiran sekuler. Dan paradigma itulah yang pada akhirnya menjadi pemicu lahirnya sebuah perilaku.

Memang benar, bahwa tak selamanya tayangan televisi mampu memberikan pengaruh kongkret terhadap perilaku seseorang. Namun hal tersebut hanya berlaku apabila seseorang itu memiliki sebuah filter di dalam dirinya berupa pemahaman akan nilai-nilai yang sahih tentang bagaimana seharusnya menjalankan kehidupan. Adapun tata nilai yang paling sahih tentunya berasal dari ajaran agama. Itulah yang sesungguhnya mampu menjadi benteng utama dalam menangkal setiap pengaruh apapun dari luar, termasuk dari tayangan sinetron.

Namun sayangnya, kebanyakan perempuan masa kini justru tidak cukup mampu membentengi dirinya dengan ajaran agama. Disamping karena faktor minimnya pemahaman agama akibat lemahnya keinginan mendalami agama, juga karena keringnya masyarakat dari upaya menghidupkan budaya amar ma’ruf nahyi mungkar. Akibatnya antar individu merasa tak mau tahu urusan orang lain, lebih-lebih menasehati sebuah kekeliruan. Akhirnya sebuah kekeliruan menjadi serba boleh atas dasar hak asasi manusia.

Oleh karena itu, tidak dapat dipungkiri bahwa tayangan sinetron Indonesia saat ini, sedikit banyak menjadi penyumbang bagi rusaknya pola perilaku kaum perempuan pada khususnya, dan masyarakat pada umumnya.

Dengan demikian, dapat tergambar pula wajah sebuah peradaban, yakni peradaban yang sosok-sosok hidup di dalamnya sibuk mengejar dunia, mengabaikan akhirat, dan menabrak nilai-nilai agama sebagai implikasi bahwa standar kebahagiaan  mereka adalah materi.

Itulah peradaban kapitalisme-liberal sebagaimana kita saksikan saat ini. Demikianlah, terdapat mata rantai yang sangat erat antara perempun, sintertron, dan peradaban. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version