Oleh: Khamsiyatil Fajriyah
Tanggal 8 Maret lalu, para perempuan kembali merayakan hari miliknya. Hari yang penuh harapan agar hak-hak perempuan terpenuhi. Hari yang lahir karena ketertindasan perempuan. Meskipun dengan beragam versi penyebab ditetapkannya hari ini oleh PBB, sejak tahun 1977 tanggal 8 Maret hari perempuan ada agar mereka terus memperjuangkan hak-haknya sekaligus untuk menjaga perdamaian dunia.
Sekarang kita sudah berada di tahun 2018. Sudah berlalu 41 tahun para perempuan memperjuangkan haknya. Tidak ada tanda-tanda perbaikan nasib untuk perempuan. Seruan tahun ini dari aktivis perempuan di Indonesia adalah menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan. Diskriminasi, yang menurut anggapan mereka sebagai awal munculnya pemerkosaan, pernikahan dini, dan macam kekerasan seksual yang lain.
Diskriminasi terhadap perempuan didefinisikan sebagai perlakuan tidak adil kepada perempuan. Tetapi bila melihat apa yang sudah terjadi di Indonesia, sulit bagi kita melihat diskriminasi terhadap perempuan. Pemerintah sudah loyal dengan meratifikasi konferensi-konferensi perempuan internasional yang mengarus utamakan keseteraan gender. Maka lahirlah UU KDRT tahun 2004, UU tentang kuota 30% perempuan di partai politik, hingga UU no 1 tahun 2017 tentang kesetaraan jender. Dan apakah semua Undang- undang itu berhasil mengurai semua masalah diskriminasi berwujud kekerasan seksual terhadap perempuan?
Bila undang-undang tersebut diasumsikan bisa menyelesaikan masalah perempuan akibat diskriminasi, namun mengapa semua masalah terhadap perempuan tidak kunjung nampak penyelesaiannya. Contohnya bila UU KDRT tahun 2004 ada untuk menghentikan kekerasan terhadap perempuan, seharusnya angka kekerasan terhadap perempuan semakin menurun. Namun yang terjadi tidak demikian. Meskipun kemudian ditopang oleh Undang-undang yang lain, angka kekerasan terhadap perempuan cenderung semakin naik. Masalah dan penderitaan tidak kunjung selesai, perempuanpun semakin larut dalam pemikiran dan kehidupan liberal, semakin jauh dari solusi yang shohih.
Islam yang saat ini tengah disingkirkan dari kehidupan manusia, terlebih dituding sebagai sumber budaya yang mendiskriminasikan perempuan, sebenarnya telah tuntas dan sempurna menyelesaikan masalah perempuan. Pengaturannya diterapkan bersama-sama dengan sistem yang lain. Islam memandang perempuan dan laki-laki memiliki peran yang sama dalam relasi saling tolong-menolong dalam kebaikan dan meraih kemuliaan. Keduanya ada di dalam masyarakat, menjalin hubungan satu sama lain dilandasi ketaqwaan kepada Allah SWT.
...Sudah berlalu 41 tahun para perempuan memperjuangkan haknya. Tidak ada tanda-tanda perbaikan nasib untuk perempuan. Seruan tahun ini dari aktivis perempuan di Indonesia adalah menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan...
Seperangkat aturan diberikan kepada laki-laki dan perempuan, dari aturan menjaga pandangan, menutup aurat, larangan campur baur antara keduanya, semuanya ada dalam rangka menjaga kemuliaan satu sama lain. Dan untuk hubungan seksual diberi jalan dengan menikah untuk melestarikan jenis, sekaligus menentramkan hidup keduanya.
Sistem pengaturan laki-laki dan perempuan ini tidak bisa diwujudkan tanpa penegakan aturan yang lain. Dibutuhkan sistem ekonomi yang menyejahterahkan, sistem politik yang tegak diatas pondasi ketaqwaan, dan sistem hukum dan pidana yang ditegakkan tidak sekedar menjerakan bagi pelaku kriminal dan anggota masyarakat yang lain, tetapi membebaskan pelakunya dari pengadilan di akhirat kelak.
Sistem seperti ini sebenarnya sudah pernah diterapkan selama kurang lebih 1300 tahun. Dimulai dari Rasulullah SAW, khulafaurrasyidin, dan khalifah-khalifah sesudahnya. Para perempuan di masa kekhilafahan tercatat bisa memperoleh haknya dengan mudah. Hak memiliki harta, hak hidup, hak menjaga kehormatannya, bahkan hak politiknya. Bukan karena mereka selalu menuntut haknya, tetapi karena Islam dengan sempurna telah mengatur pemenuhannya.
Pernah tercatat di masa umar, seorang istri protes dan mengajukan cerai karena memperoleh perlakuan 'tidak patut' dari suaminya. Bukan karena sang suami melakukan tindak kekerasan. Tetapi karena suaminya tidak pernah berdandan untuknya sebagaimana dia melakukan untuk suaminya.
Tuntutan ini bukanlah dorongan dari perlakuan diskriminasi, tetapi karena berpijak kepada pesan Rasulullah SAW bahwa seorang istri berhak mendapatkan perlakuan makruf dari suaminya. Dengan demikian, telah jelas sebenarnya bahwa kehidupan sekuler liberal tidak pernah bisa memenuhi hak perempuan. Hanya Islam saja yang mampu. Wallahu a'lam bishshowab. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google