View Full Version
Kamis, 20 Sep 2018

Orangtua yang Menebus Dosa dengan Dosa

Manusia hidup dengan masalahnya sendiri-sendiri. Di suatu kesempatan, saat merasa begitu miskin, saya pernah menggumam satu kalimat yang saya curiga tergolong kufur nikmat: takjub dengan kehidupan orang lain yang, kemewahan adalah budaya hidupnya. Namun, setelah saya menyelami kehidupan mereka, memasuki sudut-sudut rumahnya yang semi istana, membuat saya merasa lebih bahagia. Bahagia karena kebahagiaan mereka belum tentu sebahagia kita.

Hari ini mungkin sedang viral hastag #CrazyRichSurabayan. Takjub? Saya tertawa, hahaha. Lucu, gila, macam membaca kisah-kisah jenaka. Padahal cerita-cerita kegilaan itu sudah lama saya temui, di sekeliling pandangan mata saya sendiri. Tapi tetap lucu. Tetap gila. Dan tetap menyedihkan.

Bagaimana tidak menyedihkan? Saya bersaksi, banyak orang yang sukses dalam karirnya tetapi gagal mengurus rumah tangganya. Banyak orang menguasai peta dunia kerjanya tetapi buta peta rumah tangganya. Banyak orang membayar mahal lembaga karir tetapi pelit dan murahan belajar lembaga keluarga. Akibatnya, kewajiban-kewajiban terbengkalai, hak-hak tidak tertunaikan. Lalu timpang di sana-sini cabang-cabang yang mengikutinya. Tidak ada sakinah, kurang ada berkah. Wal-'iyādzu billāh.

Rezeki apa yang melebihi berharganya karunia seorang anak? Tidak ada. Tapi tidak sedikit orangtua yang kurang bisa merawat rezeki itu baik-baik. Kemampuan saya jelas belum terbukti, tetapi saya akan lebih dulu mengecam perbuatan itu seraya berharap Allah memampukan saya, dan kita.

Pernah suatu ketika, dan berulang-ulang suatu ketikanya, seorang anak curhat kepada saya tentang kesedihannya. Sedih karena ia butuh cinta dari orangtuanya. Apakah orangtuanya membenci? Tidak. Ia mendapatkan apa yang dia minta, kecuali kebersamaan, kecuali pengajaran, kecuali keteladanan yang membekas dan menyejukkan dahaga jiwanya.

"Papa pulangnya tidak tentu dari tempat kerjanya," ucapnya datar, hambar. "Sedangkan Mama ikut Papa. Saya ingin seperti teman-teman. Mendapat perhatian dari orangtuanya."

Saya lelaki, tetapi getir menyimak-mendengarnya. Saya kemudian tak bisa membahasakannya sebagai curhat semata-mata, melainkan teriakan seorang anak yang teredam, terendam di dasar telaga. Menggumpal menjadi energi tektonik yang pada saatnya, di batas ambang kulminasi, dapat mengguncang alam sekitarnya. Sehebat-hebatnya. Sedahsyat-dahsyatnya.

Saya saat ini adalah bapak dari dua anak yang tumbuh di usia balita. Saya berjanji, dan tolong ingatkan saya ketika saya ingkar janji, saya tidak akan menebus dosa terhadap anak-anak saya dengan dosa yang baru. Membeli kasih sayang, pengajaran, dan keteladanan dengan fasilitas dan kenyamanan duniawi. Meredam dahaga kejiwaan anak dengan kesenangan yang melalaikan, yang menghancurkan pelan-pelan potensi masa depan. Demi egoisme, demi ambisi saya sebagai orangtua yang kekanak-kanakan!

Ya Rabb, karuniakan kepada kami anak-anak yang termasuk dalam golongan orang-orang shalih. Tetapi, shalihkan kami, ya Rabb. Shalihkan kami sebagai bekal menshalihkan anak-anak kami, keturunan-keturunan kami, yang kami harap dapat membasahi bumi dengan kalimat-kalimat keagungan-Mu, kemaha-besaran-Mu.

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

Saudaramu, Abū Sabeel Mohammad. Ditulis di atas langit, dalam perjalanan menuju Lombok, 17 September 2018.

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version