Oleh: Yati Azim
Lelaki penggoda ini berinisial M, menjabat sebagai kepala sekolah. Ia menggoda Baiq Nuril Maknum, wanita berkeluarga yang juga seorang guru honorer di sekolah yang ia pimpin. M sering menelepon Nuril bukan atas keperluan pekerjaan tapi justru menceritakan kisah percintaannya dengan wanita lain. Buat apa coba? Ish...
Nuril risih. Wajar! Sampai-sampai ada endusan Nuril selingkuh dengan si kepsek. Untuk membuktikan jika tuduhan itu keliru, maka Nuril berinisiatif merekam komunikasinya via telpon.
Wanita yang begini tentunya harus diacungi jempol. Ia punya suami dan anak. Menjaga nama baiknya dan keluarga atas tuduhan selingkuh adalah cara yang tepat agar rumah tangga yang telah dibangun tidak ternoda. Maka rekaman itu bisa menjadi bukti fisik.
Sayang, sampai di sini Nuril tak juga mempunyai keberanian menyebarkan perihal rekaman itu. Apalagi berani tegas sama si kepsek. Tentang kehilangan pekerjaan jauh lebih ia khawatirkan. Ah, inilah hati wanita. Ia seakan pasrah pada pelecehan yang menjatuhkan kehormatannya. Serta tentu masalah lapangan kerjaan yang begitu sempit saat ini. Kebutuhan ekonomi seakan menjepit siapapun.
Suatu hari, hal yang ia sembunyikan rapat-rapat akhirnya pelan tapi pasti disampaikan juga pada rekan kerja sesama guru. Tak menunggu waktu lama, isi pelecehan itu tersebar bagaikan arus yang tak putus-putus. Aib itu terendus. M merasai gerah! Ia pun dinyatakan bersalah.
Nuril berhasil keluar dari sikap bejat sang kepsek. Seseorang yang seharusnya disegani sebagai pimpinan nyatanya menabur racun perusak wanita. Kalau tak cepat, tentu racun itu akan menyebar ke generasi yang M pimpin. Bukan ilmu kebaikan yang dituai, justru bibit kerusakan. Dunia pendidikan kembali berduka. Astaghfirullah!
Sampai disini, M tak mau tercoreng. Ia terus memperjuangkan harga dirinya. Ia mencari celah berdalih lewat jalur hukum. Kesalahan yang seketika berubah menjadi pembenaran. Dan itu nyata, bisa ada di peradilan negeri ini. Hingga Nuril yang pada awalnya tidak bersalah akhirnya menjadi tersangka pencemaran nama baik. Nuril divonis hukuman penjara enam bulan dan denda 500 juta rupiah. Anehnya, tak berapa lama sang kepsek naik jabatan. Lho!
Andaikan Nuril adalah kita? Lalu, apa kita terima vonis dengan begitu saja? Apa yang kita harapkan dari peradilan di negeri kita Indonesia ini?
Hari ini, Allah telah tampakkan lemahnya penerapan hukum dan sistem buatan manusia. Harusnya ini menjadi 'kode' bahwa saatnya kita kembali pada hukum yang telah Allah tetapkan untuk manusia.
'Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?' (TQS Al Maidah ayat 50). Wallahu alam. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google