View Full Version
Selasa, 10 Apr 2018

Perempuan Dalam Bingkai Peradaban

Oleh: Chusnatul Jannah (Lingkar Studi Perempuan Peradaban)

Delapan Maret menjadi hari spesial bagi kaum perempuan dunia. Hari Perempuan Internasional akan digelar sebagai wujud perjuangan terhadap hak-hak perempuan dan perdamaian dunia. Berbicara perempuan selalu dikaitkan dengan perannya dalam suatu peradaban.

Perempuan memegang peranan penting terhadap maju tidaknya sebuah peradaban. Dari tangan perempuanlah terlahir generasi penentu masa depan. Tidak terlalu berlebihan ketika ada pepatah mengatakan perempuan adalah tiang negara. Adanya mereka terwujudlah peran Ibu di sana. Tanpa mereka, Negara tak akan bisa menghasilkan generasi dambaan.

Dalam masa kejayaannya, Islam begitu menjunjung tinggi kaum perempuan. Kedudukan perempuan di mata Islam terjaga dan mulia. Begitu mulianya kaum perempuan, Allah abadikan mereka dalam salah satu nama surat dalam Al qur’an. Bahkan, Allah berikan contoh perempuan teladan didalamnya, Ibunda Nabi Isa a.s, Maryam binti Imran.

Tak hanya itu, sepanjang sejarahnya Allah sematkan pula sosok ummul mukminin dambaan, yaitu Istri-istri Baginda Nabi Muhammad saw sebagai teladan terbaik sepanjang masa. Sosok-sosok perempuan mulia ini menjadi gambaran keteladanan bagi kaum perempuan di akhir zaman.

Di masa peradaban Islam, kaum perempuan memiliki peranan yang tak bisa dipandang sebelah mata. Sebut saja, Khadijah ra, Istri tercinta Baginda Nabi saw. Beliaulah salah satu sumber kekuatan Rasulullah dalam mengemban risalah Islam dan pendukung setia Rasulullah berdakwah dalam suka maupun duka. Ada lagi Al Khansa, sosok ibu tangguh di zamannya yang rela melepas anaknya pergi berjihad hingga keempat putranya menjemput syahid di medan perang, Subhanallah.

Di masa para shahabat, ada sosok shahabiyah tegas dalam mengadili, dialah Al Syifa’, seorang qadhi hisbah di masa Khalifah Umar bin Khattab. Dan masih banyak lagi kisah shahabiyah memiliki peran besar dalam peradaban Islam.

Sepanjang Islam diterapkan, Islam memposisikan kaum perempuan sesuai fitrah dan kedudukan mereka. Islam tak menghalangi mereka mengenyam pendidikan tinggi. Sosok Fatimah Al Fihri contohnya, beliau adalah Muslimah pendiri Universitas tertua di dunia, Universitas  Al Qarawiyyin. Kiprahnya di dunia pendidikan tak diragukan lagi.

Masjid Al Qarawiyyin yang dibangunnya  dengan modal sendiri menjadi cikal bakal pusat penyebaran Islam di Maroko. Catatan emas peradaban Islam tak terbantahkan. Generasi berkualitas mampu dilahirkan di tangan Ibu tangguh di masanya serta  didukung sistem yang mampu memberikan kebaikan bagi keluarga dan masyarakatnya.

Berbeda dengan Barat, saat Islam menjunjung tinggi hak-hak perempuan, Peradaban Barat justru merendahkan hak-hak perempuan. Mereka tertindas dan terpinggirkan. Mereka tak ubahnya kaum kelas rendah tak berharga. Jauh sebelum mereka, peradaban Yunani dan Romawi kuno pun sama. Memperlakukan kaum perempuan hanya penikmat dan pemuas nafsu belaka.

Suara mereka tak didengar, peran mereka termarjinalkan. Bangsa Arab sebelum Islam datang, memperlakukan kaum perempuan tak semestinya. Kehadiran bayi perempuan di tengah-tengah mereka dianggap sebagai aib, sehingga  mereka biasa melakukan tradisi jahiliyah dengan mengubur bayi perempuan hidup-hidup.

