Oleh: Siti Rahmah
Duduk di pelaminan menjadi impian banyak orang, apalagi kaum hawa. Bisa duduk bersanding dengan seseorang yang siap memimpin menjadi imam dalam keluarga adalah hal terindah dalam kehidupan. Namun kadang kenyataan tidak seindah impian, pernikahan yang dialami kadang jauh dari mimpi yang selama ini dibangun. Hari yang dinanti yang diharap hanya terjadi sekali dalam seumur hidup, kadang menyisakan pedih tidak terperi.
Perbedaan paradigma pemilihan pasangan antara anak dengan orang tua kadang mewarnai rubuhnya pelaminan impian tersebut. Kadang anak punya mimpi tersendiri dengan rumahtangga yang hendak ia bangun. Sehingga dia persiapkan segala sesuatunya, untuk menghidupkan dongeng kehidupan yang dia impikan. Dia cari calon dengan kriteria yang dianggap cocok untuk membersamainya menjalankan mahligai rumah tangga, sehingga dia berharap dengan itu sakinah bisa dituainya.
Namun di sisi lain orangtua dengan cintanya pada buah hati yang sudah menjelma menjadi gadis yang memikat hati, rupanya punya mimpi tersendiri untuk membahagiakannya. Dipilihkanlah pendamping yang dianggap akan mampu membahagiakan putrinya. Walaupun pilihan itu kadang tidak sejalan dengan harapan putrinya, namun tetap ditempuh dengan berbagai pertimbangan.
Tidak sedikit kaum muslimah yang mengalami kondisi tersebut. Hal ini tentu sangat dilematis. Di satu sisi ada orangtua yang begitu menyayangi anaknya dan siap mengorbankan apapun. Syariat pun menuntut bakti kepada keduanya. Di sisi lain, ada mimpi untuk mewujudkan rumahtangga surgawi dengan pasangan yang memiliki satu visi.
Dalam kondisi tersebut, ketepatan jawaban tentu sangat diperlukan. Ada beberapa tahapan yang bisa ditempuh bila kondisi ini menimpa menimpa diri. Pertama, ketika pilihan itu kian sulit maka lakukanlah istikhoroh, temukanlah cinta di dalamnya. Pilihan orang tua ataupun pilihan kita, biarlah Allah yang memilihkan sesuai dengan ketetapanNya.
Kedua, pilihlah calon atas pertimbangan agama. Jika kita menemukan calon hanya karena nafsu semata, sedangkan orangtua memilih atas pertimbangan agama maka pilihan orangtualah yang harus diterima. Begitu pun sebaliknya, jika pandangan orangtua semata karena harta sedangkan anaknya milih agamanya, maka pilihan anaknyalah yang harus diterima. Karena pertimbangan agama lebih utama sebagaimana sabda Nabi saw; "Jika datang kepada kalian seorang lelaki yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia. Jika tidak, maka akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (HR. Tirmidzi)
Ketiga, jika pilhan orangtua dengan anaknya sama baik maka hendaklah orang tua tidak memaksakan kehendaknya. Seorang gadis berhak diminta izin atau persetujuan atas calon yang diajukan oleh orangtuanya. Sebagaimana sabda Nabis saw, Dari Abu Hurairah, ia menuturkan Rasululloh saw bersabda;
"Seorang janda tidak boleh dinikahkan hingga dimintai perintahnya. Dan seorang gadis tidak boleh dinikahkan hingga dimintai izinnya. Para sahabat lalu bertanya: Wahai Rasululloh bagaimana izinnya? Beliau menjawab , ia diam." (Muttafaq 'alayhi)
Begitulah Syariat menuntun ketika terjadi perselisihan dengan orangtua dalam pemilihan calon. Semoga harapan membangun rumahtangga syurgawi yang dirindukan bisa terpenuhi dengan menempuh langkah-langkah di atas, insya Allah. Perjodohan yang selama ini menjadi momok menakutkan ternyata bisa dicarikan solusi. Pelaminan yang selama ini dirindukan dan dinanti juga bisa dipenuhi. Kapan? Yaitu ketika anak dan orangtua memiliki standar yang sama yaitu menjadikan sudut pandang agama yang utama. Waallahu alam. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google