Sahabat Muslimah VOA-Islam...
Berita larangan mahasisiwi bercadar di UIN Sunan Kalijaga menjadi perbincangan hangat banyak kalangan. Rektor UIN Sunan Kalijaga, Yudian Wahyudi, mengatakan bahwa peningkatan jumlah mahasiswi bercadar yang menjadi puluhan menunjukkan gejala peningkatan radikalisme.
Bahkan beliau akan memecat dan mengeluarkan mahasiswinya yang tidak mau melepas cadar saat beraktivitas di kampus.
Menanggapi hal ini Sekjen MUI, Anwar Abbas mengatakan, tindakan yang dilakukan pihak rektorat kampus tersebut tidak mempunyai dasar yang kuat.
“Jadi kesimpulan saya, dasar hukum yang digunakan mereka sebagai alasan yang tidak kuat. Nah kalau seandainya kita berbuat sesuatu yang dasar hukumnya tidak kuat, itu yang akan terjadi kegaduhan," ujarnya.
Demikian pula Wakil ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah DI Yogyakarta memberikan pandangannya bahwasannya “ Pelarangan cadar di kampus ini sesuatu yang sangat dangkal, karena cadar itu kan hanya simbol-simbol saja.”
Perbincangan tentang cadar menjadi hal yang menarik akhir-akhir ini. Ditengah meningkatnya semangat berhijrah terutama dikalangan kaum muda, para mahasiswi, tidaklah asing lagi banyaknya fenomena muslimah memakai cadar sebagai pelengkap busana muslimahnya.
Disisi yang lain, adanya kalangan yang menjadikan fenomena cadar sebagai ‘bahaya’ untuk menunjukkan indikasi adanya gejala peningkatan radikalisme. Benarkah demikian? Bukankah seorang muslimah yang meyakini aqidahnya dan mewujudkan dalam bentuk ketaatannya kepada Sang Khaliq dengan menyempurnakan syariat berpakainnya adalah sebuah keniscayaan?
Ada hal mendasar yang harusnya kita pahami. Islam dengan kesempurnaan syariatnya tidaklah cukup hanya melaksanakan syahadat, sholat, puasa, zakat dan haji. Akan tetapi dilengkapi pula dengan syariat tentang pakaian, makanan, minuman, cara bermuamalah. Sehingga mengenakan pakaian bagi seorang muslimah adalah bagian dari keterikatan dia didalam menjalankan syariatnya.
Termasuk ketika mereka mengenakan cadar sebagai penutup wajahnya. Memang terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama tentang hukum mengenakan cadar. Masing-masing pendapat memiliki dasar landasan dalil. Sehingga menjadi hukum syariat bagi mereka yang meyakini dalil yang mendasarinya.
Sehingga pemikiran dan tindakan yang menempatkan fenomena cadar dengan mengkaitkannya dengan gejala radikalisme, tidaklah berdasar, dan sangatlah rapuh. Karena pada hakekatnya muslimah yang mengenakan cadar adalah bentuk perwujudan ketaatannya kepada Sang Pemberi Hidup, Sang Khaliq yang telah memberikan seperangkat aturan bagi dirinya.
Layakkah kita sebagai manusia, hamba Allah yang memiliki segala keterbatasan dalam berfikir dan bertindak ‘menghakimi’ seseorang yang ingin menjalankan ketaatannya kepada Allah dengan dalih radikalisme ? Siapakah yang berhak menentukan baik dan buruk perbuatan manusia ? Syariat Allah sebagai Sang Khaliq mencipta segala sesuatu, tidak hanya sekedar menciptakan, akan tetapi Allah juga menyiapkan segala aturan kehidupan dengan nama Syariat Islam.
Untuk memberikan kebaikan kehidupan, menjadikan Rahmatan lil ‘Alamin bagi kehidupan manusia. Sehingga standar perbuatan bagi manusia tidaklah terletak pada kemampuan manusia didalam menilai baik-buruk, bahaya, radikal dan lain sebagainya. Cukuplah Syariat Islam memberikan aturan kehidupan yang terbaik bagi kehidupan manusia.
Sudah seharusnya, sebagai seorang muslim yang memiliki keimanan kepada Allah, terlebih memiliki posisi strategis pada Institusi Pendidikan Islam memberikan fasilitas dan kemudahan sesama muslim untuk menjalankan ketaatan kepada sang Pencipta. Tidak justru mempermasalahkan hal-hal yang menjadi pilihan kehidupannya. Agar keberkahan hidup senantiasa terlimpah bagi kita semua. Aamiin. [syahid/voa-islam.com]
Kiriman Ummu Nida’ (Gresik)