Kini, ketika Islam dicampakkan dari kehidupan, lalu diterapkan sistem sekular-liberal, kaum perempuan dirundung keprihatinan. Sejak itu, kedukaan menyelimuti kehidupan kaum perempuan. Mereka tak lagi menjadi pilar peradaban. Namun menjadi tumbal peradaban sistem kapitalis – sekular. Mereka terjajah dan tereksploitasi oleh kerusakan sistem kapitalis-sekular yang dipaksakan dalam kehidupan. Perempuan tak lagi mulia. Aurat diumbar atas nama kebebasan berekspresi dan eksplorasi diri.

Kemiskinan mendera menjadikan mereka terpaksa mengais rezeki sendiri. Penyiksaan, penganiayaan, pembunuhan, seolah menjadi tontonan sehari-hari. Kaum perempuan muslim di dunia tak lagi tinggi martabatnya. Lihatlah bagaimana kondisi perempuan muslim di Suriah, Palestina, Rohingnya dan lainnya. Mereka tak berdaya oleh kebiadaban rezim yang berkuasa. Pun sama dengan Indonesia. Angka perceraian meninggi.

Tercatat sepanjang tahun 2017, 224.239 kasus gugat cerai dilayangkan ke pengadilan. Isu perselingkuhan seringkali menjadi alasan istri menggugat cerai suami. Kekerasan dalam rumah tangga turut mewarnai tingginya angka perceraian di Indonesia. Keluarga berantakan, anak pun menjadi korban.

Alasan inilah yang kerap kali digaungkan kaum feminis agar perempuan bangkit dari keterpurukan. Padahal, ketertindasan dan kemalangan berkepanjangan yang menimpa mereka disebabkan kehidupan kapitalis – sekular yang menjauhkan agama dari kehidupan.

Akibatnya, mereka tak memahami bagaimana Islam mengatur peran laki-laki dan perempuan. Peran domestik sebagai Ibu dan pengatur rumah tangga dianggap mengekang dan rendahan. Pakaian muslim yang menutup keindahan tubuhnya dianggap mengungkung kebebasan. Islam dianggap tak adil memberi porsi. Islam dituding diskriminasi dalam kepemimpinan.

Syariat Islam dianggap membatasi keberlangsungan perempuan. Poligami, pembagian warisan, hak wali, hak asuh anak, kepemimpinan dan segudang hukum Islam lainnya mereka gugat. Kesetaraan tak didapat ketika syariat Islam dijadikan hukum bagi perempuan. Demikian komentar pejuang hak-hak perempuan, kaum feminis – gender.

Sejatinya, dalam Islam tak mengenal kesetaraan seperti yang digaungkan oleh kaum feminis dan gender. Ide kesetaraan gender bukan berasal dari Islam. Ide itu lahir atas respon dari kaum perempuan Barat yang mengalami intimidasi dan diskrimanasi yang mereka alami. Sistem kapitalisme yang  mengatur kehidupan mereka telah gagal memberikan keadilan dan perlindungan. Di saat islam memuliakan perempuan, Eropa dan Barat justru masih menganggap kaum perempuan sebagai kaum yang terpinggirkan.

Lantas, layakkah kita menjadikan ide feminisme sebagai jalan kebangkitan perempuan ketika Islam terbukti secara historis mampu memuliakan dan menyejahterakan dengan konsep Islam yang adil? Setara tak berarti sama. Laki-laki dan perempuan diciptakan sesuai fitrah dan posisi masing-masing. Sebagai manusia dan hamba, ketakwaanlah yang menjadi barometer tingkat ketinggian derajat seseorang, baik laki-laki maupun perempuan.

Sehingga, seorang laki-laki tidak dibenarkan mengklaim dirinya memiliki derajat lebih tinggi dibanding perempuan, terkecuali ia mengunggulinya dalam segi ketakwaan. Jadi, tidak ada siapapun yang mengungguli siapapun, kecuali atas dasar ketakwaannya di sisi Allah SWT, sebagaimana firman Allah,

“Barang siapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita, sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikit pun.” (QS. An-Nisa [4]: 124).

Sebagai laki-laki dan perempuan, Islam sudah atur kedudukan mereka berdasarkan sifat khususnya. Tak perlu dikacaukan dengan ide gender dan feminisme yang sejatinya lahir dari pemikiran Barat. Cukup Islam menjadi standar dan ukuran bukan kapitalis, sekular, dan liberal yang terbukti gagal. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version