View Full Version
Senin, 17 Jun 2019

Busana Cermin Takwa

SENTIMEN negatif kembali disuarakan oleh seorang dosen di universitas NU Yogyakarta yang menyampaikan bahwa, “Pakaian Islam nusantara, berkebaya tanpa jilbab harus dikembangkan.”

Seruan ini senada juga dengan seorang pegiat sosmed yang mengunggah “Gerakan nasional kembali ke busana Nusantara, No Look Arab, this is Indonesia...”

Seruan tersebut tentu saja mengusik ketenangan umat Muslim, pasalnya mereka sangat tendensius menganggap cara berbusana Muslim dan Muslimah di Indonesia hanya karena budaya Arab semata.

Munculnya seruan semacam ini terjadi karena doktrin sekularisme yang semakin hari semakin kuat, berusaha mengikis akidah umat Muslim agar menerima ide sesat dan menyesatkan ini. Lambat laun masyarakat terutama kaum Muslim dipaksa menerima bahwa Islam yang benar adalah yang sesuai arahan mereka.

Betul sekali, gaya berbusana masyarakat Indonesia sangat dipengaruhi oleh adat budaya setempat dan agama yang dianut, dari waktu ke waktu telah mengalami perubahan. Jadi baju adat Nusantara sendiri pada dasarnya tidak bisa diklaim busana asli karena sudah berubah dari bentuk asalnya.

Padahal, Islam memandang bahwa kebudayaan atau adat selama dia tidak bertentangan dengan hukum syara maka boleh dilakukan. Namun, jika budaya atau adat tersebut bertentangan dengan syara maka wajib kita tinggalkan, termasuk dalam hal berbusana, Islam telah ada aturan tersendiri yang khas.

Sangat jelas sekali, kewajiban berbusana  bagi kaum Muslimah telah diterangkan dalam firman Allah SWT Qur’an surah Al-Ahzab ayat 59 yang artinya, “Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan wanita-wanita (keluarga) orang-orang Mukmin, agar mereka mengulurkan atas diri mereka (ke seluruh tubuh mereka) jilbab mereka.

Begitu juga, perintah mengenakan kain kerudung terdapat dalam surah An-Nur ayat 31 yang artinya, ”Dan hendaklah mereka sampaikan kudungnya ke leher (tutup kepalanya sampai ke leher dan dadanya) dan tiada memperlihatkan perhiasannya (tubuhnya), kecuali kepada suaminya, bapanya, bapa suaminya, anak-anaknya, anak-anak suaminya, saudara-saudaranya, anak-anak saudara lelaki, anak-anak saudara perempuannya, sesama perempuan Islam, hamba sahaya kepunyaannya, lelaki yang menjalankan kewajibannya tetapi tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan – umpamanya pelayan-pelayan lelaki yang sudah tua dan tiada lagi mempunyai keinginan kepada perempuan) dan kanak-kanak yang belum mempunyai pengertian kepada aurat perempuan. Dan janganlah mereka pukulkan kakinya, supaya diketahui orang perhiasannya yang tersembunyi (misalnya melangkah dengan cara yang menyebabkan betisnya terbuka atau perhiasan seperti gelang/rantai kakinya nampak). Dan taubatlah kamu semuanya kepada Allah, hai orang yang beriman, supaya kamu beruntung.”

Maka, ketika kaum Muslimah mengenakan jilbab dan kerudung serta tidak tabaruj, akan menjadikan mereka lebih mudah dikenal (sebagai para wanita muslimah yang terhormat dan merdeka), sehingga mereka tidak diganggu, karena Allah SWT senantiasa Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Ketika kita sudah meyakini Islam sebagai agama kita, maka konsekuensi keimanan adalah tunduk dan patuh pada semua perintah Allah dan menjauhi semua yang dilarang. Terlihat dalam perbuatanya. Sebagaimana firman Allah SWT menegaskan kembali  dalam surah Al Ahzab  ayat 36 yang artinya, “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang Mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang Mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya dia telah sesat, dengan kesesatan yang nyata.”

Jadi, ketika budaya dibenturkan dengan keyakinan agama, maka sudah jelas mana yang akan kita ambil sebagai pedoman untuk dilaksanakan. Seorang Muslimah yang menutup auratnya bukan berarti dia mengambil budaya Arab, akan tetapi konsekuensi dalam keimanan dan cermin ketakwaan.*

Ndarie Rahardjo

Guru Paud tinggal Depok, Jawa Barat


latestnews

View Full Version