Oleh:
Aishaa Rahma
KELUARGA merupakan institusi tertua yang tidak ada gantinya dalam membangun masyarakat. Keluarga juga merupakan hal yang penting dalam sebuah tatanan negara. Sebagai struktur terkecil dalam masyarakat, keluarga menjadi tulang punggung bangsa dalam melahirkan SDM yang berkualitas. Masyarakat tidak akan baik kecuali dengan bangunan keluarga yang baik, dan bila keluarga bermasalah, maka berdampak pula pada kehidupan berbangsa dan bernegara.
Melansir dari Banjarmasin post.id, momentum Hari Keluarga Nasional (Harganas) ke-26 tahun ini, rupanya disambut gembira oleh Gubernur Kalimantan Selatan, Sahbirin Noor. "Ingat bumi kita ini stagnan, dia tidak berubah, tidak akan bertambah luas. Tanah yang ada dimanfaatkan oleh warga bumi dan semakin berkurang karena populasi manusia yang selalu bertambah. Salah satu upaya untuk meminimalkan, kita melaksanakan program Keluarga Berencana." ujarnya di sela-sela pertemuan dalam rangka persiapan Harganas XXVI di Kota Banjarbaru, Kalsel, Selasa (29/1).
Ia pun mengajak seluruh keluarga se-Kalsel untuk menjaga dan membangun daerah mulai dari keluarga. "Mari kita jaga dan pelihara dan kita awali mulai dari rumah sendiri, untuk membangun suatu masyarakat sejahtera lahir dan batin dan tetap memagang teguh pada 'dua anak cukup'," lanjut Sahbirin.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, tepat 29 Juni mendatang, bangsa Indonesia akan kembali memperingati Hari Keluarga Nasional (Harganas). Ini merupakan peringatan yang ke-26 kali sejak Harganas diselenggarakan pertama kalinya pada 1993 lalu. Mengambil lokasi di Kota Banjarbaru, puncak peringatan Harganas XXVI 2019 secara nasional akan digelar pada awal Juli 2019. Tema Harganas tahun ini ialah 'Hari Keluarga, Hari Kita Semua', dengan slogan 'Cinta Keluarga, Cinta Terencana'.
Paman Birin, sapaan karib Gubernur Kalsel, mengajak seluruh masyarakat Kalsel untuk 'bergerak' dan jangan 'koler' (malas) dalam menyukseskan perhelatan Harganas. Provinsi inipun siap menerima kunjungan sekitar 12.000 tamu saat berlangsungnya acara akbar tersebut. (Tribunnews.com). Berbagai kegiatan akan digelar dalam mewarnai peringatan Harganas, baik pra-puncak peringatan maupun pasca acara. Adapun tujuan dari peringatan ini ialah meningkatkan kesadaran dan peran serta masyarakat terhadap pentingnya keluarga kecil, bahagia, dan sejahtera dalam kerangka ketahanan keluarga, meningkatkan pemahaman masyarakat dalam penerapan 8 fungsi keluarga: agama, cinta kasih, perlindungan, ekonomi, pendidikan, reproduksi, sosial, dan budaya, serta lingkungan. Selain itu mewujudkan penerapan 4 pendekatan ketahanan keluarga: keluarga berkumpul, keluarga berinteraksi, keluarga berdaya, serta keluarga peduli dan berbagi. (Beritasatu.com)
Harganas dan isu pemberdayaan wanita
Banyak yang mengatakan bahwa kini adalah era womens power. Jaman dimana kaum wanita memiliki kekuatan dan kekuasaan. Silakan tengok, banyak wanita yang memiliki posisi kuat di tengah masyarakat, di sejumlah perusahaan besar, peradilan hingga pemerintahan.
