Oleh: Sri Rahmawati
Dalam acara Women’s Economic Empowerment: The Intersection with Domestic Violence, di @America, Jakarta, Rabu (23/1), Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anak, Yohana Yembise mengatakan perempuan di Indonesia masih belum “aman”. Mereka kerap mendapatkan kekerasan baik secara fisik maupun psikis dalam berbagai lingkungan seperti dalam berumah tangga, berpacaran, maupun dalam lingkungan pekerjaan. Pemberdayaan ekonomi perempuan dinilai sebagai jalan keluar yang tepat. Para perempuan ini memulai industri rumahan dan menghasilkan uang, dan tidak sepenuhnya bergantung kepada suami sebagai kepala keluarga (voaindonesia.com, 24/1/2019). Selain itu, bekerja bagi wanita menjadi salah satu cara untuk aktualisasi diri, mengaplikasikan dan membagikan ilmu, menyebar kebermanfaatan.
“Walaupun papah sudah mapan, mama mau kerja terus. Mama harus berkarya. Mama punya ilmu dan kemampuan. Masa harus jadi ibu rumahan, apakata orang? Ngga kebayang deh bisa stres mama. Capek-capek merintis dari nol hingga menjabat seperti sekarang. Gaji gede, kurang apa lagi mama ini, pah. Masalah anak-anak ngga usah dibikin pusing, lah. Ada si Mbak ini yang urus, atau mereka bisa kita titipin sekali-kali ke neneknya. Masa harus mama juga yang urus semuanya, ...”
Boleh jadi itu hanya terjadi pada saya atau banyak wanita juga merasakan hal yang sama. Wanita yang bekerja itu mulia. Mubah hukumnya. Apalagi didorong tuntutan tangggung jawabnya sebagai orangtua untuk memenuhi kebutuhan anak dan keluarganya. Dicarilah alasan lainnya semisal keterpaksaan, asal halal aktivitasnya, dan tidak menyalahi aturan Islam. Poin utama adalah tidak membuatnya menjadi lalai dalam menjalankan fungsinya mengurusi keluarga, karena mengurus keluarga wajib baginya. Mari kita telaah fenomena kekinian para wanita pekerja yang mulai meninggalkan fitrahnya sebagai ibu dan juga istri.
Menyandang status bergengsi, punya uang sendiri, hidup tidak membosankan, mandiri, cepat kaya, dihormati banyak orang, punya mobil baru, modis, tabarruj karena tuntutan pekerjaan, mengikuti gaya hidup yang serba wah, para wanita diiming-imingi dengan itu semua. Walhasil, wanita merasa gerah berlama-lama berada di rumahnya.
Banyak wanita karir begitu menikmati dunia kerjanya. Secara psikologis beberapa diantara mereka belum siap menghadapi repotnya mengurusi rumah, dapur, suami, anak-anak, dan secara ekonomi mereka dituntut ikut berpartisipasi memenuhi kebutuhan hidup yang mendesak. Bisa jadi tuntutan dan bisikan dari keluarga juga ikut berkontribusi. Biar lebih leluasa bekerja, tidak sedikit wanita karir mempekerjakan lebih dari 1 orang ART di rumahnya.
Apakah anda seperti saya dulu, yang menikmati rutinitas bangun pagi untuk siap pergi meninggalkan keluarga demi uang? Bahkan tak jarang saya pergi hingga berhari-hari atau berminggu-minggu lamanya. Padahal, agama saya, agama kita, Islam, sangat melindungi kaum wanita, berada dalam satu mobil dengan bukan mahromnya saja tidak boleh, apalagi kegiatan safar perjalanan dinas luar kota, antar pulau, atau luar negeri. Tapi, apa yang terjadi sekarang?
Laki-laki dan perempuan bukan mahromnya bebas melakukan safar kemanapun. Jangan ditanya mengenai perilaku pegawai di tempat kerja, mereka mulai acuh dengan kondisi sekeliling, maksiat, korupsi, ghibah, perselingkuhan, saling menjatuhkan, hingga pelecehan seksual yang dibiarkan, semua itu dianggap sesuatu yang biasa-biasa saja.
Mungkin anda yang membaca tulisan saya dari awal tadi merasa biasa-biasa saja. Tidak ada yang salah. Tidak ada yang aneh. Ataukah anda merasa sangat prihatin dan iba dengan kondisi seperti itu? Begitulah potret wanita zaman now, wanita menjauh dari agama karena gencarnya isu-isu feminisme, kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Bahkan oleh pemerintah dijadikan salah satu solusi bagi permasalahan ekonomi keluarga dan kekerasan.
Keluarga seharusnya mendukung wanita untuk kembali pada fitrahnya, dimana orangtuanya sendirilah yang mendidik anak-anaknya, menjadi ibu pencetak generasi yang berkepribadian islam, bukan untuk berkarir setinggi langit. Para suami juga seharusnya tidak membiarkan atau memaksa istrinya menjadi tulang punggung keluarga. Tidak hanya keluarga yang berperan dalam melindungi kaum wanita, tetapi juga lingkungan semestinya mendukung wanita untuk kembali pada fitrahnya.
Kita yang melihat ada tetangga wanita yang sibuk dengan gemerlapnya kehidupan malam semestinya tidak tinggal diam, tapi merangkul dan menasehatinya. Terakhir adalah pentingnya peran negara dalam melindungi kaum wanita, bukan sebaliknya dengan menggiatkan gerakan-gerakan feminisme.
Seorang muslimah itu adalah perhiasan dunia, wanita wajib menjaga kemuliaan dan kehormatan dengan penuh ketaatan pada Robbnya. Wanita dalam Islam tidak dibebani kewajiban mencari nafkah. Ketika belum berkeluarga, wanita wajib dinafkahi oleh orangtuanya. Ketika orangtuanya tidak ada atau tidak mampu, maka walinya yang mengambil alih kewajiban ini. Saat wali pun tak ada atau tak mampu, maka negara yang berperan memenuhi kebutuhannya. Inilah keseriusan Islam menjaga dan memuliakan wanita.
Mari para perhiasan dunia, kembalilah kepada fitrahmu, karena yang ditanya kelak adalah bagaimana engkau membersamai anak-anakmu, melayani suamimu, mengurusi rumahtanggamu, sementara bekerja hanya satu kemubahan bagimu. Peluk iman dan islammu. Karena itulah bekalmu di kehidupan abadi nanti.
Wallahu'alam bish shawab. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google