Oleh: Ragil Rahayu, SE
Kehormatan perempuan adalah mahkotanya. Mahkota yang akan dijaga hingga saatnya tiba, diserahkan pada kekasih halal dengan segenap keridhoan. Namun saat ini sungguh sulit menjaga mahkota ini. Kehormatan perempuan terenggut secara paksa melalui kekerasan. Kasus kekerasan seksual kian hari terus meningkat. Tak hanya menimpa perempuan dewasa, namun juga anak-anak. Predator seksual berkeliaran di sekitar kita. Membuat orang tua was-was akan kehormatan Si Upik. Pelaku kekerasan seksual juga bukan orang asing, melainkan orang dekat, yakni keluarga. Rumah seolah tak lagi memberi rasa aman dari kejahatan seksual.
Masih segar dalam memori kita kasus AG (18) di Lampung. Penyandang disabilitas ini menjadi korban incest oleh ayah, kakak, dan adik kandungnya sendiri. Konon tindakan bejat itu telah dilakukan sejak 2018. Sementara itu di Jambi, WA (15) seorang remaja putri diperkosa hingga hamil oleh kakak kandungnya, AA (18). Di Yogyakarta, Agni, seorang mahasiswa Universitas Gajah Mada (UGM) mengalami kekerasan seksual dari rekannya saat menjalani program Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Pulau Seram, Maluku.
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) merilis catatan tahunan (catahu) pelaporan kekerasan seksual sepanjang tahun 2018 sebanyak 406.178 kasus. Jumlah ini meningkat 14% dari tahun sebelumnya. Merespon tingginya kasus kekerasan seksual, saat ini DPR tengah membahas RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Namun banyak pihak menolak RUU ini karena sarat nilai liberal. Bukannya menyelesaikan kasus kekerasan seksual, RUU ini disinyalir akan menumbuhsuburkan seks bebas.
Maraknya kasus kekerasan seksual disebabkan oleh makin bebasnya interaksi laki-laki dan perempuan. Aurat bertebaran dimana-mana, pornografi merajalela, pacaran yang makin mengkhawatirkan, provokasi hidup bebas dari media, serta aturan yang sangat longgar terkait zina. Begitu banyak godaan syahwat di sekitar kita. Sehingga mendorong pelampiasan nafsu seketika. Bagi yang tak kuat iman, dilampiaskan dengan segala cara, termasuk memperkosa. Perempuan menjadi korban buruknya sistem pergaulan di masyarakat.
Interaksi laki-laki dan perempuan yang demikian bebas terjadi seiring dengan ekspor gaya hidup bebas ala barat ke negeri-negeri muslim. Budaya malu sebagai bagian dari iman seorang muslim telah terkikis hingga tipis. Muslimah tak malu menampakkan keelokannya. Laki-laki muslim tak malu menikmati aurat selain istrinya. Budaya malu diganti budaya eksis. Aurat ditampakkan, demi eksis. Bahkan ketiak yang seharusnya disembunyikan pun kini tak malu untuk dipamerkan. Tak hanya pada satu dua orang, tapi pada seluruh dunia melalui media sosial. Selama kebebasan masih menjadi ruh pergaulan di tengah masyarakat, selama itu pula kekerasan seksual terus terjadi. Angkanya diprediksi makin meningkat di tahun-tahun mendatang. Lalu sampai kapan mahkota perempuan terus terancam direnggut paksa? Siapakah pelindung mahkota perempuan?
Perempuan Terhormat dengan Islam
Kaum perempuan pernah merasakan indahnya hidup dilingkupi rasa aman. Saat itu, ketika satu muslimah diganggu oleh orang usil, penguasa akan mengirimkan sejumlah besar tentara untuk melindunginya. Inilah kehidupan di dalam sistem khilafah Islam. Dalam khilafah, perempuan wajib menutup aurat dan lelaki harus menundukkan pandangan. Kehidupan keduanya terpisah sehingga hanya berinteraksi jika ada keperluan yang dibenarkan agama.
Khilafah mendorong para lajang yang telah siap untuk menikah, para suami boleh berpoligami dan para lajang yang belum siap menikah diarahkan berpuasa. Sehingga nafsu seksual terkelola dengan baik, tidak diumbar pemenuhannya pada yang haram. Dalam khilafah praktik prostitusi dihapuskan. Baik yang terang-terangan maupun yang temaram. Pornografi dan pornoaksi dilarang. Hasilnya adalah perempuan di masa khilafah sangat terjaga kehormatannya.
Ada sebuah kisah nyata yang menggambarkan terhormatnya perempuan dalam sistem khilafah. Pada masa Khalifah al-Mu’tashim Billah, seorang perempuan menjerit di negeri Amuria karena dianiaya dan dia memanggil nama Al-Mu’tashim, jeritannya didengar dan diperhatikan. Dengan serta-merta Khalifah al-Mu’tashim mengirim surat untuk Raja Amuria “…Dari Al Mu’tashim Billah kepada Raja Amuria. Lepaskan wanita itu atau kamu akan berhadapan dengan pasukan yang kepalanya sudah di tempatmu sedang ekornya masih di negeriku. Mereka mencintai mati syahid seperti kalian menyukai khamar…!”Singgasana Raja Amuria bergetar ketika membaca surat itu. Lalu perempuan itu pun segera dibebaskan. Kemudian Amuria ditaklukan oleh tentara kaum Muslim.
Demikian berharganya kehormatan seorang perempuan dalam khilafah. Hal ini kontras dengan nasib perempuan sekarang di era kapitalisme. Perempuan diposisikan sebagai produk yang bernilai jual tinggi. Wajahnya, rambutnya, kulitnya, tubuhnya dan bahkan kesuciannya semua dinilai dengan uang. Kecantikan perempuan diekspos habis-habisan. Namun, saat kekerasan seksual terjadi, perempuan menjadi korban. Merasakan nestapa berkepanjangan karena tercerabutnya kehormatan dan kemuliaan. Perempuan tak boleh diam atas maraknya persoalan ini. Saatnya bangkit dan mewujudkan solusi, sang penjaga kehormatan perempuan yaitu khilafah. Wallahu alam. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google