Di penghujung tahun 2011 majalah dan situs Forbes, meluncurkan daftar 50 world's most powerfull women 2010. (www.Forbes.com/wealth/power-women/list). Beberapa nama yang berada di daftar 10 besar adalah politisi dan pengusaha. Di posisi teratas ada Hillary Clinton yang menjabat Menlu AS, kanselir Jerman Angela merkel, Irene Rosenfeld yang menjabat chief executive Kraft Food, Oprah Winfrey, Gail Kelly chief executive Westpac, dsb.
Di Indonesia, kaum wanita juga sudah menduduki sejumlah jabatan penting. Semenjak era reformasi, kaum hawa memang mulai berkiprah lebih luas di bidang politik. Megawati adalah wanita pertama yang menjadi kepala negara di negeri ini. selanjutnya sejumlah parpol mengusung wanita sebagai calon kepala daerah mulai dari akademisi hingga selebriti. Menurut lembaga survei Indonesia (LSI) hingga Desember 2016 saja ada lebih dari 70 wanita yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Sebut saja nama Khofifah Indar Parawansa yang berhasil memenangkan posisi Gubernur pada bursa calon kepala daerah.( Tirto.id 28/6/2018)
Kondisi ini mungkin sulit bahkan mustahil diambil kaum wanita beberapa puluh tahun silam. Setelah gagasan women's lib bergerak, banyak wanita yang kemudian mendapatkan posisi yang sama dengan kaum pria di sektor publik. Gerakan yang kemudian dikenal di tanah air dengan emansipasi, membuka sejumlah kesempatan bagi kaum hawa semisal pendidikan lebih tinggi dan beraktualisasi lebih luas di sektor publik.
Berbagai propaganda dan jargon manis yang dilontarkan para feminis, semisal 'hanya perempuan yang tahu persoalan perempuan', 'anak lelaki dan anak perempuan adalah sama, jangan dibeda-bedakan' membuat gerakan emansipasi disambut kompita di berbagai negara termasuk di tanah air. gerakan ini membuat banyak wanita percaya bahwa mereka selama ini tertindas dan harus bangkit melawan hegemoni kaum pria, merebut kembali hak mereka dan berlari sama kencang dengan kaum pria.
Persoalan berikutnya, apakah lantas kebebasan ini memberikan kehidupan yang lebih baik bagi kaum wanita, seperti yang dicita-citakan kaum feminis? Benarkah para wanita mendapatkan apa yang mereka impikan saat bisa berkiprah lebih luas disektor publik? Nampaknya perjalanan waktu justru memberikan pelajaran penting dan teramat mahal kepada kaum wanita dan anak-anak mereka, yang justru kontra produktif untuk pencapaian ketahanan keluarga yang selalu dicanangkan oleh negara, bahkan diperingati saban tahun. Sadarkah kita ?
Mahluk Kelas Dua?
Munculnya gerakan feminis didasari pada ketidakpuasan kaum wanita atas pemasungan hak-hak mereka. Umumnya, di hampir seantero dunia kaum perempuan menjadi warga negara kelas dua. Mereka tidak punya hak untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi dan berkiprah di sektor publik. Di bidang politik, hak-hak mereka sama sekali tidak diakui. di Swedia wanita baru memiliki hak pilih pada tahun 1771, itupun jika mereka membayar pajak serikat pekerja. Sedangkan di Amerika serikat kaum wanita baru boleh ikut pemilu secara luas pada tahun 1920. Maka tidak heran gerakan ini semakin kencang.
Gelombang feminisme di Amerika serikat mulai lebih keras bergaung pada era perubahan dengan terbitnya buku the feminine mystique yang ditulis oleh Betty friedan di tahun 1963. Buku ini ternyata berdampak luas, lebih-lebih setelah Betty friedan membentuk organisasi wanita bernama National Organization for Women (NOW) di tahun 1966, yang kemudian gemanya merambat hingga ke segala bidang kehidupan.
