Oleh: Ragil Rahayu
“Anakku itu lho. Disuruh njemur cucian saja nggak mau. Maunya baju di-laundry saja,” keluh seorang ibu. Pekerja informal, dengan upah tak seberapa. Menghabiskan pagi hingga petangnya di tempat kerja. Punya seorang anak gadis yang seharian di rumah, namun enggan mengerjakan pekerjaan rumah. Si gadis asyik mengusap smartphone dan menatap layar kaca. Jadilah sang Ibu sepulang kerja masih harus mengurusi cucian. Padahal paginya sudah berjibaku dengan masakan dan membersihkan rumah.
Di tempat lain, seorang ibu juga pusing tujuh keliling saat asisten rumah tangganya pamitan pasca lebaran. Karena anak-anaknya buta dalam urusan pekerjaan rumah. Semua terbiasa dilayani. Meski sekadar mencuci piring bekas makannya sendiri. Meski mereka sudah gadis remaja, tak lagi kanak-kanak.
Dua kisah di atas nyata adanya. Banyak terjadi di sekitar kita. Anak gadis yang sudah remaja, atau bahkan dewasa, namun tak tahu urusan sumur. Sumur disini maksudnya adalah urusan pekerjaan rumah. Zaman dulu, anak gadis banyak yang terampil urusan sumur. Bersih-bersih, memasak, mengasuh anak, merawat bayi, membuat kue, menata rumah, dan lain-lain. Meski mereka buta pengetahuan, atau bahkan buta huruf. Karena minimnya akses terhadap sekolah.
Zaman now, anak gadis tak lagi buta huruf. Kesempatan belajar pun terbuka luas. Lewat sekolah maupun jalur informal. Bahkan kursus pada Google pun bisa. Namun, anehnya para gadis kini justru buta sumur. Terbiasa menikmati kemudahan teknologi, hingga enggan menggerakkan tangan dan kaki. Lebih suka duduk selonjor menikmati gawai. Membuat para ibu keki. Mau jadi apa anak gadis ini? Padahal mereka calon ibu. Kelak merekalah pabrik generasi masa depan. Bagaimana jadinya jika ibu masa depan hanya lihai di dunia maya?
Perempuan Pembangun Peradaban
Memanfaatkan teknologi memang sah-sah saja, termasuk teknologi digital. Tapi setiap gadis muslimah hendaknya menyadari bahwa dirinya adalah calon ibu. Tak hanya ibu bagi anak sendiri, tapi ibu generasi masa depan. Maka sejak dini marilah menyiapkan diri untuk menjadi ibu dan pengatur rumah tangga. Muslimah tangguh yang tak tergantung pada kemudahan teknologi.
Karena jalan hidup tak ada seorang pun yang tahu. Kita pasti berharap mendapat kemudahan hidup, namun realitanya tak selalu begitu. Tak ada jaminan di masa depan kita pasti punya asisten rumah tangga, mesin cuci, kulkas, microwave, ricecooker, heater, dispenser, steamer, oven listrik, AC, mobil, dan lain-lain. Maka bersiaplah untuk kondisi tersulit. Agar bila saat itu tiba, kita tak gagap menghadapinya. Seperti para ibu-ibu WNI di Jepang yang kemana-mana harus ngonthel dengan balita di boncengan dan sekeranjang sayuran. Meski jarak pasar cukup jauh. Tak ada catering, tak ada penjual sayur matang yang siap disorder via What’sApp, tak ada penjual sayur keliling. Hanya ada restoran, yang pastinya mahal untuk jadi opsi makan setiap hari.
Tengoklah bangsa besar seperti Jerman. Selepas kekalahan karena perang dunia, para wanitanya memanfaatkan semua yang ada untuk bertahan hidup. Hingga helm tentara digunakan sebagai panci. Dan kayu reruntuhan dijadikan bahan bakar. Nyatanya bangsa ini mampu bangkit dengan cepat, kembali menjadi bangsa berpengaruh.
Tengoklah pula para muslimah Madinah di masa Rasulullah saw. Mereka sangat terampil. Menarik gorden mereka dan dikenakan sebagai khimar, saat syariat itu turun. Mereka juga terampil mengasuh anak. Membuatkan mainan dari benang wol. Agar anak-anak tidak bosan menunggu waktu berbuka puasa.
Simaklah juga kreatifnya Fatimah ra. Yang menumbuk rumput dan “memasaknya” menjadi kue untuk makan Sang Ayahanda saw saat diboikot Quraisy. Fatimah ra yang ketika dewasa menggiling gandum sendiri dengan tangan mulianya. Demi membuat roti untuk makan keluarga. Juga Asma binti Abu Bakar ra. Putri bangsawan yang terampil mengurusi kebun milik suaminya. Tak lupa istri Umar bin Khaththab. Muslimah yang diakui keterampilannya mengurus anak dan rumah tangga. Meski jarang mendapat bantuan dari suaminya. Sang Amirul Mukminin yang sangat sibuk mengurusi umat. Merekalah para muslimah pembangun peradaban besar. Yaitu peradaban Islam.
Menempa Diri Itu Perlu
Marilah kita berguru pada para muslimah itu. Memang zaman mereka dengan kita terbentang amat jauhnya. Namun mereka adalah sosok muslimah yang telah berhasil menghasilkan generasi Islam nan gemilang. Tentu kita ingin menirunya. Dan mendapat kemuliaan layaknya mereka. Meraih jannah karena lelahnya kita berbakti mengurusi anak dan rumah tangga. Bukan semata demi anak yang pintar lucu, bukan pula rumah yang bersih. Tapi demi meraih ridha Allah, bekal menghadap-Nya di hari akhir.
Kini saatnya menempa diri. Stop mager. Stop cuek. Mulai dari menyelesaikan urusan kita sendiri. Mencuci piring bekas makan sendiri, mencuci baju sendiri, mengepel kamar sendiri, mencuci motor sendiri, merapikan kamar sendiri, setrika baju sendiri, mengasuh adik sendiri, dan lain-lain. Meski sulit, meski berat, meski merepotkan. Itu hanya awalnya. Jika sudah terbiasa, justru terasa nikmatnya. Apalagi ada syariat Islam berupa taharah. Para muslimah yang sudah balig harus bisa mandi besar, mencuci pakaian yang terkena najis, membersihkan pembalut bekas pakai, dan lain lain. Jika sudah terampil, beranjak membantu pekerjaan rumah untuk sekeluarga.
Bagi para ibu, perlu mengamalkan “ilmu tega”. Tegalah membiasakan anak bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri. Memberi tugas anak gadis untuk mengepel. Meski kurang bersih. Mengajari anak gadis menanak nasi menggunakan panci, bukan rice cooker. Meski mungkin hasilnya nasi yang terlalu lembek atau terlalu keras.
Tegalah membiarkan anak gadis memotong sayur. Meski kukunya jadi agak kotor karena terkena getah kangkung. Memberi amanah si anak gadis untuk mengasuh adiknya. Dengan berbagai penjelasan keamanan tentunya. Tegalah mengajak anak gadis menyiapkan menu berbuka puasa. Bukan menunggu menu itu siap di meja makan. Tegalah. Semoga para anak gadis kita tumbuh menjadi calon ibu nan salihah dan terampil menjalankan kewajibannya. Insya Allah. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google