Oleh: Shafayasmin Salsabila
"Saat rasa malu tak lekat pada seorang wanita, maka tunggulah waktu hancurnya dunia" (Shafa)
Dalam hiruk pikuk kehidupan hadirlah kiprah wanita yang sedikit banyak memberikan pengaruh bagi warna peradaban. Ia hadir dalam dua sisi yang dimilikinya, baik sebagai penghancur yang akan meluluhlantakkan atau kontributor dalam sebuah peradaban gemilang.
Rasulullah Saw mengingatkan dalam sabdanya :
“Tidak pernah kutinggalkan setelahku fitnah yang lebih dahsyat bahayanya bagi kaum pria daripada fitnah wanita.” (Muttafaqun Alaih)
Naudzubillah.
Wanita selayak mawar yang mekar. Merah menggoda untuk dipetik, namun duri-duri tajam siap melukai tangan yang gegabah dan tak hati-hati.
Perhatikan sebagian besar game petualangan atau kisah heroik di layar LCD. The Hero jatuh bangun hanya untuk menyelamatkan seorang wanita. Catat ya 'SEORANG'.
Pesona wanita dari ujung kepala hingga ujung kaki selalu menjadi umpan iblis menjerat mangsa. Naluri jinsiyah (seksualitas) diledakkan dalam atmosfer kapitalis zaman now.
Kerlingan mata, bibir penuh melengkung sempurna, kulit selembut kapas, membuat iman terpaku di kegelapan. Saat ia menoleh, hati menjadi meleleh. Akhirnya : "Kujual baju celana itu semua demi nyai".
Budak cinta menetas dalam eraman syahwat, menjadi gila tak ada logika. Istri anak di rumah dilupa. Karir pun rela dijadikan taruhan, jika bapak sudah dimabuk asmara. Meski cinta yang dijanjikan limitnya sampai uang di dompet si bapak kehabisan. Cinta sebatas nominal. Tak ada uang, tendangan melayang. Bapak dicampakkan, saat rumah tangga terlanjur hancur berantakan, kala karir hangus seketika. Semua berawal dari wanita.
Di masa tabi'in pernah ada kisah mengemuka. Kisah seorang hafidz sekaligus mujahid pemberani dimurtadkan oleh seorang wanita Romawi. Bagaimana ini mungkin terjadi? Lagi-lagi karena pendar kecantikan sang wanita yang tersibak semilir angin. Pandangan pun tertahan lebih dari satu kedipan. Hati tertambat, iblis tersenyum sinis. Perangkapnya memenjarakan iman yang seumur-umur telah berkobar. Kini padam tersiram gejolak hasrat yang melumpuhkan sendi-sendi ketakwaan. Islam ia gadaikan hingga mati dalam kekafiran.
Lantas apakah akhirnya layak muncul sebuah kesepakatan pahit, bahwa wanita adalah racun dunia?
Jeda. Harus berani senam otak dan seuntai bijak untuk menjawabnya. Wanita dalam posisinya sebagai fitnah dan meracuni hati seorang pria, tatkala tidak ada padanya ketundukan pada agama. (Islam. Red).
Menebar harum dimana saja. Haus sanjung, puji dan puja. Berselimutkan obsesi agar dunia tertuju padanya, adalah karakter dari wanita yang kerontang dari pemahaman agama. Kebanggaannya adalah sebanyak apa hati yang ditawan. Kepuasannya saat decak kagum dialamatkan pada tubuhnya.
Dan karakter ini tidak akan ditemui dalam sosok wanita yang berhiaskan malu. Berhati-hati dalam pergaulan. Rajin menjaga pandangan. Tak sampai hati ia menjadi jalan neraka bagi para pria. Ia sematkan kerudung menutupi rambut indahnya. Ia tutupi badannya dengan longgarnya baju tak berpotongan. Ia tak ingin dipandang dengan kacamata nafsu. Tak jadi bangga saat lisan memuji malah menangis ketakutan. Ia tahu dengan pasti pujian itu datang hanya karena Allah tengah tutupi aib-aibnya.
Senyumnya tak asal dilemparkan. Jemarinya tak menyentuh sembarangan. Suarapun ia jaga jauh dari mendayu-dayu. Izzah dan iffah serta wara' menjadi keseharian.
Wanita seperti ini bukanlah racun yang mematikan. Justru madu yang menyehatkan. Bukan sebagi fitnah namun anugerah. Ia seperti mutiara yang berada di kedalaman samudra. Tak sembarang yang bisa mendapatkannya. Hanya penyelam ulung yang akan memilikinya.
Dialah wanita sholiha, sebaik-baik perhiasan dunia yang kelak menjadi ibu peradaban, mencetak generasi gemilang.
Rasulullah Saw bersabda dalam sebuah hadits:
“Dunia itu semuanya menyenangkan, dan sebaik-baik kesenangan dunia adalah wanita sholehah”. (H.R. Muslim. Lihat Riyâdhush-Shâlihîn)
Madu di tangan kananmu, racun ditangan kirimu. Mana pilihan terbaik? Tentunya pilih yang paling dekat dengan ridho Ilahi. Menjadi wanita sholiha. Dekat dengan agama. Memahami dengan jelas jati dirinya, yakni sebagai muslimah sejati. Berani unjuk gigi hanya dengan ketakwaan dan berlomba dalam kebaikan. Dengan begitu stigma negatif tak akan melekat lagi. Wallahu a'lam bish-shawab.
*Founder Ikatan Sahabat Hijrah Indramayu dan anggota Komunitas Revowriter