Sayangnya, sejumlah orang secara keliru dan mungkin sengaja, sering menyatakan bahwa Islam telah menciptakan penindasan kepada kaum perempuan. Faktanya, penindasan terhadap kaum perempuan sebenarnya adalah warisan budaya masa lampau pra Islam, khususnya Yunani dan Romawi. di masa itu perempuan hanya dipandang sebagai alat penerus generasi dan semacam pembantu rumah tangga serta pelepas nafsu seksual lelaki.
Filosof Demosthenes berpendapat istri hanya berfungsi melahirkan anak. Aristoteles menganggap perempuan sederajat dengan hamba sahaya. filosof Plato menilai, kehormatan lelaki pada kemampuannya memerintah sedangkan kehormatan perempuan adalah pada kemampuannya melakukan pekerjaan-pekerjaan yang sederhana dan hina sambil terdiam tanpa bicara. (Republika, 08/03/2009). Gagasan-gagasan di atas berakhir dengan kesimpulan, bahwa perempuan memiliki jiwa, tapi tidak kekal. Dan dia bertugas melayani lelaki sekaligus bebas diperjualbelikan. Semua topik dan perbincangan tentang kaum wanita menempatkan wanita sebagai makhluk kelas dua bahkan selevel dengan binatang.
Karenanya, gagasan yang ditulis oleh Friedan menjadi amat memikat bagi kaum hawa. Dimanapun, pengakuan akan kehormatan dan harga diri adalah hal yang amat esensial bagi setiap manusia, termasuk bagi perempuan. Dari sinilah awal emansipasi dan gerakan pembebasan wanita bergulir.
Di negara-negara Barat, kaum wanita berbondong-bondong mulai berkiprah di sektor publik. Memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan bekerja membanting tulang dan meniti karir di dunia industri layaknya laki-laki. Di bagian yang terakhir ini berarti banyak wanita menjadi pekerja, melepaskan sebagian peran mereka dalam keluarga sebagai seorang istri dan ibu bagi anak-anaknya. Semua yang dipandang tidak lagi menjadi persoalan untuk sebagian perempuan. Sebab doktrin feminisme mengajarkan bahwa pola pengasuhan dan pendidikan anak bukan saja urusan kaum perempuan, tapi juga kamu lelaki. Seiring kian banyaknya kaum Ibu muda yang keluar rumah untuk bekerja, tumbuh subur pula alternatif pengasuhan dan pendidikan anak mulai dari baby sitter, playgroup, hingga sekolah yang menawarkan program full day school hingga boarding school bagi anak pra baligh. Semakin mantap tekad kaum perempuan untuk berkiprah luas di sektor publik.
Hal lain yang membuat emansipasi di Indonesia mendapat perhatian adalah persoalan KDRT. banyak para istri yang tidak berdaya saat menghadapi kekerasan dari suaminya dikarenakan faktor budaya dan hukum yang lebih menguntungkan dan berpihak kepada kaum pria.
Solusi yang ditawarkan oleh para feminis adalah selain menyerukan perombakan budaya yang masih paternalistik, mereka juga menuntut perbaikan perlindungan untuk kaum perempuan di bidang hukum, dan mengadvokasi kaum wanita agar melepaskan ketergantungan dari suami. Caranya adalah dengan memiliki pendapatan sendiri, sehingga punya bargaining position yang setara. Karena menurut para feminis, selain persoalan budaya dan keadilan hukum yang kurang berpihak pada kaum wanita, persoalan ekonomi juga yang membuat mereka sering tak berdaya.
Seruan ini membuat alasan bagi para wanita untuk berkarier di luar rumah semakin kuat. Bukan sekedar untuk aktualisasi diri, tapi juga untuk membangun posisi yang setara dengan suami. Sehingga bila kelak suami mereka melakukan tindakan yang merugikan istri dan anak-anaknya semisal KDRT, berselingkuh atau berpoligami, tidak sulit bagi para wanita untuk menuntut bercerai dan hidup mandiri sebagai single parent.
