Oleh: Irah Wati Murni, S.Pd
“Aktivitas kamu sekarang apa? Kamu kerja dimana? Apa! Kamu di rumah saja? Sayang banget gelar sarjanamu kalau pada akhirnya di rumah. Kayak aku dong, jadi perempuan karier berpenghasilan tinggi. Hidupku tidak hanya bergantung pada suami. Mau apa aja terserah aku. Ayo mending kamu bekerja di luar sana, dari pada hanya menjadi ibu rumah tangga saja.”
Itu stigmatisasi negatif orang-orang saat ini terhadap seorang perempuan yang hanya menjadi ibu rumah tangga saja di rumah. Sudah menjadi pandangan umum saat ini, bahwa definisi perempuan sukses ialah seorang perempuan yang mampu mengejar kariernya dan bisa menghasilkan pendapatan sendiri di luar.
Seorang perempuan yang tidak hanya menggantungkan hidupnya pada sosok yang bernama suami dan hanya berkutat dengan urusan sumur, dapur dan kasur saja.
Predikat “Ibu Rumah Tangga” seolah-olah profesi yang rendahan dan tidak berkelas. Apalagi jika ia memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi namun pada ujungnya tidak bekerja atau hanya tinggal di rumah saja menjadi seorang ibu rumah tangga. Sebaliknya, predikat “Wanita Karier” seolah-olah menjadi profesi yang berkelas dan istimewa, entah apakah ia harus rela meninggalkan perannya sebagai ibu rumah tangga ataupun keluarga.
Pandangan perempuan sebagai sosok yang bekerja atau berperan dalam kegiatan ekonomi juga dibahas dalam acara pertemuan tahunan International Monetary Fund (IMF) dan World Bank di Nusa Dua, Bali. Adapun salah satu acara itu terdapat seminar yang bertajuk Empowering Women in the Workplace.
Dalam acara tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan perempuan sangat berperan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di sebuah negara. Karena itu peran perempuan dalam sebuah pekerjaan harus ditingkatkan., demikian dilansir detik. Com, Selasa (9/10/2018).
Dia menambahkan, saat ini di beberapa negara masih banyak yang melarang perempuan untuk bekerja dan mendapatkan penghasilan. Menurut dia banyak hambatan yang dihadapi perempuan untuk menjadi mandiri dan percaya diri.
Lantas, benarkah demikian?
Propaganda “Empowering Women” di atas merupakan salah satu ide feminis yang ide dasarnya menyamaratakan antara laki-laki dan perempuan. Jika laki-laki bisa bekerja di luar, maka perempuan pun harus bisa bekerja di luar. Ide ini awalnya dibawa oleh orang-orang barat, namun kini turut merambah menyebar ke negeri-negeri muslim, meracuni setiap pemikiran perempuan muslim dengan kata-kata “empowering woman” atau memberdayakan perempuan.
Alhasil, banyak perempuan yang terlena atas kata “memperdayakan perempuan” ini dan menganggap bahwa perempuan harus bisa setara dengan laki-laki. Maka jangan heran, jika peran mulianya sebagai seorang ibu rumah tangga itu bisa tergadaikan hanya karena ingin mengejar ambisinya menjadi wanita karier.
Padahal dalam islam, perempuan adalah sosok yang dimuliakan. Bahkan islam memberikan peluang yang sangat besar bagi perempuan untuk berkontribusi aktif di tengah masyarakat, dengan tetap menjunjung tinggi kemuliaan mereka. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala:
“Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.” (QS. An Nisaa : 124)
Secara garis besar peran hakiki perempuan terdapat pada dua ranah, yaitu ranah domestik (keluarga/rumah tangga) dan ranah publik. Pada ranah domestik, peran utama perempuan ada dua macam yakni sebagai ummu wa rabatul ‘bait (ibu manajer rumah tangga) dan ummu ajyal (ibu pencetak generasi).
Peran ummu wa rabatul ‘bait yaitu seorang perempuan memiliki kewajiban sebagai manajer rumah tangga dalam mengurusi suami, anak, dan segala kebutuhan rumah tangga. Sedangkan peran ummu ajyal yaitu seorang perempuan memiliki kewajiban untuk mendidik anak-anaknya untuk dicetak menjadi generasi muslim yang faqih fiddin, shaleh atau shaleha serta dapat memberi manfaat untuk umat.
Di ranah publik, seorang perempuan bukan berarti tidak dapat beraktivitas secara optimal dan produktif. Islam pun mewajibkan bagi kaum muslimin, laki-laki dan perempuan untuk menjadi seseorang yang berpikir politis dan melakukan berbagai aktivitas politis. Tentu, politik di sini adalah politik dalam Islam yakni ri’ayatun syu’unil ‘ummah (mengurusi urusan masyarakat). Hal ini disesuaikan dengan kemampuan perempuan tersebut.
Sehingga jika ada perempuan yang ingin menyalurkan kemampuannya di bidang umum itu maka bisa dilakukan, hanya tentu ia tidak melupakan peran utamanya dalam ranah domestik.
Sementara sosok “Wanita Karier” saat ini, mereka terlalu disibukan dengan aktivitas bekerja di luar rumah, bahkan ia mengabaikan perannya di ranah domestik. Sehingga tidaklah aneh, jika saat ini banyak perempuan yang menitipkan anaknya ke nenek atau tempat pengasuhan anak demi mengejar eksistensinya sebagai wanita karier. Padahal, kelak yang akan dimintai pertanggungjawaban terhadap pendidikan anaknya itu bukan nenek atau tempat penitipan anak tapi ia sebagai orangtua, terlebih sebagai seorang ibu yang memiliki peran mendidik anak.
Bukan hanya itu, terkadang banyak perempuan yang lebih memilih untuk mengejar prestasi tinggi di tempat kerja dari pada kewajibannya di rumah sebagai seorang istri. Sehingga, ia lalai menunaikan kewajibannya kepada suami dan mengurus rumah. Padahal, kelak ia yang akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah atas segala kewajibannya sebagai seorang istri, bukan atasan dalam pekerjaannya.
“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang yang dipimpinnya. Pemimpin negara adalah pemimpin dan ia akan ditanya tentang yang dipimpinnya. Seorang laki-laki adalah pemimpin bagi keluarganya dan ia akan ditanya tentang yang dipimpinnya. Seorang perempuan adalah pemimpin bagi anggota keluarga suaminya serta anak-anaknya dan ia akan ditanya tentang mereka. Seorang budak adalah pemimpin atas harta tuannya dan ia akan ditanya tentang harta tersebut. Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dengan demikian, kerusakan generasi saat ini bisa jadi disebabkan karena banyaknya perempuan yang melalaikan tugas dan kewajiban utamanya sebagai ummu wa rabatul ‘bait dan ummu ajyl. Sebab baik buruknya generasi memang tergantung dari kualitas ibunya dalam mendidik anak.
Maka, benarlah bahwa hanya islam yang bisa mengangkat derajat perempuan menjadi lebih mulia, bukan menjadikan perempuan sebagai target materi atau komoditas pasar yang bisa diperjualbelikan seenaknya. Waallahu’alam. [syahid/voa-islam.com]