LIMA BELAS MEI merupakan Hari Keluarga Internasional yang selalu diperingati setiap tahunnnya. Dilansir dalam halaman Wikipedia, Hari Keluarga Internasional merupakan hari perayaan yang diperingati pada tanggal 15 Mei setiap tahun. Majelis Umum PBB pada tahun 1993 memproklamasikan Hari Keluarga Internasional pada 15 Mei lewat resolusi A/RES/47/237.
Peringatan 15 Mei sebagai Hari Keluarga Internsional ini juga dilaksanakan dalam mempertimbangkan kepentingan hubungan komunitas internasional dengan keluarganya. Perayaan diperingati dengan mempromosikan kesadaran pentingnya berhubungan dengan keluarga dan meningkatkan pengetahuan terhadap proses sosial, ekonomi, dan demografi terhadap keluarga.
Jika Internasional memperingati hari keluarga pada tanggal 15 Mei, Indonesia memperingati Hari Keluarga Nasional (Harganas) pada tanggal 29 Juni. Di Indonesia, ini merupakan peringatan yang ke-29 kali sejak Harganas diselenggarakan pertama kali tahun 1993. Bahkan Kalimantan Selatan sudah siap untuk menjadi tuan rumah dalam menyukseskan perhelatan Harganas.
Kabarnya, berbagai kegiatan akan digelar dalam mewarnai peringatan Harganas, baik pra puncak peringatan maupun pasca acara. Di antaranya Festival Penggalang Ceria, GenRe Edu Camp, One Stop Service pelayanan untuk anak-anak, One day for Children untuk anak-anak terlantar. Dan beberapa seminar diantaranya tentang kependudukan dan perkawinan anak yang mencapai 30 persen di Kalimanan Selatan hingga lomba pencegahan perkawinan anak. Selain itu, untuk meningkatkan kesertaan peserta KB jangka panjang, diadakan pelayanan KB gratis untuk pasangan subur.
Namun ternyata ditengah meriah dan persiapan peringatan Hari Keluarga Nasional maupun Internasional ternyata ada sesuatu yang patut kita waspada, yaitu agenda liberalisasi yang hendak disusupkan kepada keluarga untuk mederaskan paham gender. Di lansir dalam halaman berita unwomen.org, bahwa akan ada agenda komprehensif untuk undang-undang, kebijakan ekonomi dan sosial, dan tindakan publik untuk memastikan kesetaraan gender dalam keluarga dan untuk mempercepat hak-hak dan pemberdayaan perempuan yang menguntungkan.
Kemajuan Perempuan Dunia melaporkan seri penyelidikan tematik berkala hak-hak perempuan dengan tujuh edisi sejak tahun 2000, berusaha untuk memacu perubahan dalam undang-undang, kebijakan dan program ditingkat global, regional dan nasional, menciptakan lingkungan yang memungkinkan bagi perempuan untuk mewujudkan hak-hak mereka. Laporan ini menyediakan data resmi, analisis pakar dan rekomendasi kebijakan untuk mewujudkan kesetraan gender dan hak-hak perempuan.
Dilansir dalam halaman theconversation.com, hari keluarga internasional adalah momen yang baik untuk merenungkan dan mempertimbangkan bagaimana keluarga dapat berubah mejadi agen kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Saat ini, banyak negara, termasuk Brasil, Finlandia dan Spanyol, mengakui kemitraan sesama jenis, sementara yang lain menawarkan perlindungan hukum untuk anak-anak yang lahir di luar nikah dan untuk keluarga orangtua tunggal.
Ide kesetaraan gender, termauk pemberdayaan perempuan jelas merusak bangunan keluarga muslim. Ide ini muncul dilatarbelakangi oleh kondisi perempuan yang selalu mengalami kekerasan dalam rumah tangga dan penurunan pendapatan keluarga karena wanita yang berkeluarga lebih banyak tidak berkerja atau kalaupun ada sedikit dari penghasilannya. Dalam hukum Internasional, perlindungan keluarga terkait erat dengan prinsip kesetaraan dan non-diskriminasi, yang berarti bahwa semua anggota keluarga harus menikmati kebebasan dan hak yang sama tanpa memandang jenis kelamin atau usia.
Begitulah para pegiat gender senantiasa berupaya untuk merusak bangunan keluarga muslim. Karena sadar tidak sadar kebangkitan Islam berawal dan lahir dari keluarga muslim itu sendiri. Dijelaskan dalam halaman web m.via-Islam.com, kemunculan gagasan kesetaraan gender, yakni upaya menyetarakan perempuan dengan laki-laki, beranjak dari sebuah asumsi tentang kondisi permpuan.
Kaum perempuan diasumsikan berada dalam kondisi buruk seperti keterkungkungan, kemiskinan, ketertinggalan, ketertindasan, dan sebagainya. Kondisi buruk itu terjadi akibat beban-beban berat yang dipikul kaum perempuan yang menghambat kemandiriannya. Beban-beban berat itu antara lain perannya sebagai ibu hamil, menyusui, mendidik anak dan mengatur urusan rumah tangga. Lalu kaum perempuan diarahkan untuk meningkatkan kodratnya. Mereka diprovokasi agar berlomba mensejajarkan diri dengan laki-laki yang tidak memiliki beban serupa.
Dengan dalih peduli terhadap nasib perempuan “kemajuan perempuan barat” dengan ide kesetraan gender-nya yang rusak dan asumtif itu dijadikan standar ideal bagi kemajuan perempuan muslim. Selanjutnya, atas nama pemberdayaan perempuan, para pegiat gender menyuntikkan pemikiran-pemikiran beracun yang membius keluarga khususnya kaum perempuan hingga lupa jati dirinya dan lupa akan komitmennya terhadap keluarga dan tugas membangun dan mempersiapkan generasi.
Ide-ide gender ini sudah jelas merusak, merapuhkan, dan meruntuhkan bangunan keluarga muslim. Maka dari itu, kita harus meyakini bahwa hanya dengan syariat Islam, bangunan keluarga akan menjadi kokoh dan mewujudkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.Wallahua’lam bish-shawab.
Atika Balqis Azizah
Musyrifah Sekolah Tahfizh Plus SMP Khoiru Ummah Sumedang