Kampanye perlindungan kepada kaum perempuan memang mendapatkan momentumnya seiring dengan meningkatnya KDRT di tanah air. Statistik mencatat bahwa 82,02% dari 279 kasus kekerasan yang dialami oleh perempuan dari beragam usia, yang pelakunya meliputi suami, orang tua, saudara dan anak. Juga tercatat bahwa 6,12% dilakukan oleh mantan suami. Sementara itu world health Organization dalam World Report pertamanya mengenai "kekerasan dan kesehatan" menemukan bahwa antara 40 hingga 70% perempuan yang meninggal karena pembunuhan umumnya dilakukan oleh mantan atau pasangannya sendiri. Untuk itu, mereka mengkampanyekan pentingnya perlindungan kaum wanita dan menggugat dominasi pria.
Yang digugat bukan saja faktor budaya dan perbaikan hukum, tapi mereka juga menghantam tafsir teks-teks keagamaan khususnya Islam, yang dianggap mengandung bias gender. Maka hukum seputar kewajiban mencari nafkah, pembagian warisan, poligami, pengasuhan anak hingga kepemimpinan dalam rumah tangga dan pemerintahan adalah sasaran tembak para feminis.
Tercerabutnya kaum wanita dari rumah dan lepasnya pengasuhan anak-anak dari tangan ibu mereka, merupakan persoalan yang ternyata membuat kehidupan wanita dan keluarga, bahkan masa depan sebuah bangsa menjadi kian rumit. Gambaran manis tentang kiprah wanita di luar rumah ternyata memberikan persoalan baru.
Gaung emansipasi diklaim memberikan sejumlah kemajuan bagi kaum wanita khususnya secara material. Banyak wanita yang mandiri karena memiliki income sendiri, tidak menggantungkan harapan kepada suaminya, bahkan tidak sedikit yang lantas sanggup menghidupi keluarganya. Lebih jauh lagi, banyak bermunculan para perempuan yang bisa mengalahkan dominasi kaum pria. Tapi benarkah emansipasi melepaskan kaum perempuan dari ketertindasan? nyatanya tidak. Gerakan pembebasan wanita telah menciptakan siklus dan gaya hidup baru yang justru melahirkan sekuel lain penderitaan bagi kaum perempuan. Tekanan di luar rumah, dan di dunia kerja justru jauh lebih berat ketimbang tugas-tugas domestik sebagai ibu dan istri. Faktanya banyak wanita tidak sanggup menghadapi kompetisi yang keras di dunia kerja.
Kenyataan lain yang mengerikan bagi pekerja wanita adalah pelecehan seksual di tempat kerja, di tahun 2011 pemerintah melalui staf khusus kementerian pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak Pinky Saptandari, menyatakan posisi tawar tenaga kerja perempuan umumnya lebih lemah. Akibatnya mereka lebih rentan mengalami kekerasan fisik dan psikis. Tenaga kerja perempuan juga lebih perhatian kewajibannya dan kurang memahami tentang hak-hak nya di tempat kerja. Padahal ada pemberian cuti hamil dan melahirkan, cuti haid dan menyusui, ujarnya. Di Indonesia, kasus pelecehan seksual di tempat kerja relatif sedikit. Bukan karena jumlahnya sedikit, tapi karena korban pelecehan seringkali enggan melaporkan kejadian yang menimpa mereka, lanjutnya. Selain itu perangkat hukum yang mengatur secara khusus dan rinci tentang mekanisme pelaporan dan perlindungan juga masih abai, hanya ada KUHP tentang pencabulan, persetubuhan dengan wanita dibawah umur. Padahal pelecehan seksual tidak hanya itu. (Tempo interaktif.com, 23/10/2011)
Kapitalisme dan Kehancuran Keluarga
Kian berkurangnya peran perempuan sebagai istri dan ibu dalam hal ini berpengaruh pada hubungan antar anggota keluarga khususnya terhadap anak-anak dan tentu saja dengan pasangan mereka. Sebuah harga yang harus dibayar teramat mahal bukan saja oleh kaum wanita, tapi oleh masyarakat di kemudian hari. Salah satunya adalah tekanan mental yang berat kepada kaum wanita, ganjaran kehancuran keluarga dan proses tumbuh kembang kepribadian anak yang turut terancam.
