Oleh: Ummu Nadzifah
Sebagai orang tua, kita menginginkan anak-anak tumbuh menjadi manusia yang bertanggung jawab dan mandiri. Karena hal itu menjadi syarat yang tidak bisa ditawar untuk melahirkan sosok pejuang. Mulailah kita merancang untuk melepasnya secara bertahap. Terutama ketika dia mulai beranjak remaja. Kita mulai mengajarinya melakukan berbagai hal secara mandiri.
Mencuci dan menyetrika bajunya, mencuci piring bekas makannya, membersihkan tempat tidurnya dan juga bersih-bersih rumah. Tak jarang kita pun menyuruhnya untuk menjalankan tugas diluar rumah. Berbelanja, berangkat les sendiri, berangkat sekolah sendiri dan lain-lain. Semua itu sebenarnya adalah bagian dari pembelajaran agar dia berani, bertanggung jawab dan tentunya bisa bersosialisasi dengan orang lain.
Akan tetapi ada satu hal yang menyelinap dihati para orang tua terutama ibu. Yaitu rasa khawatir yang tidak terbendung ketika melepas anak-anak keluar rumah. Sebut aja berangkat sekolah sendiri. Seorang ibu terkadang tidak tega ketika anaknya berangkat sekolah sendiri. Sehingga meskipun sibuk, ibu-ibu tetap rela jadi tukang ojek bagi anak-anaknya. Apakah ibu-ibu ini lebay? bukankah mereka dulu juga berangkat dan pulang sekolah tanpa antar jemput? Bukankah jarak berkilo-kilo mereka tempuh dengan naik ontel atau jalan kaki?
Kekhawatiran ibu-ibu ini bukanlah tanpa alasan. Kejahatan termasuk didalamnya kejahatan seksual mengintai anak-anak mereka. Ingat kasus yuyun? Siswi SMP yang diperkosa oleh beberapa pemuda, kemudian dibunuh. Masih banyak kisah kejahatan seksual yang menimpa anak-anak remaja. Inilah yang menjadi momok bagi para ibu. Sehingga senantiasa mendekap anak-anaknya meski mereka sudah beranjak dewasa.
Dilema memang. Di satu sisi, ibu-ibu ingin anaknya tumbuh menjadi sosok mandiri. Tapi disisi lain ibu-ibu juga takut melepas anaknya. Apalagi jika anaknya perempuan. Eit jangan salah. Ternyata ibu-ibu yang punya anak laki-laki juga mengalami keresahan yang sama. Berkeliarannya kaum Sodom menjadi ancaman tersendiri bagi anak-anak. Belum lagi jerat narkoba, bullying, dan kenalan-kenakalan yang lain.
Bagaiman anak-anak bisa tumbuh menjadi sosok pejuang pembela Islam, sepert Asma binti Abu Bakar, di usianya yang masih belia, berani menjalankan misi berbahaya yaitu mengantar makanan untuk Nabi dan ayahnya padahal mereka adalah buron. Atau Muhammad al Fatih, di usianya yang masih remaja sudah berhasil memimpin pasukan penakluk Konstantinopel. Bagaimana sosok tersebut bisa terwujud ke anak-anak kita, jika ke sekolah saja masih diantar jemput emaknya. Sekali lagi…ini memang dilemma. Kondisi ini tidak normal. Anak-anak berhak mengenal dunianya. Apa yang bisa kita lakukan?
Situasi dan kondisi yang dihadapi anak-anak kita saat ini berbeda dengan masa kita dulu. Ibarat orang berperang musuh yang dihadapi anak-anak saat ini, lebih kuat dan lebih cangkih. Agar bisa memenangkan pertemburan, anak-anak harus dibekali dengan persenjataan yang cangkih pula. Apa itu?
Pedoman hidup. Islam adalah satu-satunya pedoman hidup. Anak-anak harus di pahamkan bahwa hidup didunia adalah untuk mencari ridlo Allah. Untuk itu mereka harus mengetahui apa-apa yang diperintahkan Allah dan apa-apa yang dilarangNya. Yang diperintahkan Allah harus dikerjakan tanpa alasan apapun, dan yang dilarang harus ditinggalkan tanpa toleransi apapun. Untuk itu mereka harus mengaji Islam.
Peka terhadap lingkungan. Anak-anak harus dipahamkan bahwa saat ini mereka hidup dalam lingkungan dan sistem yang tidak islami. Kejahatan bisa saja terjadi dan mengancam dimana-mana akibat tidak diterapkan syariat islam. Untuk itu mereka harus waspada dan tentunya ikut berjuang untuk mengubah lingkungan.
Selain itu, para ibu juga harus membekali dirinya dengan ilmu-ilmu Islam, sehingga bisa mengontrol anak-anak dan mengajari mereka tentang mana yang diperbolehkan Islam dan mana yang dilarang. Tidak cukup dengan itu, ibu juga harus berkontribusi untuk mencerdaskan umat, sehingga terwujud masyarakat dan sistem yang Islamy yang akan menjadi benteng bagi anak-anak. Wallahu ‘alam bishawab. [syahid/voa-islam.com]