View Full Version
Ahad, 08 Apr 2018

Kekerasan Seksual pada Perempuan dan Perjuangan via Tagar Medsos #MeToo

Oleh: Khamsiyatil Fajriyah

Tagar #MeToo sedang viral. Ini adalah protes melawan kekerasan seksual yang terjadi pada perempuan. Tagar ini dimulai sejak akhir tahun lalu setelah terungkapnya pelecehan seksual produser film kenamaan Hollywood, Harvey Weinstein. Tidak main-main, dalam jangka waktu 30 tahun dia berhasil melakukan pelecehan, kekerasan, bahkan pemerkosaan kepada puluhan artis, papan atas pula. Sebutlah nama dari Gwyneth Paltrow, Angelina Jolie, sampai Cara delevingne.

Di Korea Selatan tagar ini juga sedang viral. Masyarakat menuntut terungkapnya kematian bunuh diri artis cantik Jang Ja Yeon yang mengenaskan. Dari surat yang dia tulis untuk sahabatnya, diceritakan bahwa dia telah diperkosa oleh 31 orang sebanyak 100 kali.

Di women's march lalu, seorang artis Indonesia yang ikut turun ke jalan menceritakan hal yang sama. Pelecehan dan kekerasan seksual adalah hal yang sering dialami mereka. Di Indonesia, hal ini mendorong untuk segera disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.

Miris melihat fenomena pelecehan seksual terhadap perempuan ini. Mengapa begitu mudah perempuan menjadi objek untuk dilecehkan? Tentu ada sebab bahkan akar dari munculnya kejadian ini. 

Kapitalisme Biang Masalah

Bukan tanpa sebab bila para artis korban pelecehan seksual ini diam saja. Selain trauma yang mendalam dan memalukan, mereka takut kehilangan pekerjaan dan ketenaran. Iming-iming ketenaran atau pekerjaan dari pelaku pelecehan yang rata-rata orang yang berkuasa atas mereka telah berhasil membungkam para korban.

Rentan mengalami kekerasan seksual adalah nasib perempuan dalam sistem kapitalisme. Dalam kapitalisme, perempuan adalah komoditas. Hal itu menjadikan perempuan tereksploitasi secara seksual. Karena perempuan yang secara fitrah adalah perhiasan 'dunia', segala darinya bisa menjual. Maka wajarlah para kapitalis memakainya untuk mendongkrak nilai jual produknya.

Setiap jengkal tubuh perempuan bisa di ekspolitasi untuk mendongkrak barang jualan para kapitalis. Dari kepala hingga ujung kakinya. Dari barang yang ada hubungannya dengan perempuan hingga barang yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan perempuan. Pendek kata, dalam sistem kapitalisme badan perempuan memiliki nilai tukar yang bisa dijajakan.

Pelecehan bahkan kekerasan seksual sebenarnya bukan monopoli dunia entartainment. Di industri yang lain pun hal ini sering terjadi. Perempuan kerap kali menerima resiko ini ketika mereka harus keluar rumah untuk bekerja. Perlakuan tidak senonoh bisa datang dari bos, teman kerja, bahkan kliennya.

Dalam sistem kapitalisme, perempuan dituntut untuk bekerja. Karena mereka dituntut harus ikut serta 'berperan' dalam PDB (Pendapatan Domestik Bruto). Perempuan 'berperan' bila menghasilkan uang sendiri. Bila tidak, selanjutnya dia akan diberi predikat 'tidak produktif', menjadi beban orang lain dan puncaknya adalah menjadi beban negara.

Semuanya lahir dari pandangan hidup kapitalisme, bahwa segala sesuatunya diukur dari materi. Perempuan pun ikut serta dalam pusaran pemikiran ini. Meskipun hidup mereka sebenarnya jauh dari kebahagiaan. Yang mereka terima adalah penderitaan demi penderitaan, penghinaan demi penghinaan, semuanya dengan 'tabah' mereka jalani. Semuanya demi materi. Yang pada akhirnya hidup pun tidak bisa mereka 'nikmati'.

Akhirnya, menjadi sangat sulit memutus mata rantai kekerasan seksual terhadap perempuan dalam sistem kapitalisme. Beragam Undang-undang yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia juga tidak berhasil menghentikan kekerasan seksual terhadap perempuan. Karena sistem kapitalisme sebagai biang masalahnya, masih terus dipelihara.

Islam Solusi

Islam selama ini dituding sebagai kambing hitam atas segala persoalan perempuan. Padahal sejatinya, hanya Islam yang mampu memuliakan mereka. Dengan suatu pandangan hidup yang jauh dari pengagungan terhadap materi. Suatu pandangan hidup yang semata-mata bertujuan meraih ridho Allah SWT. Kehidupan yang baik pasti akan dinikmati oleh para perempuan ketika mereka tunduk kepada hukum-hukum Allah SWT. Bersama dengan laki-laki bahu membahu untuk beramal sholih dan menegakkan hukum Allah SWT.

Salah satu pemuliaan kepada perempuan dalam Islam adalah pelepasan tanggung jawab mereka dalam mencari nafkah. Maka biaya hidup seorang perempuan ditanggung oleh laki-laki yang menjadi walinya bila dia belum menikah. Bila dia menikah, maka biaya hidupnya beralih kepada suaminya. Bila kedua pihak ini tidak dimiliki oleh seorang perempuan, maka negaralah yang berperan sebagai walinya. Tentu saja negara ini adalah Khilafah.

Khilafah memandang semua warga negaranya adalah tanggungjawabnya. Termasuk di dalamnya perempuan. Mengurusi mereka bukan karena mereka telah berkontribusi pada PDB negara. Tetapi begitulah tanggungjawab negara yang digariskan oleh Allah SWT. Dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan para Khalifah sesudah beliau.

Melindungi perempuan dari kekerasan seksual juga telah dijelaskan rinci dalam syariat Islam. Menjaga kehormatan perempuan sudah diatur dalam Islam sejak mereka ada di dalam rumah hingga keluar rumah. Larangan berkhalwat dan berikhtilat. Kewajiban menutup aurat bila menemui laki-laki selain mahramnya. Memakai jilbab ketika keluar rumah. Kewajiban mengantongi ijin dari wali atau suaminya ketika keluar rumah. Hingga ditemani mahramnya ketika menempuh perjalanan sehari semalam.

Jelaslah, seruan siapa yang bisa kita ikuti dan perjuangkan. Seruan sistem kapitalisme yang menghancurkan dan menghinakan perempuan ataukah seruan sistem Islam yang memuliakan dan melindungi perempuan? Akal sehat kita sudah tentu bisa memilih dengan bijak. Wallahu alam. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version