Meskipun perbincangan mengenai dampak perempuan karir sudah sering dilakukan, akan tetapi hal itu tidak menyurutkan minat sebagian wanita untuk tetap bekerja penuh atau paruh waktu diluar rumah. Bisa jadi karena bermunculan lembaga penyedia jasa penitipan anak mulai dari baby sitter, playgroup, sekolah full day atau islamic boarding, para ibu yang merasa harus bekerja atau beraktivitas full day bisa lebih lega. Bisa menitipkan buah hatinya pada lembaga tersebut, apalagi bila lembaga itu bernuansa islami. Itulah 'Ibu sintetis' yang kini menjamur, menggantikan peran sosial ibu dalam sebuah keluarga.
Sayang, tidak banyak yang menyadari bahaya yang mengancam keluarga mereka sendiri. Sebagian dari mereka justru larut dalam keasyikan di sektor publik dengan dunia mereka. Maka persoalan emansipasi wanita, menjadi pusaran konflik yang melibatkan banyak faktor. Inilah benang kusut permasalahan yang harus dipecahkan secara sistemik bukan parsial.
Sungguh ide feminis, emansipasi-liberal menyebabkan salah satu pilar keluarga telah keropos. Lantaran peran wanita sebagai istri dan ibu bagi anak-anak mereka sebuah posisi yang tidak bisa dipandang enteng dan tidak bisa digantikan siapapun. Tidak bisa dialihkan kepada pihak lain termasuk sekolah Islam sekalipun, pengasuhan dan pendidikan anak juga tidak bisa diberikan kepada suami mereka. Penyebabnya secara alamiah, seorang Ibu memang memiliki karakter kuat dalam pengasuhan anak. Agama menyebutnya sebagai ummumah, faktor keibuan.
Jadi kampanye -tepatnya provokasi kaum liberal- sebenarnya adalah propaganda anti keluarga. Ketika para ibu rumah tangga ini mengikuti saran mereka untuk berkarir di luar rumah, maka ia akan melepaskan sebagian besar perannya sebagai pendidik anak anak mereka.
Memang tak bisa dipungkiri bahwa nasib perempuan saat ini terpuruk. Maraknya KDRT, kesulitan akses pendidikan yang lebih baik, kesehatan ibu dan anak yang buruk, juga sebagai mengalami eksploitasi di sektor industri, belum lagi kondisi wanita yang terlantar akibat perceraian. Tidak sedikit kaum pria yang tidak lagi menafkahi anak-anak mereka saat sudah bercerai, akibatnya sang Ibu harus berperan ganda sebagai ibu dan pencari nafkah, sedangkan kaum pria mudah saja untuk keluar masuk dalam pernikahan.
Fakta membuktikan, solusi yang ditawarkan kaum feminis terhadap para wanita khususnya muslimah sebenarnya jauh panggang dari api. Tidak membongkar akar persoalan wanita dan juga masyarakat. Buruknya kondisi yang dialami perempuan juga dialami segenap komponen masyarakat yang lain saat ini. Bukankah kemiskinan juga dialami kaum lelaki yang membuat mereka kesulitan menafkahi keluarga mereka? Buruknya perlindungan hukum, pelayanan pendidikan dan pelayanan medis juga dialami para lelaki. Kekerasan yang dialami kaum wanita juga dialami para pria.
Maka penyebab keterpurukan masyarakat, -bukan hanya kaum perempuan dan anak-anak saja- adalah karena penerapan ideologi kapitalisme – sekuler. Dengan prinsip survival of the fittest. Siapa kuat dia bertahan. Berlakulah hukum rimba bagi setiap manusia yang tinggal dalam sistem kapitalisme. Mereka yang lemah akan tergusur dari kehidupan.
