Apakah Menikah Harus Dari Ormas Yang Sama?
Viralnya surat cinta untuk akhwat pendukung HTI dari akun GP ANSOR Kota Cilegon cukup menggelitik hati banyak pembaca. Kemudian muncul tulisan yang merespon surat cinta tersebut. Isinya berupa penolakan.
Dari situ kemudian muncul pertanyaan, apakah para aktivis dakwah itu hanya mau menikah dengan anggota ormas atau jamaah yang sama?
Bagi pengemban dakwah menikah merupakan jalan tuk menguatkan keimanan dan gerak dakwahnya. Ada pasangan yang diharapkan mampu membersamainya menjalankan dakwah. Ada yang antar jemput saat ngaji. Ada yang mijetin saat capek habis aksi.
Maka sangat wajar jika dalam benaknya muncul kriteria Muslim, seamaah, baru kemudian diikuti kriteria dan lain-lain saat memilih pasangan hidup. Hanya saja terkadang, apa yang kita rencanakan tak selamanya sesuai dengan kenyataan. Tiba-tiba yang datang berniat mengkhitbah adalah orang yang tak sejamaah. Maka apa yang harusnya dilakukan?
Jika kondisinya demikian, maka ukurlah kemampuanmu. Seberapa siap kalian menikah dengan orang yang tidak sejamaah? Sebab akan ada lebih banyak hal yang harus dibahas sebelum mengambil keputusan. Pastikan tidak ada perbedaan yang sangat mencolok dalam beberapa pemahaman. Misalnya, si perempuan meyakini Khilafah sebagai ajaran Islam sangat relevan untuk sebagai solusi permasalahan umat saat ini. Kemudian, si laki-laki meyakini Khilafah tidak perlu diterapkan dengan berbagai alasannya.
Jika ada perbedaan yang mencolok seperti itu, saran saya proses ta'aruf tidak perlu lanjut. Karena akan menguras banyak energi. Sementara berbagai tantangan dalam kehidupan rumah tangga nantinya juga sudah menanti. Namun, jika perbedaan itu terletak pada konsentrasi garapan dakwahnya, tapi sama pada tujuan akhirnya, maka masih ada peluang proses ta'aruf dilanjutkan.
Misalnya si perempuan dakwahnya pada ranah politis. Membongkar rencana-rencana kaum penjajah di negeri muslim. Kemudian menawarkan solusi penerapan syariat di berbagai lini. Sedangkan yang laki-laki aktif di jamaah yang konsentrasi pada kajian Al-Quran. Mulai dari menghafalnya, pelafalan bacaan yang benar dan seterusnya. Bila ini yang terjadi, insya Allah pernikahan akan semakin penuh warna dan sakinah.
Pada intinya tidak ada larangan untuk menikah dengan orang yang berbeda ormas. Tinggal bagaimana saja keduanya mampu menjalankan visi misi keluarga yang akan dibentuk. Tentu tetap dengan menjadikan dakwah sebagai porosnya.
Apa ada orang yang menikah dengan pasangan beda ormas/jamaah dan rumah tangga mereka baik-baik saja, serta tetap aktif pada jamaah dakwahnya? Ya, ada banyak.
Apakah ada, orang yang menikah dengan sesama jamaah dakwah namun akhirnya memilih mundur dari jamaahnya? Ada, meski tidak banyak.
Dari sini apa yang dapat disimpulkan? Menikah dengan orang beda ormas/jamaah sah-sah saja. Jaminan seseorang tetap istiqamah di jalan dakwah itu bukan sekadar pasangannya yang sejamaah. Menikah dengan orang dari ormas yang berbeda juga boleh. Tentunya dengan segala kematangan yang perlu disiapkan.
Ibarat makan rujak, menikah dengan orang beda ormas itu rasanya lebih beragam. Ada manisnya, pedesnya, asamnya dan asinnya. Apalagi kalau rujaknya jambu mete, ada sepet-sepetnya tapi segernya juga. Tantangan rasanya lebih menggoda. Maka bagi siapa pun yang akan menempuh dan dalam jalan ini, siapkan dirimu. Teruslah berbenah jadi pribadi yang sholihah. Jika tidak, kau tak akan kuat. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google