Sahabat Muslimah VOA-Islam...
FEMINIS MENGGUGAT. Moment bersejarah Women's March yang baru saja berlalu dimanfaatkan dengan begitu apik oleh pengusung kesetaraan gender. Pawai dilangsungkan, opini berisi tuntutan dipoles cantik demi raup simpati dan surplus dukungan.
Lihat saja point point yang tengah diperjuangkan mati matian. Tolak eksploitasi perempuan, tuntut akses perlindungan dan pemulihan bagi korban kejahatan seksual, serta upah layak. Bukankah yang demikian itu cukup menggiurkan? Jawabannya adalah IYA jika yang disasar perempuan perempuan yang telah teracuni virus kapitalis, dimana kapital dijadikan fokus dan tujuan.
Sayangnya, mereka tidak sadar (atau bahkan pura pura tidak sadar) bahwa dunia kerja yang asyik mereka geluti saat ini adalah kubangan besar yang menjerumuskan. Mereka gencar menolak eksploitasi, tapi menghantarkan diri ke jurang eksploitasi itu sendiri secara sukarela. Mereka mengecam kejahatan seksual, tapi hilir mudik dengan gaya hidup bebas seolah bukan masalah.
Inilah kontradiksi lucu antara lisan (tuntutan) dan pilihan kehidupan yang dijalani. Ibarat menanam rumput teki, mereka berharap bisa menuai padi. Sesuatu yang mustahil terealisasi. Sama mustahilnya dengan upaya mereka menggantungkan harapan pada sistem sekuler dan liberal saat ini. Sistem yang kerap melakukan framing untuk menyembunyikan kebusukannya.
Peneliti Kebijakan, Dedek Prayudi dalam diskusi publik Hari Perempuan Internasional di DPP PSI Jakarta mengatakan bahwa di luar negeri, lembaga atau perusahaan yang ingin mendapatkan tender dari pemerintah harus menunjukkan keterwakilan perempuan sekian persen. Untuk Indonesia sendiri, lebih lanjut ia mengatakan perlunya pembangunan dan pemberdayaan perempuan sejak dini guna meningkatkan produktivitas baik dari segi jaminan kesehatan maupun pendidikan.
Sekilas memang tampak baik upaya penjaminan terhadap aspek tersebut mengingat keduanya merupakan kebutuhan dasar rakyat. Tapi sekali lagi, itu hanyalah kedok untuk menutupi tujuan utama sistem ini, meraup keuntungan sebesar besarnya. Sama halnya dengan TKI/TKW yang keberadaannya dinilai sebagai pahlawan devisa. Dan nyatanya, istilah pembangunan dan pemberdayaan perempuan yang kerap kali digempurkan menyimpan banyak sekali kepalsuan.
Kapasitas waktu berlebih yang tercurahkan di ranah publik semakin melalaikan perempuan terhadap fitrah utama sebagai pengurus rumah tangga dan pendidik generasi. Akibatnya, pintu pintu penghantar perceraian semakin terbuka lebar hingga anak pun tak jarang menjadi korban. Belum lagi tuntutan pekerjaan yang mengharuskan mereka berpenampilan menarik. Ujungnya dorongan untuk menjadi konsumen aktif pakaian dan produk kecantikan adalah hal yang sulit dihindari.
Padahal tidak sedikit dari barang tersebut adalah hasil import yang terus dipromosikan oleh negara negara asing. Tujuannya tentu saja untuk menjauhkan atau bahkan merusak wanita dari segi agama, akhlak dan keiffahannya. Apalagi besarnya peluang aktivitas yang menghantarkan pada tindak ikhtilat (campur baur) antara laki laki dan perempuan, makin hilanglah rasa malu yang mestinya dimiliki kaum hawa ini.
Perlu diketahui, di Barat sendiri, di negeri yang sudah mantap melakukan pemberdayaan perempuan, mengarahkan perempuan untuk terlibat dengan kehidupan luar termasuk pekerjaan, tengah mengalami kegalauan lantaran meningkatnya jumlah pengangguran laki laki.
Pakar ekonomi bahkan kesulitan mengatasi permasalahan tersebut, atau paling tidak menghentikan lajunya. Sayangnya, kebobrokan yang sudah nyata didepan mata ini justru dibebek oleh negeri muslim kebanyakan. Terkontaminasi lah pemikiran dan gaya hidup perempuan perempuan ini, termasuk keukehnya mereka dalam memperjuangkan kesetaraan gender.
Yang demikian itu, adalah jebakan yang dihadirkan oleh sistem sekuler kapitalis yang memandang perempuan bukan sebagai sosok yang mesti dijaga dan dilindungi, tapi justru dijadikan sapi perah. Mesin penghasil pundi pundi kekayaan. Lebih menyakitkan lagi, sistem ini memaksa perempuan untuk bisa menafkahi diri sendiri, keluarga, bahkan menjadi kontributor materi untuk negara.
Fakta ini tentu berbanding terbalik dengan bagaimana perlakuan Islam terhadap perempuan, dimana mereka senantiasa diayomi dari berbagai sisi. Islam pun mengatur melalui tangan negera untuk menjamin para wali atau suami mendapatkan pekerjaan yang layak dan mencukupi. Tidak akan dibiarkan oleh Islam, negara lepas tanggung jawab dan berlindung di balik kata pemberdayaan karena tingginya martabat wanita.
Jauh panggang dari api. Itulah yang didapat jika manusia, perempuan khususnya masih mempertahankan sistem ini dan mengharapkan buah baik darinya. Cukup Islam, hanya Islam dan selamanya Islam lah satu satunya aturan hidup yang mampu memecahkan segala problematika kehidupan. Termasuk masalah perempuan. [syahid/voa-islam.com]
Kiriman Maya. A, Gresik