Oleh: Kaelani Dewi (Member Akademi Menulis Kreatif)
Siang ini saya benar-benar dibuat terhenyak saat akan membayar telur ayam yang saya beli. Harga per kilogramnya sudah menyentuh Rp. 27.000.
Sepintas saya mendapati mimik muka ibu pemilik warung langganan saya menggebalau. Sepertinya ia pun ikut merasakan keterkejutan saya. Sambil memilih dan menimbang telur pesanan saya, ibu pemilik warung pun berkeluh kesah.
Katanya, selain saat ini adalah musim orang menyelenggarakan hajatan, kenaikan harga telur ayam juga disebabkan karena stok telur ayam banyak yang dikirim keluar pulau jawa. Saya hanya mampu bergumam dalam hati. Duh ibu, seandainya saja engkau tahu penyebabnya.
Sebagaimana kita ketahui bersama, beberapa minggu ini telur ayam memang harganya melejit naik. Per kilogramnya saja, yang biasanya berkisar Rp. 17.000 – Rp. 18.000, kini menembus Rp. 27.000, bahkan ada yang sampai Rp. 30.000. (https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4105481/harga-telur-ayam-di-karawang-melonjak-hingga-rp-30000kg).
Tentunya hal ini membuat para ibu yang biasa berkutat di dapur ramai menjerit. Apalagi para pengusaha kue dan makanan. Wah, berapa ya harga martabak dan lumpur kentang favorit saya sekarang.
Pada Mei 2018 yang lalu, Kementerian Pertanian (Kementan) menyatakan kenaikan harga tersebut karena dipengaruhi naiknya harga pakan ternak yang dipicu penguatan kurs dolar AS terhadap rupiah.
"Saya akui (harga) daging ayam dan telur naik karena harga pakan juga naik. Kenapa? karena dolar menguat, harga pakan naik mencapai 100 sampai 150 rupiah per kilogram (kg)," kata Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian Agung Hendriari pada Diskusi FMB 9 di Kementerian Komunikasi dan Informatika Jakarta. (https://bisnis.tempo.co/read/1087864/kementan-penguatan-dolar-picu-harga-telur-dan-daging-ayam-naik).
Betul salihah, melemahnya kurs nilai rupiah terhadap dolar AS telah menyebabkan harga pakan ternak ikut melambung naik. Dikarenakan bahan baku pembuatan pakan ternak, seperti bungkil kedelai hingga tepung daging selama ini didapat melalui jalur impor. Nah, harga bahan baku tersebut sekarang naik seiring penguatan nilai tukar dolar AS terhadap rupiah. Otomatis harga telur ayam pun ikut naik.
Carut marut kenaikan harga ini adalah buah dari diterapkannya sistem ekonomi kapitalis yang dengan jumawanya mengambil kebijakan menggunakan mata uang kertas (fiat money), menerapkan sistem finansial yang berbasis riba, menyemarakkan pasar saham yang bersifat spekulatif, serta liberalisasi perdagangan dan investasi. Hal-hal tersebut tentu nya tidak akan terjadi jika negara ini mengadaposi sistem Islam.
Di dalam Islam, negara wajib mengadopsi standar mata uang emas dan perak. Dengan demikian uang yang beredar baik dalam bentuk emas dan perak, ataupun mata uang kertas dan logam yang ditopang oleh emas dan perak, nilainya ditopang oleh dirinya sendiri. Dengan kata lain, nilai nominalnya ditentukan oleh harga komoditas yang menjadi fisik atau penopangnya (intrinsic value). Kondisi tersebut membuat pemerintah tidak bebas memproduksi uang yang beredar.
Ia hanya dapat menambah jumlah uang subtitusi baik kertas ataupun logam sejalan dengan peningkatan cadangan emas dan perak yang dimiliki negara. Kegiatan spekulasi oleh para spekulan untuk mempengaruhi nilai tukar mata uang negara tersebut menjadi sangat berat. Pasalnya, yang mereka spekulasikan sejatinya adalah emas dan perak.
Untuk aspek finansial, di dalam kehidupan Islampun, riba telah telah diharamkan secara tegas di dalam al-Quran dan as-Sunnah. Oleh karena itu, negara tidak akan mengeluarkan kebijakan atau melakukan tindakan yang mengandung unsur riba seperti melakukan pinjaman ke Bank Dunia atau IMF. Kegiatan bisnis yang mengandung riba baik oleh institusi maupun perorangan dianggap sebagai kegiatan yang ilegal yang pelakunya diberi sanksi oleh negara.
Dalam sistem ekonomi kapitalisme, selain perbankan dan penerbitan obligasi, pasar saham menjadi salah satu sumber modal perusahaan yang berbentuk perseroan terbatas (PT). Perdagangan di pasar ini selain dipengaruhi oleh faktor-faktor yang bersifat fundamental juga dipengaruhi faktor-faktor yang bersifat spekulatif.
