View Full Version
Selasa, 26 Feb 2019

Menghormati Guru, Mengapa Susah Sekali?

Oleh: Khamsiyatil Fajriyah

Alangkah menyenangkan, melihat murid sangat hormat kepada guru mereka. Di suatu kisah, ketika sang guru hendak berwudhu, sang murid menuangkan air wudu untuk gurunya. Di satu kisah yang lain, juga pernah didapati dua orang murid berebut sandal sang guru, agar beliau bisa dengan mudah memakai sandalnya kembali saat hendak pulang seusai mengajar. Alangkah menyejukkan mata, para murid begitu bergairah menimba ilmu dari sang guru, karena kebersamaannya dengan sang guru adalah kesempatan untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya. Bagi mereka, mendengarkan ilmu dari seorang guru meski sesaat melebihi kenikmatan membaca setumpuk buku.

Pada masa itu, seorang guru tidak dinilai karena bagus pakaiannya. Seorang Atha' bin Abi rabah adalah orang yang berpenampilan fisik sangat sederhana, dengan kulit hitam dan pakaian seadanya yang menunjukkan kemiskinannya. Tetapi karena keluasan ilmunya, dia dipilih oleh Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik dan puteranya sebagai tempat bertanya, menimba ilmu darinya. Bahkan beliau berpesan kepada puteranya untuk selalu bertaqwa dan mencari ilmu, karena tidaklah pernah Sulaiman bin Abdul Malik merasa hina di hadapan manusia, kecuali di hadapan Atha' bin Abi Rabah. Itu karena keluasan ilmu dan keikhlasannya dalam mengajarkan ilmu yang dimiliki.

Begitulah, Islam dengan penerapannya di bawah sistem Khilafah menghormati guru. Dua kisah tersebut sebagai contoh bagaimana Islam dengan sistem Khilafah memperlakukan guru.

Syahdan, adalah kisah putera Al Makmun dan putera Harun Ar Rosyid. Kedua Khalifah ini disamping menghormati guru dengan besarnya gaji, keduanya juga berhasil mendidik putera-puteranya dan masyarakatnya untuk menghormati guru. Sistem ini berhasil menciptakan manusia-manusia yang menghormati ilmu dan pemiliknya. Sungguh, hanya dengan ilmu manusia menjadi beradab dan karena pengajarnya, ilmu bisa menghantarkan generasi yang mencintai kemuliaan hidup dan berjuang untuk terus menjaga keberlangsungannya.

Guru dan Murid Masa Kini

Sangat jauh bila melihat apa yang terjadi dengan hubungan antara guru dan murid saat sekarang. Entah mulai sejak kapan gejala rusaknya hubungan ini, yang jelas sekarang nampak semakin parah. Kalau dulu di generasi X, Y, dan Z, sikap melecehkan guru biasanya dilakukan dengan menirukan gaya guru di belakang beliau, sekarang sudah berubah gaya tetapi semakin parah. Seperti yang terjadi beberapa waktu yang lalu, ada murid SMP menantang gurunya, murid memukul guru, murid memperkarakan guru, bahkan murid membunuh guru. Pelakunya memang hanya beberapa murid, tetapi mereka didukung penuh oleh teman-teman mereka dengan sorak sorai di belakangnya atau membiarkan aksi kurang ajar ini berlalu begitu saja.

Pakar pendidikan berpendapat bahwa rusaknya moral anak-anak kita dimulai dari keluarga mereka. Hal ini tidak sepenuhnya salah, tetapi menuding hanya orangtua yang bertanggungjawab atas kegagalan ini,  jelas jauh dari akar persoalan dan tidak akan menyelesaikan masalah. Karena moral anak-anak kita adalah hasil pendidikan dari semua pihak, orangtua, sekolah, masyarakat, dan negara dengan sistem pendidikan yang diberlakukan. Dan sebenarnya, dengan sistem pendidikan yang diadopsi oleh negara ini berjalanlah pendidikan di sekolah, di masyarakat, juga di rumah.

Sistem pendidikan kita berjalan di atas kehidupan sekular, maka tidaklah mengherankan agama tidak akan pernah dijadikan standar, termasuk dalam hal menghormati guru. Jelas tercermin pada saat menteri pendidikan menyikapi kasus murid menantang guru yang terjadi beberapa saat yang lalu. Dengan entengnya beliau menanggapi bahwa seharusnya sang guru berpenampilan lebih menarik, agar terlihat berwibawa di hadapan murid-muridnya. Solusi seperti ini jelas lahir karena memang dalam sistem pendidikan sekular tidak ada konsep pahala, ridlo Allah, juga adab atau moral dalam menimba ilmu.

Anak-anak kita dibesarkan dan dididik dengan konsep kebebasan seperti yang digagas oleh Jean Jacques Rousseau, seorang filsuf Perancis yang menginspirasi lahirnya sistem politik Demokrasi dan pemikiran edukasi modern dengan kebebasan di Eropa pada tahun 1770an. Pemikiran ini yang menjadi dasar sistem pendidikan dan kurikulum pendidikan negara-negara di dunia, termasuk di negeri kita. Dilengkapi oleh seperangkat hukum dan undang-undang yang melindungi anak-anak kita berperilaku bebas, termasuk bertindak tidak patut kepada guru-guru mereka. Konsekuensi rusaknya moral generasi sudah kita terima, janji lahirnya generasi cerdas dari sistem ini masih sekadar menjadi harapan. Dengan begitu, masihkah kita terus berangan-angan kosong dari sistem sekular ini? (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google

 


latestnews

View Full Version