View Full Version
Selasa, 23 Apr 2019

Pangan Murah untuk Emak

 

Oleh:

Nor Aniyah, S.Pd, Pemerhati masalah sosial dan generasi tinggal HSS, Kalsel

 

MAYORITAS harga kebutuhan pangan menanjak pada awal pekan Maret lalu. Kenaikan tertinggi terjadi pada harga bawang merah sebesar 5,92 persen atau sebesar Rp 2.000 per kilogram (kg) menjadi Rp 35.800 per kg. Selain bawang merah, harga bawang putih juga meningkat 2,23 persen atau Rp 700 per kg menjadi Rp 32.050 per kg. Sementara harga cabai merah besar naik 4,03 persen atau Rp 1.250 per kg menjadi Rp 32.300 per kg.

Lalu harga cabai merah keriting naik 2,14 persen atau Rp 600 per kg menjadi Rp 28,700 per kg dan cabai rawit merah naik Rp 150 per kg menjadi Rp 38.500 per kg. Kenaikan harga juga terjadi pada minyak goreng kemasan bermerk 1, gula pasir premium, dan gula pasir lokal masing-masing menjadi Rp 50 per kg. Harga minyak goreng menjadi Rp 14.350 per kg, gula kualitas premium Rp 14.750 per kg, dan gula pasir lokal Rp 12.050 per kg (m.cnnindonesia.com, 25/03/2019).

Kenaikan bawang merah dan bahan pangan lainnya akan menimbulkan dampak kenaikan harga lainnya. Apalagi menjelang bulan Ramadan. Ibu rumah tangga adalah pihak yang paling merasakan dampak kenaikan pangan. Emak-emak pun dibuat marah dan gerah.

Krisis pangan yang menerpa negeri sudah berulang kali terjadi. Negara agraris yang mayoritas penduduknya hidup dari bercocok tanam dan memiliki lahan pertanian luas justru menghadapi masalah serius dalam situasi pangan. Di berbagai wilayah misalnya, lahan dialihfungsikan untuk membangun perumahan, kawasan industri, hotel dan berbagai infrastruktur lainnya. Maka alih fungsi lahan ini menjadi salah satu penyebab berkurangnya ketersediaan pangan.

Salah urus pemerintah dalam sektor pangan tampak dalam rendahnya pasokan dalam negeri serta ketidakmampuan pemerintah dalam menjaga kestabilan harga. Program swasembada hanyalah isapan jempol semata. Sementara permainan kartel benar-benar telah membuat harga terus melambung tinggi. Kenaikan harga BBM, privatisasi sektor-sektor yang menguasai hajat hidup masyarakat semisal kesehatan, listrik, air dll adalah contoh kebijakan-kebijakan pro kapitalis, di bawah dikte WTO, IMF dan Bank Dunia, telah membawa dampak pada ekonomi masyarakat.

Carut marutnya kondisi pangan kini merupakan akibat dari politik ekonomi Kapitalisme-neoliberal yang telah diterapkan penguasa saat ini. Bergejolaknya harga kebutuhan pokok pada dasarnya disebabkan oleh tidak tercukupinya pasokan ke masyarakat dan macetnya distribusi. Padahal, ketahanan sebuah negara tidak hanya diukur dari kekuatan militernya, tetapi juga dari ketahanan pangan. Berbagai kebijakan ekonomi pro kapitalis-liberal, kini memiskinkan rakyat secara struktural.

Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia yang wajib dipenuhi per individu. Maka, harus ada kebijakan dalam penguasa dalam menyelesaikan kenaikan harga pangan. Yakni, agar masyarakat dapat mengakses pangan dengan harga terjangkau dan kesejahteraan petani dapat terlindungi. Perhatian penguasa harus dicurahkan untuk mengoptimalisasikan pengelolaan pertanian agar kebutuhan pangan rakyat terpenuhi. Kebijakan pangan negara pun harus dijaga dari unsur dominasi dan dikte negara asing.

Ketersediaan pangan yang dimaksudkan adalah tersedianya stok pangan memadai untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat. Sementara keterjangkauan pangan adalah tersedianya pangan secara merata di semua wilayah dengan tingkat harga yang wajar. Ketersediaan pangan itu erat kaitannya dengan produksi pangan. Sedangkan keterjangkauan pangan erat kaitannya dengan distribusi dan keseimbangan supply dan demand.

Syariah Islam sangat memperhatikan upaya untuk meningkatkan produktivitas lahan. Selanjutnya, siapapun yang memiliki tanah, jika ditelantarkan tiga tahun berturut-turut maka hak kepemilikannya atas tanah itu hilang. Selanjutnya tanah yang ditelantarkan pemiliknya itu akan diambil oleh negara dan didistribusikan kepada rakyat yang mampu mengolahnya.

Syariah Islam juga menjamin terlaksananya mekanisme pasar yang baik. Negara wajib memberantas berbagai penimbunan, kanzul mal, riba, monopoli, dan penipuan. Negara juga harus menyediakan informasi ekonomi dan pasar sehingga meminimalkan terjadinya kecurangan pelaku pasar mengambil keuntungan secara tidak benar.

Islam tidak membenarkan penimbunan dengan menahan stok agar harganya naik. Abu Umamah al-Bahili berkata: “Rasulullah Saw melarang penimbunan makanan” (HR al-Hakim dan al-Baihaqi). Jika pedagang, importir atau siapapun menimbun, ia dipaksa untuk mengeluarkan barang dan memasukkannya ke pasar. Jika efeknya besar, maka pelakunya bisa dijatuhi sanksi tambahan sesuai dengan kebijakan negara.

Jika terjadi ketidakseimbangan supply dan demand (harga naik/turun drastis), negara melalui lembaga pengendali, segera menyeimbangkannya dengan mendatangkan barang dari daerah lain. Inilah yang dilakukan Khalifah Umar Ibnu al-Khatab ketika di Madinah terjadi musim paceklik. Ia mengirim surat kepada Abu Musa Radhiyallahu ‘anhu di Bashrah yang isinya: “Bantulah umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ! Mereka hampir binasa.” Setelah itu ia juga mengirim surat kepada ‘Amru bin Al-‘Ash Radhiyallahu ‘anhu di Mesir. Kedua gubernur ini mengirimkan bantuan ke Madinah dalam jumlah besar, terdiri dari makanan dan bahan pokok berupa gandum. Bantuan ‘Amru Radhiyallahu ‘anhu dibawa melalui laut hingga sampai ke Jeddah, kemudian dari sana dibawa ke Mekah (Lihat: At-Thabaqatul-Kubra karya Ibnu Sa’ad, juz 3 hal. 310-317).

Inilah mekanisme pasar yang diajarkan oleh Islam. Ditopang dengan perdagangan yang sehat, tidak ada monopoli, kartel, mafia, penipuan dan riba yang memang diharamkan dalam Islam, maka hasil pertanian dapat terjaga. Produktivitas tetap tinggi, harga pangan terjangkau, sehingga negara bisa swasembada pangan. Niscaya kestabilan harga pangan dapat dijamin, ketersediaan komoditas, pertumbuhan serta kestabilan ekonomi dapat diwujudkan. Dan para emak, bisa memenuhi kebutuhan pokok keluarga dengan bahagia.**


latestnews

View Full Version