Oleh: Ririn Umi Hanif (Pemerhati Ibu dan Anak - Gresik)
Setiap tanggal 8 Maret, seluruh perempuan di dunia memperingati Hari Perempuan Sedunia atau Women Day. Dikutip dari situs resmi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Kamis (8/3/2018), peringatan soal Hari Perempuan Nasional pertama kali dilakukan pada 28 Februari 1909 di New York, Amerika Serikat.
Agenda ini diinisiasi oleh Partai Sosialis Amerika Serikat untuk memperingati setahun berlalunya demonstrasi kaum perempuan di New York pada 8 Maret 1908.
Hingga akhirnya pada tahun 1975, untuk pertama kalinya PBB memperingati Hari Perempuan Internasional pada 8 Maret. Sejak saat itulah pada tanggal ini diperingati sebagai Hari Perempuan Internasional.
Di Indonesia, Peringatan Hari Perempuan Sedunia atau Women Day, juga menjadi agenda rutin yang selalu diperhatikan. Tahun ini pun, Aksi Parade Perempuan kembali menghiasi ibu kota. Ratusan massa dari berbagai elemen berkumpul di Gedung Sate, Kota Bandung, Jumat (4/3/2018) dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional.
Aksi damai ini bertujuan untuk menyuarakan hak-hak perempuan, diantaranya menolak eksploitasi perempuan, menuntut akses perlindungan dan pemulihan bagi korban kejahatan seksual, serta upah yang layak. (Tribunnews.com, 6/3/2018)
Menurut para pengusung ide keseteraan gender, hak – hak perempuan di Indonesia perlu diperjuangkan. Hal ini dikarenakan, berdasarakan data – data yang mereka rekam, perempuan Indonesia masih belum mendapatkan kesetaraan hak nya terhadap lelaki. Kasus Kekerasan Dalam rumah Tangga (KDRT), yang menjadikan para ibu sebagai korban, juga terus bertambah setiap tahunnya.
Komnas Perempuan Indonesia mengungkapkan terdapat 259.150 kasus kekerasan atas perempuan sepanjang tahun 2016. Angka ini dihimpun dari data di Pengadilan Agama dan yang ditangani lembaga mitra pengadaan layanan di Indonesia (BBCIndonesia.com, 7/3/2017).
Sementara itu, keterwakilan perempuan dalam parlemen belum terlihat signifikan. Bahkan dalam Pemilu 2014, target keterwakilan 30% perempuan belum tercapai. Berdasarkan data dari Inter-Parliamentary Union (IPU), prosentase keterwakilan perempuan Indonesia masih berada di bawah 20%, tepatnya 19,8 % (tirto.id, 7/9/2017).
Menurut para pengusung isu gender, hal ini berdampak pada kehidupan politik, sosial dan ekonomi perempuan. Karena yang selalu mengambil kebijakan adalah para lelaki.
Kini, seabad sudah hari perempuan diperingati. Belum ada yang berubah akan nasib mereka, bahkan kondisinya semakin memprihatinkan. Secara ide, Perjuangan aktivis perempuan dengan isu Kesamaan dan Kesetaraan Gender (KKG) telah berhasil menjajah benak kaum perempuan. Bahkan anak-anak, remaja dan mahasiswi adalah sasaran empuk penanaman nilai-nilai kesamaan gender ini.
Mereka akan sangat bangga ketika mampu menempati profesi karir dunia. Sementara akan minder, tidak percaya diri, rendah diri, terhina dan bahkan merasa sebagai perempuan tak berguna jika ia tidak bekerja, Seolah profesi ibu rumah tangga sedemikian tidak berharga.
Namun, disisi lain, kondisi ini membawa dampak yang cukup serius dalam kehidupan dan kesejahteraan perempuan. Para perempuan berebut peran di ranah publik, Ia lebih banyak mencurahkan waktu, pikiran dan tenaganya bagi perusahaan tempatnya bekerja.
Benar, banyak perempuan mandiri secara ekonomi, namun ada harga mahal yang harus mereka tukar. Tidak sedikit yang harus mengeksploitasi tubuhnya dengan dalih seni, pergi ke sana kemari karena tuntutan profesi, atau jadi tenaga kerja ke luar negeri. Akibat lanjut adalah hancurnya institusi keluarga akibat perzinaan (perselingkuhan), pelecehan seksual, kekerasan terhadap perempuan, tingginya angka perceraian, kerusakan moral, serta merajalelanya pornografi.
Kalau kita mau jujur, sistem sekulerlah sebenarnya yang telah gagal memberikan kemanan dan ketentraman bagi perempuan. Menjamurnya industri pornografi, dibukanya kran seluas – luasnya untuk buruh pabrik perempuan dan tingginya pengiriman tenaga kerja perempuan ke luar negeri, hanya menunjukkan bahwa perempuan ditempatkan sebagai komoditas penghasil materi, pemuas nafsu dan semua perannya hanya dianggap penting jika bernilai materi.
Berbeda dengan pandangan sekuler-kapitalis mengenai perempuan, Islam sejak diturunkan Allah SWT sudah mengatur posisi perempuan sedemikian indah, imbang dan mulia di samping laki-laki. Islam memandang, perempuan adalah makhluk yang secara manusiawi, sama dengan laki-laki. Yang membedakan mereka di hadapan Allah hanyalah taqwanya. Tapi secara fisiologi, organ dan fungsi tubuh, perempuan dan laki-laki jelas beda.
Ini yang lantas membedakan peran kodratinya. Perempuan ditakdirkan hamil, menyusui, diberi tanggung jawab di wilayah domestik. Sementara laki-laki, diberi tanggung jawab di wilayah publik, mencari nafkah, mendidik istri dan anak serta melindungi mereka.
Perbedaan tugas ini bukan berarti membedakan kasta, martabat, apalagi diskriminatif. Inilah yang disebut dengan spesifikasi, untuk menjaga keseimbangan dan keberlangsungan hidup manusia.
Karena itu, bagi para perempuan, muslimah khususnya, sungguh ide kesetaraan itu ide melenakan yang membawa kepada kehancuran. Sungguh karirmu tidak hanya sebatas dunia. Sungguh dengan islam lah engkau akan dimuliakan.
Kini saatnya memperjuangkan penerapan Islam secara komprehensif dengan tegaknya Khilafah Islamiyah. Hanya Khilafah yang menjamin hak, meninggikan harkat dan martabat serta kesejahteraan dan keadilan hakiki. Wallahu a’lam bi ash showab. [syahid/voa-islam.com]