Bahkan aspek spekulasi sangat dominan di pasar ini. Dengan adanya liberalisasi investasi, investor dapat menyerbu dengan mudah pasar saham satu negara dan sebaliknya mereka dapat membuat indeks saham negara tersebut anjlok hanya karena suatu isu yang belum pasti.
Sedangkan didalam Islam, perusahaan yang mengeluarkan saham yang diperdangkan di pasar modal yakni perseroan terbatas (PT) itu adalah sesuatu yang dilarang. Sehingga saham yang berasal dari PT juga menjadi haram diperdagangkan. Keharaman PT adalah karena akad (kontrak) pendiriannya bertentangan dengan konsep akad kerjasama bisnis (syirkah) dalam Islam.
Faktor lain yang menjadi penyebab melemahnya rupiah dewasa ini adalah liberalisasi perdagangan dan investasi. Dalam pandangan Islam kebijakan liberalisasi ekonomi diharamkan. Sektor perdagangan luar negeri seluruhnya harus terikat pada hukum syariah dan diawasi oleh negara.
Sebagai contoh, tidak semua negara luar boleh melakukan transaksi perdagangan. Islam melarang hubungan dagang dengan negara-negara yang berstatus kafir harbi fi’l[an], negara yang sedang berkonfrontasi dengan Negara Islam. Barang-barang tertentu yang oleh negara dipandang dapat memperkuat negara-negara kufur dalam memerangi kaum Muslim dilarang untuk diekspor.
Lebih dari itu, Islam mendorong agar negara dapat menjadi negara yang mandiri dan melarang ketergantungan yang dapat mengakibatkan negara-negara kafir menjajah negara tersebut. Oleh karena itu barang dan jasa yang esensial seperti pangan, energi, infrastruktur dan industri berat harus mampu dihasilkan secara mandiri.
Kemandirian dan produktivitas yang tinggi akan mendorong negara menjadi negara eksportir barang dan jasa yang bernilai tinggi. Hal ini tentu saja akan memberikan keuntungan berupa peningkatan cadangan devisa yang dapat dipergunakan dalam banyak hal untuk membangunan kekuatan negara.
Solusi yang tak kalah penting dari kewajiban negara dalam menerapkan mata uang emas dan perak, mengharamkan sistem finansial yang berbau riba, meninggalkan aktifitas pasar saham yang spekulatif, serta meniadakan liberalisasi perdagangan dan investasi, adalah negara juga berkewajiban menjaga ketersediaan barang bagi masyarakat serta mengatur pendistribusiannya supaya tetap lancar di pasaran. Yaitu dengan cara melarang dan menindak para penimbun barang.
Nah salihah, mendiskusikan harga telur yang melejit naik saja, ternyata rentetannya panjang sekali. Begitulah, sepatutnya kita sebagai para ibu yang berkutat di dapur harus melek politik. Harus paham pergolakan politik yang sedang terjadi disekeliling kita.
Membuka wawasan dan pemahaman kita tentang politik seluas mungkin. Sehingga tidak mudah dibohongi saat harga-harga merambat naik. Bagaimanapun juga, harga listrik kita, gas LPG, beras, gula, dan telur, semua adalah hasil dari kebijakan politik.
Di dalam Islam, seorang perempuan mempelajari politik bukan untuk berdesak-desakan berebut kursi kekuasaan, atau melenggang cantik ke Senayan. Politik didalam Islam adalah sebuah aktifitas merawat dan mengurusi umat baik di dalam dan luar negri.
Penguasa mengurusi raakyat, dan rakyat mengawasi serta mensehati penguasa. Jadi rakyat harus paham politik. Sehingga tatkala penguasa menghianati amanah yang ada dipundaknya,dengan membuat kebijakan yang menyengsarakan rakyat serta melanggar hukum syariat, maka rakyat wjib menegurnya.
Dengan melihat semua keterpurukan yang terjadi saat ini, maka sudah sepatutnya para penguasa, untuk tulus bersungguh-sungguh membawa bangsa ini keluar dari bobroknya sistem kapitalis. Yang telah terbukti tidak mampu memberikan solusi yang memuaskan akal dan menentramkan hati.
Sudah saatnya kita kembali menerapkan hukum buatan Allah SWT. Melanjutkan kehidupan Islam, yang sepanjang lebih dari seribu tahun lamanya telah tecatat dalam tinta emas sejarah dunia mampu menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Allah SWT berfirman:
اَفَحُكْمَ الْجَـاهِلِيَّةِ يَـبْغُوْنَ ۗ وَمَنْ اَحْسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكْمًا لِّـقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَ
"Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?" (QS. Al-Ma'idah 5: Ayat 50). [syahid/voa-islam.com]