Dengan doktrin ini siapa saja yang posisinya lemah akan tertindas. Termasuk di dalamnya adalah, anak anak dan kaum perempuan. Jadi tidak ada kaitannya dengan laki laki vs perempuan atau siapa yang lebih dominan. Sebab pangkal persoalannya adalah kapitalisme melegalkan yang kuat menindas yang lemah.
Pada akhirnya wanita pun bisa menindas asalkan punya uang dan kekuasaan. Hillary Clinton yang pernah menjadi Menlu AS, atau sebelumnya Madeleine Albright yang duduk di gedung putih adalah para politisi yang menjalankan penindasan terhadap kaum muslimin di banyak negeri seperti Irak dan Afghanistan. Bukankah mereka perempuan? Jadi kesetaraan pria-wanita yang digemborkan dalam demokrasi dan kapitalisme adalah palsu. Demikian pula jaminan kesejahteraan yang dijanjikan keduanya adalah kebohongan besar. Kaum wanita tetap termarjinalkan dan dieksploitasi bak barang dagangan.
Kembali Ke Fitrah
Dalam Islam, status wanita adalah ibu generasi dan kehormatan yang harus dijaga. Serangkaian hukum wajib diberlakukan untuk memberikan pemeliharaan dan perlindungan secara menyeluruh untuk kaum wanita. Adanya kewajiban penafkahan dari para wali, menutup aurat, sanksi bagi para pezina juga pemerkosa adalah salah satu bentuk perlindungan dan perhatian serius yang diberikan Islam.
Sebenarnya Allah telah memberi pengaturan yang sempurna bagaimana hak dan kewajiban bagi pria dan wanita, sehingga bisa menjaga keharmonisan keluarga dan masyarakat. Allah berfirman : "Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian yang lain. (Karena) bagi orang laki laki ada bagian daripada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian karunia-Nya. Sesungguhnya Allah maha mengetahui segala sesuatu." (QS. An-Nisa 4:32).
Muara permasalahan kaum wanita sudah seharuskan kembali pada komitmen (khususnya muslimah) terhadap Islam. Apakah ingin mendapatkan kemuliaan sebagai Ummahat atau tetap ngotot meniti karir dengan penghasilan yang mungkin bergelimang? Padahal, sebagai seorang muslim wajib mengimani bahwa Rizki adalah ketentuan Allah SWT. Maka yang seharusnya dilakukan para muslimah saat ini adalah menunjukkan pada dunia bahwa menjadi seorang ibu rumah tangga adalah sebuah tugas mulia dan menentukan jatuh bangunnya sebuah bangsa.
Imam Al Ghazali menggambarkan peran orangtua terhadap anaknya dengan ungkapan yang indah, "Anak itu adalah amanah Allah bagi kedua orangtuanya, hatinya bersih bagaikan mutiara yang indah bersahaja, bersih dari setiap lukisan dan gambar. Ia menerima apa saja yang diarahkan kepadanya. Jika ia dibiasakan belajar dengan baik ia akan tumbuh menjadi baik, beruntung di dunia dan akhirat. Kedua orangtuanya semua gurunya, pengajar dan pendidiknya sama sama mendapat pahala. Dan jika ia dibiasakan melakukan keburukan dan diabaikan sebagaimana hewan, ia akan celaka dan rusak, dan dosanya menimpa pengasuh dan orangtuanya."
Semoga umat -apalagi para muslimah- semakin menyadari nilai strategis pengasuhan ibu bagi anaknya, sehingga bangga menyandang status sebagai ummun wa rabbatul bayt. Sebab taruhannya tidak main main, kehancuran atau kejayaan umat di masa mendatang. Di sisi lain, bagaimana sistem bobrok yang merusak masyarakat (termasuk perempuan dan keluarga) yang diterapkan saat ini harus segera dienyahkan, ganti dengan sistem Islam. Wallahu a'lam bi shawab.[]